Kamis, 05 Juli 2012

novel duka lara

Add caption


1
Duka Lara
Sebuah cerita fiksi yang ditulis oleh Bois, penulis copo
yang masih harus banyak belajar. Cerita ini hanyalah
sarana untuk mengilustrasikan makna di balik
kehidupan semu yang begitu penuh misteri. Perlu
anda ketahui, orang yang bijak itu adalah orang yang
tidak akan menilai kandungan sebuah cerita sebelum
ia tuntas membacanya.
e-book ini gratis, siapa saja dipersilakan untuk
menyebarluaskannya, dengan catatan tidak sedikitpun
mengubah bentuk aslinya.
Jika anda ingin membaca/mengunduh cerita lainnya
silakan kunjungi :
www.bangbois.blogspot.com
www.bangbois.co.cc
Salurkan donasi anda melalui:
Bank BCA, AN: ATIKAH, REC: 1281625336
2
Satu
i sebuah jalan tol dalam kota, sebuah sedan
mewah melaju dengan cepat menembus
gelapnya malam. Kedua penumpangnya yang masih
muda tampak begitu bersemangat, berkendara
bersama menuju ke rumah seorang gadis yang baru
mereka kenal beberapa bulan yang lalu. Setelah
menempuh perjalanan yang lumayan menyita waktu,
akhirnya mereka tiba di tempat tujuan. Kini keduanya
tampak asyik berbincang-bincang dengan seorang
gadis yang begitu cantik.
“Orang tuamu belum pulang, Ra?” tanya Randy
perihal orang tua Lara yang diketahuinya pergi ke
Amerika.
“Belum, malah mereka mau terbang ke Eropa,”
jawab Lara seraya merubah posisi duduknya.
“Asyik dong, dengan begitu kau bisa lebih lama
menghirup udara kebebasan.”
D
3
“Apanya yang asyik, aku justru merasa kesepian
karena ditinggal mereka terlalu lama. Untung saja ada
sepupuku yang menemaniku selama mereka di luar
negeri.”
"O ya, Ra. Ngomong-ngomong, Nina ke mana?”
tanya Bobby mengenai sepupu Lara yang menginap di
rumah itu.
“Ada, di dalam,” jawab Lara singkat.
“Ajak keluar dong! Biar kita ngobrol sama-sama!”
pinta Bobby seraya tersenyum.
“Maaf, Kak! Hari ini dia sibuk belajar, katanya
besok ada ujian.”
“Rajin juga ya dia. Dulu, ketika aku masih kuliah.
Aku paling malas dengan yang namanya belajar.
Kalau lagi ujian, aku biasa mencontek menggunakan
secarik kertas kecil yang kusembunyikan di bawah
lembaran soal. Dan kalau lagi ada pemeriksaan,
contekan itu buru-buru kusembunyikan di celah lipatan
bajuku.”
“Aku juga, Bob,” timpal Randy.
4
“Itu namanya kalian curang. Masih kuliah saja
sudah berani tidak jujur, apalagi kalau jadi pejabat.
Bisa-bisa kalian jadi koruptor kelas kakap.”
“Ya, untung saja aku tidak jadi pejabat,” kata
Randy ringan.
“Tapi, kontraktor curang kelas kakap,” timpal
Bobby.
“Huss! Jangan buka kartu dong! Lagi pula, aku
melakukan itu karena terpaksa, dan itu pun sudah
lama sekali. Sekarang ini aku sudah insyaf dan tidak
mau mengulanginya lagi.”
“Maaf, Ran. Ini kulakukan demi kebaikanmu.
Terus terang, aku peduli padamu. Jika kau memang
sudah insyaf, lalu kenapa belum lama ini kau bisa
dapat tender itu. Padahal, jika kulihat perusahaanmu
sama sekali tidak memenuhi syarat.”
“Waktu itu lagi-lagi aku terpaksa, Bob. Sebab
sainganku juga menggunakan cara curang. Kalau aku
tidak melakukan hal yang sama, bagaimana mungkin
aku bisa dapat tender. Kalau kerap kali seperti itu,
kapan perusahaanku bisa maju.”
5
Lara yang sejak tadi diam, tiba-tiba ikut bicara.
“Kak Randy! Setiap orang kan sudah ada rezekinya
masing-masing, jadi kau tidak perlu curang untuk
mendapatkannya.”
“Kau betul, Ra. Namun, aku terpaksa berbuat
begitu karena sistem yang tidak mendukung. Terus
terang saja, jaman sekarang jika ingin bersaing
secara jujur diperlukan mental yang kuat dan waktu
yang relatif lebih lama,” kata Randy memberi alasan.
“Tapi biar bagaimanapun, cara curang itu tidak
sepatutnya dilakukan, Kak. Sekalipun kau mempunyai
alasan yang paling masuk akal. Sesungguhnya cara
curang itu bisa merugikan orang-orang yang jujur,”
jelas Lara memberi pengertian.
“Betul itu, Ra. Sungguh kasihan orang-orang yang
jujur, mereka harus berusaha lebih keras agar bisa
menjadi orang yang sukses,” Bobby menimpali.
“Baiklah… Mulai hari ini aku berjanji untuk tidak
mengulanginya. Terus terang, aku merasa berdosa
karena telah menghilangkan kesempatan buat orangorang
yang jujur,” kata Randy menyesal.
6
“Syukurlah kalau begitu,” kata Bobby seraya
berpaling memandang Lara. “O ya, Ra. Ngomongngomong,
boleh aku menumpang ke belakang?”
tanya pemuda itu kemudian.
"O, silakan saja, Kak! Pergi sendiri, ya! Kau kan
sudah tahu kamar mandinya,” kata Lara seraya
merubah posisi duduknya lagi.
“Tapi, Ra. Aku... ”
“Sudahlah, tidak apa-apa! Anggap saja seperti
rumah sendiri!”
“Baiklah kalau begitu,” kata Bobby seraya
beranjak ke dalam. Ketika dia melewati ruang tengah
dilihatnya Nina sedang menari mengikuti gerakan
penari di layar kaca. Saat itu gerakan Nina tampak
begitu indah, lenggak-lenggok tubuhnya yang ramping
serta gemulai tangannya menahan pemuda itu untuk
terus memperhatikannya.
“Tarian yang indah!” ucap Bobby tiba-tiba.
Mendengar itu, Nina pun seketika berpaling. “Ka-
Kak Bobby...!” ucap gadis itu tergagap sambil terus
memperhatikan wajah tampan yang kini tersenyum
7
padanya. “Se-sejak kapan kau berdiri di situ?“ tanya
gadis itu kemudian.
“Kau tidak perlu malu, Nin! Terus terang,
gerakanmu tadi indah sekali, dan aku sangat
menyukainya. Kupikir cuma Lara saja yang pandai
menari, ternyata kau juga begitu pandai,” kata Bobby
terus terang.
"Hmm… sebenarnya apa keperluanmu masuk
kemari, Kak?” tanya Nina heran.
"Eng... sebenarnya aku mau menumpang ke
belakang. Tapi ketika melihatmu tadi, aku sempat
terpana. Eng... kalau begitu, sebaiknya aku segera ke
belakang. O ya, maaf kalau aku sudah
mengganggumu!” Lantas dengan segera pemuda itu
melangkah pergi.
Sementara itu, Nina tampak memperhatikan
kepergiannya. “Hmm... dia terpana? Benarkah yang
dikatakannya itu?” tanya Nina dalam hati seraya
duduk di sofa dan kembali memandang ke layar kaca.
Tak lama kemudian, Bobby sudah kembali.
Kemudian dia segera mendekati Nina yang dilihatnya
8
asyik menonton sinetron. “Nin, kau sudah selesai
belajar kan?” tanyanya kepada gadis itu.
Mendengar itu, seketika Nina menoleh,
memperhatikan wajah tampan yang lagi-lagi
tersenyum padanya. "Iya, Kak. Sudah...” jawabnya
kemudian.
“Kalau begitu, kita ngobrol di luar yuk!” ajak Bobby
kepadanya.
“Maaf, Kak! Aku tidak punya waktu. Tadi saja aku
belajar terburu-buru karena mau nonton sinetron ini,”
tolak Nina memberi alasan.
“Eng, baiklah... Kalau begitu silakan diteruskan
menontonnya. O ya, maaf kalau aku sudah
mengganggumu!” ucap Bobby seraya melangkah
pergi.
"Tunggu, Kak!” tahan Nina tiba-tiba.
“Iya, Nin. Ada apa?” tanya Bobby seraya kembali
memandang ke arah gadis itu.
“Eng, nanti seusai sinetron ini aku akan
menyusul,” Nina berjanji.
9
Mengetahui itu, Bobby langsung menganggukkan
kepalanya. “Aku tunggu ya,” katanya seraya
tersenyum dan langsung melangkah pergi.
Pada saat itu, Nina tampak memperhatikan
kepergiannya dengan berbagai perasaan aneh yang
sulit untuk diungkapkan, di antaranya adalah perasaan
bahagia yang bercampur dengan kekhawatiran yang
amat sangat. Kini mata gadis itu sudah kembali
memperhatikan layar kaca. Sementara itu, Bobby
sudah bergabung kembali dengan Randy dan Lara.
"O, jadi rumah Nina berada di daerah itu. Berarti
dekat dong,” kata Bobby perihal keberadaan rumah
Nina yang ternyata berjarak hanya dua kilo meter dari
kediamannya.
“O ya, Kak. Ngomong-ngomong, kenapa sih dari
tadi kau menanyakan perihal Nina terus, janganjangan...
kau naksir dia ya?” tanya Lara menyelidik.
“Eng... ti-tidak. A-aku cuma mau tahu saja,” jawab
Bobby tergagap.
“Sudahlah, Kak! Ayo mengaku, kau memang
naksir dia kan?” tanya Lara mendesak.
10
“Iya, Bob. Mengaku saja, dan aku akan sangat
mendukung,” timpal Randy seraya tersenyum.
“Eng... baiklah. Aku akan mengaku. Se-sepertinya
aku memang menyukai Nina. Tapi, kalian jangan
bilang padanya ya! Terus terang, aku sendiri masih
belum yakin.”
“Memangnya kenapa, Kak?” tanya Lara
penasaran.
“Entahlah, aku juga tidak tahu,” jawab Bobby
ringan.
“Bob, kau itu dari dulu selalu begitu¾selalu
banyak pertimbangan, nanti kalau sudah keduluan
orang baru kau menyesal.”
“Bukan apa-apa, Ran. Kalau ternyata aku tidak
mencintainya, kasihan si Nina kan.”
“Eh, Bob. Memangnya dia itu mau kau nikahi, dia
itu kan baru mau kau jadikan pacar. Karenanyalah,
kau tidak perlu banyak pertimbangan! Pacari saja
dulu! Soal cinta atau tidak, itu sih perkara nanti. Dan
jika kau memang tidak mencintainya, ya tinggal
diputuskan saja. Mudah kan?”
11
Mendengar itu, Lara langsung ikut bicara. “Eh,
Kak Randy. Kau bicara apa? Kau itu memang tidak
punya perasaan, kau pikir wanita mudah di putuskan
begitu saja. Kalau kau mau tahu, wanita yang sudah
dalam cintanya lebih memilih mati daripada
diputuskan. Menurutku, lebih baik wanita yang
memutuskan ketimbang pria yang memutuskannya.”
“Eh, Ra. Kau jangan mengada-ada! Memangnya
cuma wanita yang seperti itu, pria pun bisa seperti itu.
Kau itu memang egois. Dengar ya! Kalau sepasang
kekasih putus, itu memang sudah risiko orang
pacaran. Kalau memang tidak bisa berlanjut, ya
memang harus putus. Jangankan yang masih
pacaran, yang sudah menikah saja bisa cerai,” kata
Randy agak sewot.
“Kau memang tidak punya perasaan, Kak,” tuduh
Lara kesal. “Eng.. Menurutku jika seorang pria
memang tidak yakin akan cintanya, sebaiknya jangan
langsung diutarakan. Aku sangat sependapat dengan
ucapan Kak Bobby tadi, dan menurutku keputusannya
itu memang sangat tepat,” lanjutnya kemudian.
12
“Hmm... begitu ya? Sekarang coba kau
renungkan. Andai Bobby sudah yakin kalau dia
memang mencintai Nina, lantas mereka jadian.
Namun pada suatu ketika, ternyata Nina tidak
mencintainya dan langsung memutuskannya.
Sedangkan pada saat itu, Bobby sudah sangat
mencintainya. Nah, apa kau pikir dia akan baik-baik
saja setelah diputuskan Nina? Jika saat itu dia punya
iman, mungkin akan baik-baik saja. Namun kalau
tidak, dia bisa bunuh diri, tahu.“
“Eng, kalau begitu. Seharusnya sebelum jadian,
Nina pun harus yakin dulu¾kalau dia itu memang
mencintai Bobby.”
“Hmm... apa iya keduanya bisa saling mengetahui
kalau mereka sudah sama-sama yakin?”
Saat itu Lara terdiam, tampaknya dia sulit untuk
bisa menjawab pertanyaan itu.
“Tidak, Bisa...” jawab Bobby tiba-tiba. Seketika
pemuda itu tampak menarik nafas panjang dan
kembali bicara, “Mmm... menurutku, jalan satusatunya
untuk bisa mengetahui itu, ya memang harus
13
pacaran. Namun, aku tetap pada pendirianku semula,
yaitu aku harus yakin dulu. Andai dia memang tidak
mencintaiku, aku siap menanggung risikonya. Hati
nuraniku mengatakan, biarlah dia yang
memutuskanku, ketimbang aku yang harus
memutuskannya.”
“Kau jangan naif begitu, Bob. Memangnya patah
hati itu enak,” kata Randy mengingatkan.
“Tentu saja tidak, Ran. Namun, aku mempunyai
keyakinan. Sedalam-dalamnya pria mencintai wanita,
masih lebih dalam wanita yang mencintai pria,” jelas
Bobby seolah-olah dia mengerti betul akan perasaan
wanita.
“Dari mana kau bisa mengetahui itu, Bob?” tanya
Randy heran.
“Dari pernyataan Lara tadi. Dan menurut
analisaku, apa yang dikatakannya itu keluar dari lubuk
hatinya terdalam.”
“Hebat... hebat... sejak kapan kau mendalami ilmu
psikologis, Bob. Hahaha...! Terserah kaulah. Namun
aku berpesan, sebaiknya kau lebih berhati-hati!
14
Janganlah kau mudah percaya dengan perkataan
wanita. Sebab wanita itu...” Randy tidak melanjutkan
kata-katanya, dia malah tampak senyam-senyum
sambil memperhatikan Lara yang kini menatapnya
dengan kening berkerut.
“Wanita itu apa, Kak?” tanya Lara mendesak.
“Sudahlah, lupakan saja!” Randy menolak.
“Tidak bisa, Kak. Kau harus menjawab
pertanyaanku tadi!” Desak Lara dengan raut wajah
yang semakin membuat Randy merasa tidak nyaman.
Mengetahui itu, Randy seakan tak punya pilihan.
“Baiklah, tapi kau jangan marah ya!” pintanya kepada
Lara.
“Iya, aku janji,” ucap Lara dengan raut wajah yang
kini sudah kembali seperti semula.
“Eng, baiklah... Sebetulnya wanita itu seperti uburubur,
indah namun sangat berbahaya.”
Mendengar itu, Bobby pun langsung tertawa.
“Hahaha...! Kau ini ada-ada saja, Ran. Tapi, aku
sependapat dengan perumpamaan itu.”
15
“Kak, Bobby! Jadi, kau juga sependapat?” tanya
Lara seperti kecewa.
“Betul, Ra. Tapi aku melihatnya melalui sudut
pandang yang berbeda. Wanita itu memang seperti
ubur-ubur, indah dan lembut, namun sama sekali tidak
berbahaya¾tentunya jika ia diperlakukan dengan cara
yang benar.“
Bobby, Randy, dan Lara terus berbincangbincang,
hingga akhirnya jam menunjukkan pukul
sembilan malam. Pada saat itu, Bobby masih
mengharapkan kehadiran Nina, padahal sinetron yang
ditontonnya diperkirakan sudah selesai sejak tadi.
Dalam hati, Bobby jadi bertanya-tanya, entah kenapa
gadis itu belum juga keluar memenuhi janjinya.
Sementara itu di dalam kamar, Nina tampak
sedang tiduran sambil memikirkan Bobby. “Kak,
Bobby… Maafkan aku yang tidak bisa memenuhi janji!
Sebenarnya saat ini aku ingin sekali ngobrol
bersamamu. Tapi, entah kenapa aku merasa tidak
enak, sepertinya hati kecilku ini melarangku untuk
menemuimu,” kata gadis itu membatin.
16
Nina terus membatin¾memikirkan pemuda yang
diduga telah memberi tanda padanya, hingga akhirnya
Lara datang menemuinya. “Kau kenapa, Nin?
Bukankah kau sudah berjanji pada Bobby mau ikutan
ngobrol. Tapi, kenapa kau malah tidur-tiduran di sini.”
“Eng... a-aku...” Nina tampak kesulitan
mengungkapkan isi hatinya.
“Kau menyukai Bobby kan? Dan karenanya kau
merasa kurang percaya diri,” kata Lara menduga.
“Ti-tidak, Ra. Bukan karena itu. Se-sebenarnya
tadi aku cuma lupa.”
“Lupa...?” Lara mengerutkan keningnya. “Mmm...
lupa apa lupa?” tanyanya kemudian.
“Sungguh, Ra. Aku cuma lupa. Kalau begitu, ayo
kita ngobrol sama mereka!”
“Terlambat, Nin. Kini mereka sudah pulang,” jelas
Lara seraya naik ke tempat tidurnya.
“Pulang?” Nina tampak heran.
“Tentu saja, ini kan sudah hampir tengah malam.”
“Apa!” Nina terkejut seraya melihat ke arah jam
dinding yang menunjukkan pukul 11.30 WIB. “Hah,
17
sudah jam segitu. Perasaan baru sebentar aku
rebahan di sini,” katanya kemudian.
“Ya, begitulah jika sedang memikirkan orang yang
spesial. Waktu pun berlalu dengan begitu cepat.”
Pada saat itu, Nina tampak membatin, ”Ra,
kenapa kau bicara seperti itu? Apakah kau cemburu
karena Bobby mengharapkan kehadiranku?”
“Heh! Kenapa Malah bengong?” tanya Lara tibatiba.
“Sudah nanti saja memikirkannya. Sebaiknya
sekarang kau bersih-bersih dulu, setelah itu kita tidur!
Memangnya jam berapa kau mau tidur, bukankah
besok ada ujian?” katanya lagi.
Mendengar itu, Nina pun segera beranjak ke
kamar mandi. Dan tak lama kemudian, dia sudah
kembali dan langsung merebahkan diri di sebelah
Lara. Saat itu, Nina masih memikirkan Bobby.
Pemuda yang diduganya sedang diincar Lara.
18
Seminggu kemudian, ketika hari sudah menjelang
senja. Sebuah sedan biru tampak melaju perlahan
melintasi jalan yang ada di tengah kompleks
permukiman. Pada saat itu, pengemudinya yang
tampan dan berambut sebahu tampak resah,
memikirkan apa yang akan terjadi. “Hmm...
bagaimana ya, jika Lara belum pulang dari rumah
neneknya?” tanya Bobby mengenai gadis yang akan
ditemuinya. “Huh, andai saja Lara bisa dihubungi tentu
tidak akan serepot ini,” keluh Bobby akan gangguan
teknis yang dialaminya.
Sungguh pemuda itu merasa jengkel dengan Lara
yang selama ini sedang menginap di rumah
temannya. Padahal, hari ini dia harus mengembalikan
DVD yang dipinjamnya. Kini pemuda itu sudah tiba di
rumah Lara dan sedang berdiri di depan pintu sambil
berharap hari ini Lara ada di rumah. Dan setelah
menunggu agak lama, akhirnya seorang gadis terlihat
datang membukakan pintu. “Cari Kak Lara ya?”
tanyanya kepada Bobby.
“Iya.. Nin. Apa dia ada?”
19
“Lara belum pulang tuh. Dia masih di rumah
temannya.”
“Kalau begitu, boleh aku tahu nomor telepon
temannya?”
"Wah, sayang sekali, Kak! Aku juga tidak tahu. O
ya, memangnya HP Lara belum juga diaktifkan?”
Bobby mengangguk. “Eng… kalau begitu, bisakah
aku minta tolong padamu untuk mengambilkan DVD
yang dipinjam Lara. Soalnya hari ini aku harus
mengembalikannya ke rental. Sebab kalau tidak, aku
akan dikeluarkan dari keanggotaan rental DVD yang
terbaik di kampungku. Maklumlah, aku sudah
diperingatkan jika sekali lagi melanggar aturan maka
aku tidak akan diampuni lagi.”
“Eng... Kalau begitu, cari sendiri saja ya! Soalnya
DVD di rak itu banyak sekali, dan aku tidak tahu yang
mana.”
“Itu loh, film The X Mind“
"Wah, aku tidak tahu film itu. Sebaiknya kakak
saja yang mencarinya! Bukankah kakak tahu covernya,
dengan begitu tentu lebih mudah mencarinya.”
20
“Tapi, Nin. Apa pantas aku mencarinya sendiri.”
“Tidak apa-apa, Kak. Kan ada aku.”
“Eng... Baiklah,” kata Bobby seraya melangkah
masuk. Dan setibanya di ruang tengah dia langsung
mencari DVD yang dimaksud. Sedangkan Nina
tampak duduk di sofa sambil terus menemaninya.
“Bagaimana, Kak? Sulit ya menemukannya?”
tanya Nina kepada pemuda yang kini tampak begitu
sibuk mengamati cover film satu per satu.
"Iya, Nin. Soalnya DVD ini banyak sekali. Aku
heran, besar sekali minatnya hingga bisa mengoleksi
DVD sebanyak ini, sampai film yang tidak bermutu
pun dia beli. Hmm... di mana ya dia meletakkannya?”
Jawab Bobby seraya menoleh ke arah gadis itu. "O
ya, Nin... ngomong-ngomong, kenapa kau belum
punya pacar?” tanyanya kemudian.
"Ah, Kakak. Kenapa sih menanyakan hal itu?“
“Tidak... aku cuma heran saja. Kau itu kan cantik,
masa iya tidak ada pria yang suka.”
"Ah, Kakak. Aku jadi malu. Baru kali ini ada yang
bilang aku cantik,” kata Nina merendah.
21
“Benar kok. Kau itu memang cantik. Masa sih
tidak ada yang bilang kau cantik, berarti selama ini
mereka pada merem dong,” kata Bobby seraya
membawa tumpukan DVD dan duduk di samping
Nina. "O ya, Nin. Tolong jawab pertanyaanku tadi!
Memangnya kenapa kau belum punya pacar?”
“Belum ada yang menarik hatiku, Kak,” jawab Nina
tidak terus terang.
"Eng, menurutmu. Aku menarik tidak?”
“Mmm...” Nina benar-benar merasa malu
menjawab pertanyaan itu.
“Tidak apa-apa, Nin. Kalau aku ini memang tidak
menarik bagimu, katakan saja terus terang!
Percayalah…! Aku tidak akan marah,” kata Bobby
sungguh-sungguh.
“Ka-kau menarik kok, Kak,” ucap Nina dengan
wajah bersemu merah.
Mengetahui itu, Bobby pun langsung menatap
mata gadis itu dalam-dalam. “Sungguh?” tanyanya
kemudian.
22
“Iya, Kak. Bagiku kau itu sangat menarik. Dan aku
yakin, pasti banyak gadis yang menyukaimu,” jawab
Nina berusaha meyakinkan.
“Mmm... apakah kau juga menyukaiku?” tanya
Bobby lagi.
Nina tidak segera menjawab, sungguh saat itu dia
merasa berat untuk mengatakannya. “Hmm... ternyata
benar dugaanku, kalau dia memang menyukaiku. Dan
setelah aku menjawab pertanyaan yang sangat
memojokkanku itu, dia pasti akan mengajakku
kencan. Jika sampai itu terjadi, apa kata Lara nanti?”
“Nin, kalau kau tidak menyukaiku bilang saja! Aku
tidak akan marah,” kata Bobby tiba-tiba.
“Eng… a-aku menyukaimu, Kak.” kata Nina
dengan wajah yang lagi-lagi bersemu merah.
“Mmm... benarkah? Kalau begitu, bagaimana
kalau lusa kita makan malam?”
Mengetahui itu, Nina langsung membatin, “Hmm...
benar saja dugaanku, ternyata dia memang
mengajakku kencan. Hmm... jika aku sampai menuruti
ajakannya, apa kata Lara nanti...?”
23
“Nin, jika kau memang tidak bisa, tidak apa-apa
kok,” kata Bobby tiba-tiba membuyarkan pikiran Nina.
“Eng, maafkan aku, Kak! Sepertinya aku memang
tidak bisa. O ya, Kak. Ngomong-ngomong, boleh aku
membantumu mencari DVD itu. Judulnya The X Mind
kan,” kata Nina mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Tentu saja, Nin. Terima kasih.”
Mendengar itu, lantas Nina segera mengambil
setumpuk DVD dan mencari film yang dimaksud. "O
ya, Kak. Ngomong-ngomong Kakak kenal Lara di
mana?”
“Hmm… Sebenarnya Lara itu kenalan Randy, dan
Randylah yang memperkenalkan Lara padaku.”
“O…. jadi begitu. O ya, Kak. Menurutmu… Lara itu
bagaimana?”
“Maksudmu?”
“Maksudku… menurut kakak, Lara itu seperti
apa?”
“Mmm... Lara itu gadis yang cantik dan baik hati,
walau terkadang suka membuatku jengkel. Sikapnya
yang kekanak-kanakan itu terkadang suka
24
membuatku naik darah. Pernah waktu itu, dengan
tanpa sebab yang jelas tiba-tiba dia mengambil
sebungkus rokokku dan mematahkan semua isinya
sambil mengatakan kalau merokok itu tidak baik untuk
kesehatan. Saat itu, dalam hati aku ingin marah sekali
padanya, namun akhirnya aku bisa menahan diri
karena mengingat dia itu wanita. Apa lagi dia itu
wanita yang dicintai oleh sahabatku Randy.”
“O, jadi... selama ini Randy yang lagi pendekatan
dengan Lara. Tapi, jika kuperhatikan sepertinya Lara
tidak mencintainya. Sepertinya dia itu justru
mencintaimu, Kak.”
“Apa! Lara mencintaiku? Hahaha...! Kau ini adaada
saja, Nin. O ya, ngomong-ngomong… kenapa
kau bisa menduga seperti itu?”
“Eng, soalnya waktu itu dia pernah mengigau
dengan menyebut namamu.”
“Apa! Lara mengigau menyebut namaku? Emm...
kalau boleh kutahu, seperti apa dia menyebutnya,
Nin?”
25
“Eng, ya se-seperti seorang kekasih yang baru
berjumpa dengan kekasihnya.“
Bobby terdiam, saat itu dia seperti berusaha
menerka apa yang sedang dialami Lara dalam
mimpinya.
“Kak!” panggil Nina membuyarkan pikiran Bobby.
“Iya, Nin. Ada apa?”
“Bagaimana jika Lara memang mencintaimu,
apakah kau akan menerimanya?”
“Tidak, Nin. Aku tidak mungkin melukai perasaan
Randy. Lagi pula, aku rasa Lara sudah mengetahui
kalau aku tidak mungkin menjadi pacarnya. Karena
selama ini aku sudah begitu gigih memberinya
pengertian agar bisa mencintai Randy.”
“Sungguh?” tanya Nina hampir tak
mempercayainya.
Bobby mengangguk. "O ya, ngomong-ngomong
apa karena dugaanmu itu sehingga kau menolak
ajakanku?” tanya pemuda itu kemudian.
26
"Kau betul, Kak. Karenanyalah aku merasa tidak
enak dan khawatir kalau Lara akan membenciku
lantaran jalan bersamamu.”
“Nin, percayalah. Kalau aku tidak mungkin
pacaran dengan gadis yang begitu dicintai oleh
sahabatku sendiri.”
Mengetahui itu, raut wajah Nina pun tampak
begitu berseri-seri. “Hmm... jika benar demikian, tidak
sepatutnya aku menolak ajakanmu, Kak.”
"Be-benarkah yang kau katakan itu, Nin?” tanya
Bobby hampir tak mempercayainya
Nina mengangguk.
“Eng... kalau begitu, lusa aku akan
menjemputmu.”
Nina tersenyum, saat itu dia benar-benar bahagia
karena bisa berkencan dengan Bobby. "O ya, Kak.
Apakah ini film yang kakak cari,” katanya kemudian
seraya menyerahkan film itu kepada Bobby.
“Betul, Nin. Ini dia film-nya. Terima kasih ya kau
sudah menemukannya. Kalau begitu, aku harus
27
segera pamit agar bisa mengembalikan film ini tepat
waktu.”
Tak lama kemudian, Nina sudah mengantar
Bobby hingga ke pintu gerbang. Sepeninggal Bobby,
gadis itu segera merebahkan diri di tempat tidur dan
memikirkan pemuda yang ternyata sudah mencuri
hatinya. “Oh, Kak Bobby. Apakah kau benar-benar
mencintaiku. Jika melihat dari perlakuanmu padaku,
aku rasa memang demikian. Tapi... apakah gadis
sepertiku pantas menjadi kekasihmu. Andai saja kau
tahu siapa sebenarnya aku, apakah kau tetap akan
mencintaiku?”
Gadis itu terus memikirkan Bobby, bahkan segala
hal yang berkenaan dengan rencana makan mereka
sudah terbayang jelas di benaknya. Dimana saat
makan itu menjadi sangat spesial dan merupakan
kenangan yang tak mungkin terlupakan. Gadis itu
terus terlena dengan lamunannya, hingga akhirnya dia
tidur lebih larut dari biasanya.
28
Dua hari kemudian, tepat di akhir pekan, Bobby
datang memenuhi janjinya. Kini pemuda itu sedang
duduk di ruang tamu, menunggu Nina yang masih
berdandan di kamarnya. Tak lama kemudian, Nina
sudah keluar dengan mengenakan gaun cokelat
panjang yang dipadukan dengan beberapa aksesoris
yang terlihat trendy. Sebuah ikat pinggang perak
tampak melingkar di pinggangnya yang ramping, scarf
yang berwarna senada tampak cantik melingkar di
lehernya yang jenjang. Saat itu, rambutnya yang lurus
sebahu dibiarkan terurai, menghiasi wajahnya yang
berbentuk oval. Sungguh tampak begitu manis
dengan bagian pipinya yang disapu warna merah
merona. Alis matanya pun tampak tipis dan hitam
pekat, sedang di bawahnya tampak bulu mata yang
begitu lentik. Eye shadow-nya yang berwarna ungu
tampak serasi dengan warna bibirnya yang dipoles
lipstick berwarna senada. Selain itu, pernak-pernik
etnik terlihat menghiasi tangan dan kakinya yang putih
mulus. Bahkan sepatu warna putihnya yang berhak
tingginya membuatnya kian tampak semampai.
29
“Kau cantik sekali, Nin,” puji Bobby terpana
melihat penampilan Nina yang lain dari biasanya.
“Terima kasih, Kak! Kau juga tampak lebih
tampan,” balas Nina seraya tersenyum..
“Terima kasih, Nin. Kalau begitu, ayo kita
berangkat!” ajak Bobby seraya menggandeng Nina
dan mengajaknya menuju mobil.
Tak lama kemudian, kedua muda-mudi itu sudah
melaju menuju ke pusat kota, hingga akhirnya mereka
tiba di sebuah restoran yang sangat mewah. Kini
keduanya sudah duduk dekat jendela yang
menghadap ke jalan. Dari tempat itu terlihat
pemandangan kota yang dipenuhi warna-warni lampu
yang begitu indah, terkadang dari tempat itu terlihat
kereta listrik yang melintas di atas rel layangnya,
sungguh tampak menarik bagaikan mainan di dalam
sebuah diorama. Ruangan di tempat itu pun terasa
sangat nyaman, interiornya yang bergaya klasik betulbetul
begitu berkelas. Lampu gantung, furniture, serta
benda seni lain yang berasal dari zaman renaissance
menciptakan suasana yang sangat romantis.
30
“Nin, apa kau senang makan di sini?” tanya Bobby
seraya memasukkan makanannya ke dalam mulut.
“Senang sekali, Kak. Terus terang, baru kali ini
aku makan di restoran semewah ini.”
“Aku juga baru pertama kali ini. Biasanya aku
hanya makan di restoran cepat saji.”
“Suasana di tempat ini sungguh sangat romantis,
Kak.”
“Betul, Nin. Seolah kita ini berada di masa lampau
yang dikelilingi oleh benda seni bercita-rasa tinggi
yang berasal dari masa kebangkitan.”
"O ya, Kak. Setelah ini kita akan ke mana?”
“Emm... bagaimana kalau kita menikmati air
mancur menari?”
“Benarkah? Aku senang sekali mendengarnya,
Kak.”
"O ya, Nin. Ngomong-ngomong, sebenarnya
seperti apa pemuda yang kau dambakan?”
“Yang jelas, dia itu bukan kriminal, Kak. Tapi, dia
itu haruslah Pemuda yang baik dan mau mengerti
31
aku. Selain itu, dia juga pria yang romantis dan
bercita-rasa seni tinggi.”
“Eng... menurutmu apa aku sudah masuk pada
kriteria itu?”
“Entahlah, Kak... Aku belum begitu mengenalmu,
karenanya bagaimana mungkin aku bisa menjawab
pertanyaanmu.”
“Hmm... jika demikian, bagaimana kalau kita
saling mengenal lebih jauh! Terus terang, aku telah
jatuh cinta padamu, Nin.”
Saat itu Nina tak mampu berkata-kata, sungguh
dia tidak menyangka kalau pernyataan itu akan keluar
dengan begitu cepat.
“Bagaimana, Nin. Apakah kau juga mencintaiku?”
tanya Bobby penuh kecemasan.
Lantas dengan wajah yang bersemu merah, Nina
pun berani mengungkapkan isi hatinya, “A-aku juga
mencintaimu, Kak.” jawabnya pelan.
“Sungguh!” tanya Bobby seraya menatap mata
gadis itu dalam-dalam.
32
Nina pun menganggukkan kepalanya dan
tersenyum manis.
“Oh, Nin. Aku sungguh bahagia sekali
mengetahuinya,” ungkap Booby kemudian.
Kini kedua muda-mudi itu tampak berpegangan
tangan, merasakan kebahagiaan yang tiada tara.
Sementara itu di tempat lain, Lara yang baru pulang
dari rumah temannya tampak sedang berbicara
dengan pembantunya. “Mbok! Nina pergi ke mana?”
“Non Nina pergi sama Den Bobby, Non.”
“Apa! Nina pergi sama Bobby?” tanya gadis itu
hampir tak mempercayainya.
“Betul, Non. Katanya mereka mau makan malam.”
Mengetahui itu, hati Lara pun jadi tidak karuan,
terbayang sudah bagaimana orang yang dicintainya itu
kini sedang berduaan dengan sepupunya. “Mbok,
tolong buatkan aku minum!” pinta Lara seraya
melangkah ke kamarnya.
Kini gadis itu tampak merebahkan diri di tempat
tidur, pikirannya melayang jauh, membuat alur cerita
mengenai Bobby dan sepupunya. Di benaknya
33
tergambar suasana mengenai Bobby dan Nina yang
sedang berduaan, duduk di restoran saling
berhadapan. Pada saat itu, keduanya tampak
menikmati makanan lezat sambil memperbincangkan
berbagai hal yang menyenangkan. Setelah itu,
keduanya berjalan-jalan di taman dan duduk di
sebuah bangku, membicarakan berbagai hal yang
indah. Lantas keduanya semakin hanyut di dalam
kebersamaan itu, hingga akhirnya mereka pun
berciuman.
“Tidak!” ucap Lara seraya menarik nafas panjang
dan bergegas duduk di tepian tempat tidur. Sungguh
alur cerita yang dikarangnya itu sudah membuatnya
benar-benar merasa tidak nyaman. Bagaimana
mungkin dia bisa merelakan kalau orang yang begitu
dicintainya bermesraan dengan gadis lain.
“Non, ini minumannya!” seru pembantunya tibatiba
dari balik pintu kamar.
“Masuk saja, Mbok!”
Mendengar itu, pembantunya segera masuk dan
meletakkan minuman yang dibawanya di atas meja
34
rias. Setelah itu, dia pun segera meninggalkan
ruangan. Pada saat yang sama, Lara masih duduk di
tepian tempat tidur. Kini di dalam kepalanya sudah
tercipta alur baru yang lebih seru dari sebelumnya.
Dimana di benaknya terbayang peristiwa yang
semakin memanas. Sepulang dari taman, Bobby dan
Nina tidak langsung pulang, namun mereka mampir
dulu ke sebuah hotel, hingga akhirnya mereka
melakukan perbuatan layaknya suami istri.
“Tidak!” lagi-lagi Lara menarik nafas panjang,
kemudian beranjak mengambil minuman dan
meneguknya sampai habis. Setelah itu, dia segera
kembali ke tempat tidur dan langsung merebahkan
diri.
Pada saat yang sama, Bobby dan Nina tampak
sedang melangkah ke mobil. Kini sepasang mudamudi
itu sedang melaju menuju ke sebuah hotel
bintang lima. Di dalam perjalanan, keduanya tampak
sudah semakin akrab, membicarakan berbagai hal
yang mereka minati. “Hmm… Jika demikian, berarti
35
aku memang harus memakainya,” kata Bobby sambil
terus memperhatikan jalan.
“Betul, Kak. Kau memang harus memakai
pelindung itu demi untuk keamanan.”
“Baiklah kalau begitu, agar kau tidak khawatir lagi
aku pasti akan memakainya.”
Sepasang muda-mudi itu terus membicarakan
perihal yang cukup menarik itu, hingga akhirnya
mereka tiba di hotel. Sementara itu di sebuah jalan
utama, Randy terlihat sedang mengendarai mobilnya.
Saat itu di wajahnya terlihat sebuah ekspresi
kebahagiaan. Maklumlah, pemuda itu baru saja
berhasil melobi rekan bisnisnya, dan sekarang mau
menindaklanjutinya demi untuk mematangkan perkara
itu.
Kini pemuda itu tampak sedang menerima
telepon, membicarakan perihal yang penting. “Iya..
iya... lima belas menit lagi aku sampai di tempat
tujuan. Sudah ya, sampai bertemu nanti!” ucap
pemuda itu mengakhiri pembicaraan.
36
Sedan mewah yang ditumpangi Randy terus
melaju semakin cepat, mendahului mobil-mobil yang
ada di depannya. Pada saat itu, wajahnya tampak
begitu berseri-seri. Begitulah Randy, pemuda yang
enerjik dan sedang dalam masa produktif. Jika dia
sudah mengurusi soal bisnis dia memang sangat
bergairah, bahkan hari-hari spesialnya sering
dikorbankan demi urusan bisnis. Buktinya di akhir
pekan ini, dimana seharusnya dia berlibur untuk
penyegaran tapi malah digunakan untuk mengurusi
bisnisnya. Sedan mewah yang ditumpangi Randy
terus melaju, hingga akhirnya dia tiba di tempat
tujuan.
Esok paginya seusai sarapan, Nina tampak
sedang berbincang-bincang dengan Lara di ruang
tengah. Mereka sedang membicarakan perihal Bobby
yang kini sudah menjadi kekasih Nina. Saat itu, Nina
tampak bersemangat menceritakan bagaimana dia
37
diajak makan hingga akhirnya Bobby menyatakan
cintanya di dalam suasana yang begitu romantis.
“Terus...?” tanya Lara penasaran, sebab peristiwa
yang dialami oleh sepupunya itu sesuai sekali dengan
alur cerita yang pernah dikarangnya.
Nina pun kembali melanjutkan ceritanya. “Setelah
itu kami berjalan-jalan di taman dan duduk di suatu
tempat sambil menikmati air mancur menari. Sungguh
semuanya itu sangat romantis dan membuatku benarbenar
bahagia,” ungkap Nina dengan wajah berbinar.
“Terus setelah itu...?” tanya Lara lagi semakin
penasaran, karena yang diceritakan Nina lagi-lagi
sangat sesuai dengan fantasinya.
“Eng... Setelah itu… setelah itu tidak ada lagi
istimewa, Ra. Hanya perbincangan biasa yang sedikit
menarik.”
“Benarkah tidak ada lagi kejadian yang istimewa?”
tanya Lara mendesak.
“Betul, Ra. Memang sudah tidak ada lagi,” jawab
Nina sambil mengacungkan dua jarinya. “Swear,”
ucapnya kemudian.
38
Mengetahui itu, Lara menyesal juga karena telah
berburuk sangka pada sepupunya, sampai-sampai di
benaknya tercipta alur cerita yang tak sepatutnya itu.
39
Dua
iga bulan kemudian, di sebuah villa mewah
milik Randy. Seorang gadis tampak iri
memperhatikan sepasang sejoli yang kini sedang
asyik bermesraan di taman. Gadis itu
memperhatikannya dari balik gorden yang dibukanya
sedikit.
“Hmm... Mereka tampak begitu serasi. Andai yang
di posisi Nina itu adalah aku, betapa bahagianya hati
ini....” Lara terus memperhatikan sepasang sejoli itu.
Sementara itu tanpa sepengetahuannya, sepasang
mata tampak mengawasi gerak-geriknya. Dia tampak
bersembunyi di balik patung yang ada di ruangan itu.
Setelah lama mengawasi, akhirnya orang itu keluar
dari persembunyiannya dan melangkah mendekati
Lara.
“Hmm... Rupanya kau pun mencintainya,” kata
orang itu kepada Lara.
T
40
Mendengar itu, seketika Lara terkejut, kemudian
segera berpaling memperhatikan wajah tampan yang
kini menatapnya dengan dingin. “Ra-Randy... a-apa
yang kau lakukan di situ?” tanya Lara terbata.
“Mengamati gadis yang sedang jatuh cinta,” jawab
Randy.
“Si-siapa gadis yang kau maksud?”
“Tentu saja kau, Lara... Memangnya ada gadis
lain di ruangan ini?”
“Ke-kenapa bisa kau menduga begitu?”
“Sudahlah, Ra! Bahasa tubuhmu tidak bisa
membohongiku.”
Lara terdiam, dia memang tidak mungkin bisa
menyembunyikan gelagat jatuh cintanya. “Kak,
sepertinya hari sudah larut. Sebaiknya aku pergi,”
ucap gadis itu seraya berlari ke kamarnya.
Sementara itu, Randy cuma bisa memperhatikan
kepergiannya dengan rasa menyesal. Tidak
seharusnya dia membuat Lara malu dan membuatnya
terpaksa berlari meninggalkannya. Pada saat yang
sama, di atas kursi ayun yang ada di taman, Bobby
41
terlihat sedang memperhatikan wajah Nina yang
manis. Diperhatikannya setiap lekuk wajah yang tak
membuatnya jemu itu, dari alis hingga ke bibirnya
yang merah merekah, yang jika tersenyum maka akan
tampaklah deretan giginya yang putih laksana mutiara.
“Aku bahagia sekali malam ini, Sayang...,” ungkap
Bobby seraya mencium kening gadis itu.
“Aku juga, Kak.” Ungkap Nina seraya
memalingkan wajahnya, sedang dari matanya tiba-tiba
mengalir air mata kesedihan.
“Ada apa, Sayang...? Kenapa kau menangis?”
tanya Bobby heran.
“Kak, andai kau mengetahui diriku yang
sebenarnya. Apakah kau tetap akan mencintaiku?”
tanya Nina seraya menatap mata kekasihnya dalamdalam.
Saat itu Bobby terdiam, sungguh dia tidak tahu
harus menjawab apa. “Eng... kenapa kau bertanya
seperti itu, Sayang?” tanyanya kemudian.
“Kak, tolonglah jawab pertanyaanku tadi!”
42
Lagi-lagi Bobby terdiam, “Hmm… apakah dia
mengidap suatu penyakit berbahaya?” tanya pemuda
itu dalam hati. Lantas di benak pemuda itu terjadi
pertarungan hebat antara egonya yang menginginkan
kesempurnaan melawan hati nuraninya yang begitu
mencintainya. Hingga akhirnya pemuda itu bisa juga
menjawab pertanyaan tersebut, “Tentu saja, Nin.
Bagaimanapun keadaan dirimu, aku tetap akan
mencintaimu.”
“Se-sekalipun aku mengidap HIV?” tanya Nina
memastikan.
“A-apa???” Bobby terkejut bukan kepalang. “Mememangnya...”
Belum sempat pemuda itu menuntaskan katakatanya,
Nina pun langsung memotong, “Tidak, Kak.
Aku tidak mengidap HIV...” kata Nina seraya
tersenyum, kemudian mencoba menghapus air
matanya.
“Sungguh?” tanya Bobby memastikan.
“Iya, Kak. Tadi aku cuma mau mengujimu, apakah
kau tulus mencintaiku.”
43
“Syukurlah kalau begitu… O ya, ngomong-nomong
apa sebenarnya yang membuatmu menangis?”
“Eng, begini Kak... Se-sebenarnya, a-aku
bukanlah gadis baik-baik seperti yang kau duga
selama ini.”
“Ma-maksudmu?” tanya Bobby setengah terkejut.
“A-aku ini...” Nina terdiam, sungguh saat itu dia tak
kuasa melanjutkan kata-katanya. Lagi-lagi Nina hanya
bisa menangis.
“Ayolah, Sayang...! Katakanlah padaku! Apapun
itu, aku akan tetap mencintaimu.”
“Tidak, Kak. Aku tidak sanggup untuk
mengatakannya. Kau itu pemuda yang baik, sungguh
aku tidak pantas menjadi kekasihmu.”
“Sayang… Kenapa kau berkata seperti itu?” tanya
Bobby tak mengerti.
“Sebab, a-aku...” Lagi-lagi Nina terdiam.
“Ayo, Sayang...! Katakanlah!” desak Bobby kian
penasaran.
Tiba-tiba saja Nina beranjak dari duduknya,
kemudian berlari meninggalkan pemuda itu.
44
“Nina!!! Tunggu, Nin!” Teriak Bobby seraya
mengejar gadis itu.
Tak lama kemudian, Bobby sudah menghentikan
larinya. Kini dia tampak berdiri di muka pintu kamar
mandi sambil mengetuknya pelan, “Nin, buka
pintunya, Nin! Aku minta maaf jika ada perlakuanku
yang membuatmu jadi begini! Nin, tolong buka
pintunya. Aku mau bicara!” pinta Bobby penuh harap.
Lama juga Bobby memohon, namun gadis itu
tetap tak mau membukakannya. Saat itu dari dalam
kamar hanya terdengar isak tangis yang membuat
perasaan Bobby semakin tidak karuan, hingga
akhirnya pemuda itu memutuskan untuk pergi
meninggalkannya. Kini pemuda itu sedang melangkah
ke kamar tidur dengan membawa seribu tanda tanya.
Sementara itu di dalam kamar mandi, Nina tampak
sedang mengikat lengannya dengan seutas tali. Saat
itu tubuhnya terlihat bergetar, dan tak lama kemudian
tubuh itu tampak terkulai di sudut ruangan.
45
Esok paginya, Bobby dikejutkan oleh suara
ketukan pintu yang cukup keras. “Siapa?” tanya Bobby
kepada orang yang mengetuk pintu.
“Ini aku, Kak...” sahut orang itu.
“Ni-Nina!” Seru Bobby seraya bergegas bangun
dan membukakannya pintu.
Kini pemuda itu sedang memandang Nina dengan
penuh perasaan heran, sungguh dia tidak menyangka
kalau pagi ini dia melihat gadis itu tampak begitu
ceria, bahkan sebuah senyuman tampak tersungging
di bibirnya.
“Ayo, Kak! Kita sarapan sama-sama!” ajak Nina
kepadanya.
Semula Bobby ingin mengajukan banyak
pertanyaan, namun akhirnya dia urungkan lantaran
takut menghilangkan keceriaan Nina. “Iya, tunggu
sebentar! Aku mau cuci muka dulu,” katanya seraya
melangkah menuju wastafel.
Sementara itu, Randy dan Lara yang sedang
menunggu di meja makan tampak sedang
berbincang-bincang.
46
“Ra, aku betul-betul tidak mengerti akan sikapmu.
Dulu kau bilang tidak menyukai Bobby, lalu kenapa
belakangan ini justru malah sebaliknya?” tanya Randy
penuh keingintahuan.
“Sudahlah, Kak! Terus terang, aku tidak mau
membicarakan masalah itu.”
“Maafkan aku, Ra! Aku tidak bermaksud
membuatmu kesal. Namun, aku perlu menyampaikan
kalau kau tidak seharusnya memikirkan Bobby yang
kini sudah menjadi pacar sepupumu. Ra… kau kan
tahu kalau aku sangat mencintaimu. Eng… Bukankah
lebih baik kalau kau mencintaiku?”
“Itu tidak mungkin, Kak. Aku tidak mungkin bisa
mencintaimu karena sejak awal aku memang sudah
mencintai Bobby. Lagi pula, aku sudah menegaskan
padamu kalau hubungan kita hanyalah sebatas
sahabat, tidak lebih dari itu.”
“Ra… ngomong-ngomong, apa kau merasa
kecewa dengan keputusan Bobby yang demikian?”
47
“Tidak, aku sama sekali tidak kecewa. Bobby dan
Nina memang pasangan yang serasi, dan mereka
memang layak untuk saling mencintai.”
“Kau jangan bohong, Ra! Semalam aku lihat kau
tampak begitu kecewa.”
“Kak, jika aku memang betul-betul kecewa, lantas
kenapa?”
“Ra, aku mencintaimu. Aku tidak mau jika kau
terus-menerus memendam perasaan itu. Kau berhak
mendapat kebahagiaan seperti mereka, dan mungkin
saja jika kau mau bersamaku, kau pun bisa
mendapatkan kebahagiaan itu.”
“Kak, terus terang aku ragu akan bahagia jika
bersamamu.”
“Kenapa kau berpikir begitu?”
“Bukankah kita selalu berbeda pendapat.? Dan
kau pun selalu mau menang sendiri lantaran kau itu
orang yang keras kepala. Tidak seperti Kak Bobby.
Biarpun dia sering kubuat jengkel, namun dia tidak
pernah mengungkapkan kejengkelannya itu.
Sepertinya, dia itu memang pria yang mengerti betul
48
akan hati wanita, dan dia berusaha untuk menjaga
perasaannya yang rapuh. Tidak sepertimu yang selalu
ceplas-ceplos dan tidak mau mengerti perasaan
wanita yang memang mendambakan kelembutan.”
“Hmm... aku betul-betul tidak menyangka kalau
perlakuanku padamu selama ini justru telah
membuatmu antipati. Kalau kau mau tahu,
sesungguhnya aku bersikap demikian karena aku
mencintaimu, Ra.”
“Tapi, Kak. Caramu itu sama sekali tidak
mencerminkan hal itu.”
“Benarkah?” tanya Randy heran.
Lara mengangguk. Bersamaan dengan itu, Bobby
dan Nina tampak sudah tiba di ruang makan. Kini
keduanya tampak sudah duduk berhadapan dengan
Randy dan Lara.
“Maaf ya, kalian telah lama menunggu!” ucap
Bobby menyesal karena sudah bangun kesiangan
sehingga membuat mereka terpaksa menunggu. “Ayo,
sebaiknya kita sarapan sekarang!” ajaknya kemudian.
49
Saat itu Lara tampak memperhatikan Bobby yang
mengambilkan nasi goreng untuk Nina, sedangkan
Nina membalasnya dengan mengambilkan lauk untuk
pemuda itu. Sungguh pemandangan yang membuat
Lara menjadi iri karenanya. Mengetahui itu, Randy
pun melakukan hal yang dilakukan Bobby, dia segera
mengambilkan nasi goreng untuk Lara, malah
sekaligus dengan lauk-pauknya.
“Randy! Kenapa kau menaruh ini di piringku?”
tanya Lara seraya mengambil telur di piringnya dan
mengembalikannya ke tempat semula.
“Maafkan aku, Ra! Tapi… Bukankah kau itu
menyukai telur?” tanya Randy dengan raut wajah
bingung.
“Betul, tapi tidak untuk saat ini. Karena...”
“Cukup, Ra!” Randy memotong, “Kau itu sungguh
keterlaluan. Jika kau tidak suka kuambilkan, bilang
saja! Tidak usah pakai alasan macam-macam!”
katanya kemudian.
50
“Iya, aku memang tidak suka kau ambilkan.
Sekarang apa kau puas?” tanya Lara seraya bangkit
dari duduknya.
“Kau mau ke mana, Ra?” tanya Bobby tiba-tiba.
“Kalian lanjutkan saja sarapannya, aku sudah
tidak berselera,” kata gadis itu seraya melangkah
pergi.
“Dia betul, Bob. Kita lanjutkan sarapan kita. Kau
jangan pedulikan ambekannya yang seperti anak kecil
itu!”
Bobby tidak menuruti kata-kata Randy, dia malah
beranjak menghampiri Lara.
“Ra, Tunggu!” tahan pemuda itu seraya
memegang bahu Lara. “Ayolah, Ra! Jika tidak
sarapan, nanti kau sakit,” katanya kemudian.
“Tidak, Kak. Aku sudah tidak selera makan, apa
lagi jika harus bersama orang yang menyebalkan itu.”
Mendengar itu, Randy langsung bangkit dari
duduknya. “Baiklah... jika memang itu yang kau
inginkan, aku bisa kok makan sendirian. Silakan kau
makan di sini bersama Bobby dan Nina! Biarlah aku
51
makan sendirian di teras,” kata Randy seraya
mengambil piringnya dan melangkah pergi.
“Ran, tunggu!” teriak Bobby.
“Sudahlah, Bob! Apa kau tidak mendengar
keinginan anak kecil itu,” tolak Randy sambil terus
berlalu.
Mendengar itu, Bobby tidak berusaha mencegah,
sebab dia tahu betul akan tabiat sahabatnya itu.
“Ra, ayo kita kembali ke meja makan!” ajak Bobby
kemudian.
“Tidak, Kak. Kini aku semakin tidak berselera.”
“Ra, jika kau tidak sarapan. Aku juga tidak akan
sarapan,” ancam Bobby tidak main-main.
Mendengar itu, hati Lara pun jadi luluh. Sungguh
dia tidak mau jika orang yang dicintainya itu sampai
tidak sarapan karena ulahnya. Lantas dengan agak
terpaksa, akhirnya dia bersedia kembali ke meja
makan. Sementara itu di teras, Randy tampak sedang
menikmati sarapan paginya. Sekalipun saat itu hatinya
sedang dongkol, namun dia tetap berusaha
menghabiskan makanannya. Dalam hati dia benar52
benar merasa kecewa dengan sikap Lara yang
demikian. “Ra, kenapa kau membalas kebaikanku
dengan cara seperti itu? Apa kau tidak tahu kalau aku
melakukan itu lantaran ingin membahagiakanmu,
yang mana pada saat itu kulihat kau begitu ingin
diperlakukan seperti halnya yang dilakukan Bobby
kepada Nina.”
Pemuda itu terus menikmati sarapannya sambil
memikirkan Lara yang begitu dicintainya. Sungguh dia
tidak mengerti, kenapa segala niat baiknya selalu saja
menjadi bumerang yang justru membuat gadis
pujaannya bertambah tidak simpati.
Malam harinya, mereka berempat berjalan-jalan
menikmati suasana puncak yang temaram. Beberapa
menit kemudian, mereka tampak memasuki sebuah
kedai untuk sekedar merasakan lezatnya jagung
bakar dan hangatnya sekuteng. Setelah itu, mereka
kembali berjalan-jalan menikmati suasana malam
53
yang begitu menyenangkan. Ketika melewati sebuah
galeri seni, tiba-tiba Bobby menghentikan langkahnya.
Rupanya pemuda itu baru saja mendapat sebuah
SMS yang membuatnya merasa perlu untuk segera
membalas.
“Wah... ternyata pulsaku sudah habis. Kalau
begitu, kalian tunggu di sini ya, aku akan mengisi
pulsa dulu,” kata pemuda itu memberitahu.
“Ini pakai HP-ku saja,” tawar Randy.
“Terima kasih, Ran. Aku memang harus
mengisinya, sebab masa tenggangnya juga sudah
hampir habis.”
“Emm... kalau begitu baiklah. Tapi, jangan terlalu
lama ya!” pesan Randy.
“OK, Ran… Ayo, Nin!” ajak Bobby minta ditemani.
Sepeninggal Bobby dan Nina, pemuda yang
bernama Randy itu tampak melihat-lihat benda seni
yang dipajang di etalase. “Lara, kemarilah!” panggil
pemuda itu ketika dia melihat sesuatu yang pantas
ditunjukkan pada Lara.
“Ada apa, Kak?”
54
“Lihat itu! Bukan itu sangat indah,” unjuk Randy
mengenai sebuah benda seni yang menurutnya indah.
“Yang mana, Kak?” tanya Lara belum menemukan
benda yang dimaksud.
“Itu, yang ada di sebelah sana,” tunjuk Randy
berusaha memberitahu benda yang dimaksudnya.
"O, yang di sana itu?” tanya Lara seraya ikut
menunjuk ke arah benda yang dimaksud.
“Betul, Ra.”
"O, kalau itu sih biasa saja. Aku sudah sering
melihat yang seperti itu.”
Dalam hati Randy merasa jengkel dengan ucapan
Lara barusan, sepertinya gadis itu sama sekali tidak
menghargai upayanya yang dengan tulus dilakukan
demi membuatnya senang.
“Lihat itu, Kak! Indah sekali,” unjuk Lara
bersemangat.
“Yang mana?” tanya Randy penasaran.
“Yang itu,” unjuk Lara lagi berusaha mengarahkan
telunjuknya agar tepat mengarah ke benda seni yang
dimaksud.
55
"Ah, itu sih biasa saja. Aku sudah sering melihat
yang seperti itu,” balas Randy meniru ucapan Lara
sebelumnya, walaupun sebenarnya saat itu hatinya
mengakui kalau yang diberitahukan Lara itu betulbetul
indah.”
“Dasar manusia tidak punya jiwa seni. Kau sama
sekali tidak bisa membedakan yang mana yang indah
dan yang tidak,” kata Lara jengkel.
“Kau yang tidak mempunyai jiwa seni. Padahal
yang tadi kutunjukkan padamu begitu indah, namun
kau malah bilang biasa saja.”
Dalam hati, sebetulnya Lara mengakui kalau yang
ditunjukkan Randy tadi memang indah, namun karena
dia tidak mau Randy menjadi penting lantaran telah
memberitahu sesuatu yang menyenangkan hatinya
maka dia pun menampikkan hal itu.
“Kau marah ya, Ra?” tanya Randy.
“Tidak... kenapa aku harus marah?”
“Lalu, kenapa tadi kau diam?”
“Memangnya kalau diam itu berarti marah?”
“Bukankah biasanya memang begitu.”
56
“Kau itu memang sok tahu.”
“Ketahuilah, Ra! Aku menjadi seperti itu karena
kau tidak pernah mau berterus terang padaku.”
“Kak, aku benar-benar bingung. Jika aku berterus
terus terang, kau selalu marah. Namun jika tidak,
hasilnya akan sama juga.”
“Kapan kau pernah berterus terang padaku?
Selama ini kau cuma berterus terang jika hal itu
menyangkut kepentinganmu, namun jika itu
menyangkut kepentinganku kau sama sekali tidak
mau berterus terang? Ketahuilah, Ra! Biarpun aku ini
hanya sebagai sahabat, sebetulnya aku sangat
memerlukan perhatian darimu.”
“Kak, aku jadi demikian karena sebab kau
mencintaiku. Aku khawatir keterusteranganku yang
sesungguhnya bisa membuatmu salah tanggap.”
“Apa kau pikir selama ini aku tidak salah tanggap
lantaran kau tidak pernah berterus terang padaku?”
“Hmm... ini memang sulit. Andai kau tidak
mencintaiku tentu tidak akan sesulit ini jadinya.”
57
“Kalau begitu, kenapa kau tidak mencintaiku
saja?”
“Apa kau bilang? Enak saja kau bicara begitu,
kenapa bukan kau saja yang tidak usah mencintaiku?”
“Itu tidak mungkin, Ra. Bagaimana mungkin aku
bisa membohongi perasaanku sendiri.”
“Begitu juga aku, Kak.”
“Tidak... itu berbeda, Ra. Kau tidak mencintaiku
karena kau belum mengenal aku dengan baik,
sedangkan aku mencintaimu karena aku sudah
menerimamu apa adanya. Tindakanmu karena ego
sedangkan aku karena kata hati.”
“Kenapa kau bisa menyimpulkan demikian?”
“Pikir saja sendiri, kau itu kan manusia yang
sudah dikaruniakan akal yang bisa kau gunakan untuk
menemukan jawaban.”
“Hmm... aku rasa itu bukan lantaran kata hati,
namun karena egomu yang begitu terobsesi denganku
sehingga kau menjadi tidak peduli dengan
perasaanku.”
58
Mendengar itu, Randy langsung menarik nafas
panjang. “Baiklah... terserah bagaimana kau mau
menilai.”
Setelah Randy bicara begitu, keduanya tampak
diam. Entah apa yang ada di benak kedua anak
manusia itu sehingga mereka tidak mampu lagi
berkata-kata, hanya bola mata keduanya yang tampak
saling mengamati satu sama lain. Keadaan itu terus
berlanjut hingga akhirnya Bobby dan Nina kembali ke
tempat itu.
“Eh, ada apa ini? Kenapa dengan kalian?” tanya
Bobby ketika melihat wajah Randy dan Lara tampak
berubah.
“Bob! Sebaiknya sekarang aku kembali ke villa
saja.”
“Lho... bukankah kita tadi mau naik ke puncak
pas.”
“Maaf, Bob. Kini aku sudah tidak bersemangat
lagi, kalian bertiga saja yang naik.”
59
“Hmm... jadi benar dugaanku, kalau saat ini sudah
terjadi sesuatu di antara kalian. Ya sudah, kalau
begitu sebaiknya kita sama-sama kembali ke villa.”
“Sudahlah, Bob! Kalian pergi saja, aku tidak apaapa
kok.”
“Tidak, Ran. Aku bukan orang yang seperti itu.
Bagaimana mungkin aku bisa bersenang-senang
tanpa kehadiranmu.”
“Hmm... baiklah kalau begitu, sebaiknya aku
memang tidak usah kembali ke villa. Ayo temanteman,
mari kita nikmati malam ini dengan penuh
suka cita.”
“Nah, begitu dong,” ucap Bobby senang.
Lantas keempat muda mudi itu segera masuk ke
mobil dan melaju menuju puncak pas. Namun belum
sempat mereka sampai ke tempat tujuan, tiba-tiba
mobil yang mereka tumpangi disalip oleh beberapa
mobil polisi dan dipaksa untuk menepi.
“Angkat tangan dan jangan coba-coba melawan!”
kata seorang polisi tegas.
60
Ke empat muda-mudi itu segera menurut,
kemudian mereka diminta keluar dan segera berdiri
menghadap ke mobil. Pada saat itu Bobby dan Randy
langsung diborgol dan dimasukkan ke mobil polisi.
Sementara itu, Lara dan Nina tampak ditanyai oleh
salah seorang polisi.
“Kalian berdua ini siapa?” tanya polisi itu.
“Ka-kami ini teman mereka, Pak. Na-namun kami
ini tidak tahu apa-apa,” jawab Lara ketakutan.
“Sudah saya duga, kalian memang tidak tahu apaapa.”
“Eng, maaf Pak! Kalau boleh saya tahu apa
kesalahan mereka?” tanya Lara memberanikan diri.
“Mereka diduga terlibat dalam usaha penipuan
yang sangat serius. Dan karenanyalah kami harus
membawa mereka untuk diperiksa secara intensif.”
“Eng... apakah kami juga akan dibawa, Pak?”
tanya Lara lagi.
“Tentu saja, kami kan perlu mendata kalian.
Setelah itu kalian boleh pergi kapan saja kalian mau.”
61
“Lapor Pak! Mobil itu bersih, tidak ada sesuatu
pun yang mencurigakan,” lapor seorang polisi tiba-tiba
kepada polisi yang ternyata atasannya itu.
Setelah atasan polisi itu memberikan instruksi
kepada bawahannya, dia pun mengajak Lara dan Nina
untuk ikut bersamanya. Tak lama kemudian, mereka
berangkat bersama-sama menuju kantor polisi.
Setelah dilakukan pendataan, akhirnya keduanya
dipersilakan pergi.
Dalam perjalanan pulang, Lara dan Nina terus
memikirkan kejadian yang baru mereka alami.
Sungguh keduanya tampak begitu terpukul dan sulit
untuk bisa mempercayainya¾bagaimana mungkin
kedua pemuda sebaik mereka telah melakukan tindak
kejahatan.
Seminggu kemudian, Lara mendapat telepon dari
seorang pemuda yang sudah sangat dikenalnya.
Pemuda itu ternyata si Randy yang mengabarkan
62
kalau dia dan Bobby sudah dibebaskan karena
terbukti tidak bersalah. “Begitulah, Ra. Aku betul-betul
bersyukur karena bisa dibebaskan.“
“Kak, sebetulnya apa yang telah terjadi?”
“Kami ini cuma diperalat orang, Ra. Aku sungguh
tidak menduga kalau ternyata rekan bisnisku itu
seorang penipu. Ups! Maaf, Ra! Sudah dulu ya, aku
harus segera pergi. Lain waktu akan kuhubungi lagi. O
ya, Nina juga kenal dengan penipu itu. Bilang saja
pemuda yang dia kenal di hotel saat malam pertama
dia jadian dengan Bobby. Sudah ya, bye...!”
Setelah menutup telepon, pikiran Lara langsung
tertuju kepada peristiwa yang telah lewat, yaitu di
malam ketika Bobby dan Nina jadian. “Mmm... jadi,
malam itu mereka ke hotel. Tapi, kenapa Nina tidak
cerita? Kenapa waktu itu dia bilang setelah pulang
jalan-jalan di taman tidak ada lagi kejadian yang
istimewa. Ja-jangan-jangan...”
Saat itu juga Lara langsung teringat dengan alur
cerita yang pernah dibuatnya. "Huh, sudahlah... aku
tidak mau ambil pusing. Saat itu kan mereka sudah
63
jadian, dan jika mereka memang melakukannya, itu
bukan urusanku. Tapi, bukankah malam itu mereka
baru jadian. Sungguh sepupuku itu memang gadis
yang gampangan, baru kenal mau saja diajak
begituan.”
Perasaan sedih, prihatin, cemburu, dan sakit hati,
semua jadi satu dalam benak gadis itu. Sungguh dia
tidak tahu harus bersikap bagaimana kepada
sepupunya itu, haruskah ia mengasihaninya atau
malah membencinya. Setelah merenung agak lama,
akhirnya gadis itu bisa mengambil sikap.
Ketidakpedulian, itulah sikap yang dipilihnya karena
diyakini bisa meredam gejolak batinnya saat itu.
Sementara itu di tempat lain, Bobby tampak sedang
melamunkan sang Pujaan hati. Saat itu dia sedang
mengingat kembali kenangan indah ketika
bersamanya di villa. Selama berada di tempat itu
mereka sering berduaan, berbagi kasih dan bermanjamanja.
Dan karena itulah, cintanya kepada Nina
semakin lekat di hati. Walaupun terkadang sikap Nina
sering membuatnya bingung, namun pemuda itu tidak
64
mempersoalkannya. Baginya gadis itu tetaplah gadis
yang baik dan sangat pengertian, dan yang terpenting
baginya adalah mereka bisa terus bersama untuk
saling mencintai.
Esok harinya, Bobby tampak sedang bersama
sang kekasih di dalam mimpinya, sebuah mimpi yang
tidak biasa dan membuatnya tiba-tiba saja terjaga dari
tidurnya. “Ya Tuhan mimpi apa aku barusan?” tanya
pemuda itu dalam hati. Lantas dengan segera dia
duduk di tepian ranjang dan kembali mengingat
mimpinya barusan. Mimpi itu betul-betul membuatnya
tidak nyaman. “Tidak... aku tidak mau itu terjadi,” kata
Bobby seraya beranjak bangun dan bergegas menuju
ke rumah kekasihnya.
Setibanya di sana, pemuda itu terkejut bukan
kepalang. Saat itu dia melihat kekasihnya sedang
terbaring di tempat tidur dengan kondisi yang begitu
memprihatinkan.
65
“Ka-Kak Bobby...!” panggil Nina seraya menatap
pemuda itu dengan sorot mata yang begitu pudar,
bibirnya tampak bergetar seperti hendak mengatakan
sesuatu.
Melihat itu, Bobby segera menghampiri dan
berusaha mendengar apa yang hendak dia katakan.
“K-Kak... k-kau sudah bebas? A-aku bahagia
sekali melihatmu, Kak,” kata Nina lagi dengan suara
yang membuat pemuda itu serasa ingin menangis. “Oo
ya, Kak. Bi-bisakah ka-kau menolongku?” lanjutnya
kemudian.
“Apa yang harus aku lakukan, Sayang?” tanya
Bobby tidak mengerti.
“To-tolong ca-carikan a-aku putaw, Kak!” pinta
gadis itu terbata.
Betapa terkejutnya Bobby begitu mengetahui
kalau kekasihnya ternyata sedang mengalami sakaw
berat. “Oh Tuhan, apa yang harus kulakukan.
Haruskah aku mencarikannya benda laknat itu.
Haruskah aku terlibat dan menuruti permintaannya?”
66
Ataukah kudiamkan saja kekasihku yang sedang
menderita ini?” tanya pemuda itu dalam hati.
Batin pemuda itu terus bergejolak, di antara
kesedihan akan kekasihnya yang begitu menderita
dan keterlibatannya akan dosa. “Ti-tidak... aku tidak
akan mencarikan benda sialan itu untuknya.”
Kini pemuda itu mendekap erat kekasihnya yang
saat ini tengah kesakitan. Tubuhnya menggigil dengan
mulut yang terus bergumam dengan terbata-bata.
Entah apa yang dikatakannya barusan, sungguh sulit
untuk dipahami. Kini Bobby memandang wajah
kekasihnya yang tampak pucat, lalu menatap kedua
matanya yang kosong¾seolah kedua matanya itu
bicara kalau saat ini dia sedang tak berdaya dan
sangat mengharapkan bantuannya. Untuk lebih
meyakinkan, gadis itu pun mencoba tersenyum,
sebuah senyuman yang tampak dingin, namun penuh
dengan makna perharapan.
Bobby terus memandang wajah manis yang
selama ini membuat hatinya begitu damai. Namun
tidak untuk saat ini, karena wajah yang dilihatnya
67
sekarang ini sungguh membuat hatinya benar-benar
sedih. Seketika pemuda itu membatin,
mempertanyakan semua itu, “Sayang... kenapa hal ini
harus terjadi padamu. Kenapa kau sampai bisa
terjerat benda haram itu?”
Mendadak air mata pemuda itu berlinang, saat itu
dia melihat kekasihnya kembali merintih¾merasakan
penderitaannya yang amat sangat. Bibirnya bergetar
dengan mata yang menatapnya begitu dalam¾seolah
memohon belas kasihnya. Saat itu air mata Bobby
langsung menetes, dan seketika itu pula dia langsung
mengecup kening kekasihnya. “Bertahanlah, Sayang...
aku akan selalu bersamamu di sini,” ucap pemuda itu
seraya menatap kekasihnya lagi.
Nina kembali merintih, saat itu tubuhnya tampak
semakin menggigil dengan kepala yang bergerak tidak
karuan. Melihat itu, Bobby pun mencoba untuk
menenangkannya. Namun semakin dia berusaha,
semakin keras pula usaha Nina untuk berontak. Saat
itu, erangan dan rintihan yang keluar dari mulut Nina
sungguh membuat pemuda itu kian bertambah sedih.
68
Dan karena tak tahan melihat kekasihnya itu terus
menderita, akhirnya dia memutuskan untuk
melibatkan diri dengan benda mematikan itu.
“Sayang... bertahanlah, aku akan pergi
mencarikannya untukmu,” ucapnya seraya
menggenggam erat tangan kekasihnya dan
menciumnya dengan penuh kasih sayang.
Saat itu Nina memandangnya dengan pandangan
yang seolah mengiyakan, dan di bibirnya lagi-lagi
tersungging sebuah senyuman dingin. Melihat itu,
Bobby tak mau membuang waktu lagi, lalu dengan
segera dia pergi menemui temannya yang juga
seorang pemakai. Tak lama kemudian, Bobby sudah
kembali dengan membawa barang haram itu. Kini
pemuda itu sudah berada di sisi kekasihnya dan
langsung memberikan benda berbahaya itu. “Ini
Sayang... Inilah benda yang kau butuhkan saat ini,”
ucap pemuda itu seraya menggenggam erat jemari
kekasihnya dan mengecup keningnya mesra.
Setelah itu Bobby terdiam, dia menunggu apa
yang hendak Nina lakukan. Tak lama kemudian dia
69
melihat kekasihnya itu tampak mengambil sedikit
serbuk putih dan mencairkannya, kemudian dengan
perlahan dimasukkannya ke dalam alat suntik yang
sudah tersedia. Dan setelah mengikat lengannya, juga
sudah meyakini bahwa tidak ada udara pada tabung
suntiknya, gadis itu pun segera menyuntikkan cairan
laknat itu memasuki urat nadinya. Tidak sampai di situ
saja, kini gadis itu terlihat sedang menyedot darahnya
menggunakan alat suntik itu hingga penuh dan
kemudian memasukkannya kembali ke urat nadinya.
Hal itu terus dilakukannya sampai beberapa kali
hingga membuat Bobby betul-betul merasa ngilu
dibuatnya. Setelah berapa lama kemudian, Bobby
melihat kekasihnya itu semakin tenang, hingga
akhirnya gadis itu sudah kembali seperti sedia kala,
yaitu kembali menjadi gadis yang selama ini dia kenal.
“Sayang...” ucap Bobby lembut kepada Nina yang
baru saja menyimpan kelebihan benda yang sangat
mematikan itu.
70
Saat itu Nina langsung tersenyum, sebuah
senyuman manis yang selalu membuat Bobby
bahagia. “Ada apa, Kak?” tanyanya kemudian.
“Kau sudah baikan, Sayang?” tanya Bobby
memastikan.
Nina mengangguk, “Terima kasih ya, Kak! Kau
sudah memberikan apa yang sudah menjadi
kebutuhanku,” katanya seraya memeluk pemuda itu
dengan pelukan yang begitu hangat.
“Ketahuilah, Sayang... aku melakukan itu karena
terpaksa. Terus terang, aku tidak tahan melihatmu
menderita. Aku rasa kini sudah saatnya kau
meninggalkan benda haram itu dan kembali ke jalan
yang lurus. Mmm… bagaimana kalau besok kita pergi
ke dokter untuk mengobati kecanduanmu itu, terus
terang kau perlu menjalani rehabilitasi, Sayang...”
“Tapi Kak...” Belum sempat Nina berkata lebih
lanjut, Bobby sudah menutup bibir gadis itu dengan
jari telunjuknya. “Sudahlah sayang...! Tidak ada kata
‘tapi’ untuk perkara ini. Demi kebaikanmu kau harus
mau menuruti apa yang sudah kukatakan tadi. Nanti,
71
jika orang tuamu pulang, biarlah aku yang bicara pada
mereka. Aku yakin, mereka pun menghendaki agar
kau sembuh dan kembali hidup normal. Karenanyalah
kau jangan mengkhawatirkan macam-macam, sebab
mereka tentu bisa mengerti kalau kau hanyalah
korban.” Setelah mendengar penjelasan itu, akhirnya
Nina mau juga menuruti keinginan Bobby. Saat itu
Bobby betul-betul bahagia karena kekasihnya mau
kembali ke jalan yang lurus, kemudian dengan penuh
kasih sayang pemuda itu segera mengecup kening
kekasihnya dan memeluknya erat memberi
kedamaian.
Esok harinya menjelang senja, Bobby kembali
menemui kekasihnya. Dan ketika tiba di sana,
pemuda itu tampak terkejut bukan kepalang. Saat itu
dilihatnya orang-orang tampak ramai, berkumpul di
halaman rumah Nina. Dan yang paling membuatnya
terkejut adalah bendera kuning yang terpasang di
muka rumah. Seketika itu juga hati Bobby jadi tidak
72
karuan, sungguh saat itu dia benar-benar khawatir
kalau sesuatu yang buruk telah menimpa kekasihnya.
Karena penasaran, Bobby pun segera memasuki
rumah dan memastikan apa yang tengah terjadi.
Benar saja, ternyata kekasihnya memang telah tiada,
gadis yang begitu dicintainya telah pergi untuk
selama-lamanya. Kini Bobby sedang menangis di sisi
jenazah kekasihnya, saat itu dia melihat wajah
kekasihnya tampak pucat dan dengan tubuh yang
terbujur kaku. “Ya Tuhan, kenapa kau panggil dia
begitu cepat? Padahal dia sudah berjanji akan
menjalani rehabilitasi dan akan kembali ke jalan yang
lurus,” kata pemuda itu membatin.
Air mata Bobby terus berderai, saat itu hatinya
betul-betul sedih karena ditinggal oleh kekasihnya
dengan cara yang mengenaskan seperti itu. “Ya
Tuhan... Ampunkanlah aku. Semua ini karena
salahku, akulah yang telah memberikan benda haram
itu kemarin. Dan karenanyalah dia menjadi seperti ini.
Seharusnya… seharusnya... Tidak! Semua sudah
73
terlambat, kusesali bagaimanapun tak ada gunanya,”
kata pemuda itu kembali membatin.
Kini Bobby kembali menatap jenazah kekasihnya
yang tampak pucat, dan lagi-lagi air matanya kembali
berderai. Padahal, kemarin wajah itu tampak begitu
ceria, disaat barang haram itu mengalir di urat
nadinya. Namun, saat ini wajah itu tampak begitu
pucat, dimana darah sudah tak lagi mengalir. Dimana
nyawa sudah lepas dari raganya. “Oh Tuhan,
ampunilah dia dan terimalah dia di sisi-Mu. Dia
memang telah berdosa, namun semua itu bukan
semata-mata kesalahannya. Tapi... itu kesalahan
orang-orang di sekitarnya, termasuk aku.
Lingkunganlah yang telah membuatnya jadi demikian,
dan ilmu yang tak sampai kepadanya,” ucap Bobby
dalam hati.
Lalu dengan penuh kesedihan, pemuda itu
akhirnya melangkah meninggalkan jasad kekasihnya.
Menyendiri dan mengambil hikmah dari semua itu.
Sungguh tindakan yang diambilnya waktu itu telah
membuatnya betul-betul menyesal, dan sikap
74
penyayang yang tidak pada tempatnya pun telah
membuatnya benar-benar merasa sangat berdosa.
Andai saat itu dia mau mendengarkan hati nuraninya,
mungkin kekasihnya akan selamat. Namun
sayangnya, saat itu setan berhasil memperdayanya
dengan bisikan yang sepertinya benar tapi pada
kenyataannya tidak.
Esok harinya, Bobby terlihat berlutut di makam
kekasihnya yang saat itu diteduhi oleh rindangnya
pohon kamboja, saat itu air matanya tampak
berderai¾mengalir hingga ke celah bibirnya.
Sementara itu dari atas makam, bunga-bunga yang
berwarna putih tampak berguguran di sekitar
makam¾seolah ikut berduka, merasakan betapa
pilunya telah ditinggal oleh sang kekasih untuk
selama-lamanya. Bobby masih terus berlutut, hanyut
di dalam penyesalan dan berharap Tuhan mau
mengampuni gadis yang begitu dicintainya.
75
Sementara itu, tak jauh dari tempat itu terlihat seorang
gadis yang berdiri memperhatikannya. Dialah Lara
yang belum lama tiba, di tangannya tampak
tergenggam seikat bunga yang akan dipersembahkan
untuk Nina. Pada saat itu, Lara pun ikut larut dalam
kesedihan, merasakan apa yang dirasakan Bobby. Air
matanya tampak berderai kala mengingat sepasang
kekasih itu begitu serasi¾berbahagia dalam
keintiman yang diduga akan terus berlanjut hingga
masa tua dan akhir hayat mereka. Namun ternyata,
takdir Tuhan memang harus demikian. Selama
manusia tidak mau berusaha untuk memilih yang
terbaik, maka keputusan-Nya yang bijaksana adalah
membiarkan takdir itu sebagaimanamestinya, yaitu
sesuai dengan apa yang sudah digariskan sejak awal
penciptaannya agar menjadi pelajaran bagi siapa saja
yang mau berpikir.
Kini Gadis yang bernama Lara itu tampak
melangkah menuju makam, lalu berlutut di samping
Nisan¾berhadapan dengan Bobby yang masih saja
bersedih. Setelah meletakkan bunga yang dibawanya,
76
gadis itu tampak berdoa. Pada saat itu Bobby sempat
memperhatikannya, dilihatnya wajah yang cantik itu
larut dalam duka. Ketika Bobby masih memperhatikan
wajah itu, tiba-tiba saja Lara memandangnya, saat itu
kedua matanya yang basah tampak menatap dalam,
dalam sekali. Seakan kedua mata itu
bicara¾mengakui segala kesalahannya. “Kak
Bobby... Ma-maafkan aku! Se-sebenarnya akulah
yang telah menyebabkan semua ini,” ungkap gadis itu
seraya menundukkan kepalanya.
“Bukan kau Lara, tapi aku. Akulah yang telah
menyebabkan semua ini. Andai hari itu aku tidak
menuruti keinginannya, dia mungkin akan selamat.”
Lara kembali memandang Bobby. “Apa maksud
kata-katamu itu, Kak?” tanyanya kemudian.
“Ra, sesungguhnya ...” Bobby pun segera
menceritakan peristiwa yang membuatnya terpaksa
memberikan benda haram itu.
”Dengar, Kak! Kau sama-sekali tidak bersalah,
andai aku berada di posisimu saat itu aku pun pasti
akan melakukan hal serupa. Aku mengerti, kau
77
melakukan itu karena kau menyayanginya, dan kau
tidak tega karena melihatnya menderita.
Sesungguhnya, akulah yang bersalah karena telah
memperkenalkannya dengan Henky sehingga dia
menjadi seperti ini.”
“Henky...? Siapa pemuda itu? Berani sekali dia
mencekoki Nina dengan barang laknat itu. Jika nanti
aku berjumpa, pasti akan kuberi pelajaran padanya.”
“Percuma, Kak. Dia pun sudah meninggal karena
over dosis.”
"Benarkah?” tanya Bobby seakan tak
mempercayainya. “O ya, Ra. Ngomong-ngomong,
kenapa kalian sampai bergaul dengan orang seperti
itu?” tanyanya kemudian.
“Ketahuilah, Kak! Sebenarnya Henky pun
hanyalah korban. Selama ini aku tetap berteman
dengannya karena aku peduli, aku menduga kalau
aku memberikan perhatian padanya, suatu saat dia
akan sadar dan meninggalkan semua itu. Tapi
ternyata, semua usahaku sia-sia dan justru
melibatkan Nina dengan benda biadab itu. Sungguh
78
semua itu karena kesoktahuanku. Semula kupikir
Nina gadis yang kuat dan tidak mungkin akan
terpengaruh, tapi ternyata dia begitu mudahnya untuk
terpengaruh.”
“Hmm... sudahlah, Ra! Kita jangan terlalu
memikirkan hal itu! Kita ini hanyalah manusia yang
memang sering keliru dalam menentukan sikap.
Sehingga apa yang semula kita anggap baik, pada
akhirnya justru menimbulkan petaka.”
“Kau benar, Kak. Sebaiknya kita jangan terus
hanyut dalam penyesalan, namun yang lebih utama
adalah mengambil hikmah dari peristiwa ini dan terus
berusaha untuk tidak mengulanginya lagi.”
Setelah berkata begitu, Lara segera bangkit dan
mengajak Bobby untuk meninggalkan tempat itu. Kini
kedua muda-mudi itu terlihat sudah melangkah di
sela-sela pemakaman hingga akhirnya menghilang di
kejauhan.
79
Dua bulan kemudian, di sebuah kamar yang
cukup besar. Lara terlihat sedang melamun di atas
tempat tidurnya. Semenjak kematian Nina, gadis itu
seolah mendapat kesempatan untuk bisa bersama
Bobby¾pemuda tampan yang begitu dicintainya. Di
dalam benaknya, gadis itu ingin sekali untuk segera
mengungkapkan perasaannya yang selama ini
terpendam. Bagaimana selama ini dia selalu
mendambakan perhatian dan kasih sayang dari
belahan jiwanya, seperti yang selama ini sering
dilihatnya telah dilakukan Bobby kepada Nina. Namun
karena sesuatu hal, akhirnya dia pun merasa ragu.
“Ti-tidak! Aku tidak mau mempunyai suami seperti dia.
Biarpun dia baik, tapi perbuatannya di hotel bersama
Nina tidak mungkin bisa kumaafkan. Tapi...”
Saat itu Lara betul-betul sedang mengalami situasi
yang sulit, di mana ego dan hati nuraninya terus
bertarung dengan berbagai argumen yang membuat
akalnya kian kewalahan. Saat itu, pikirannya sudah
benar-benar buntu dan membuatnya tidak bisa
mengambil putusan dengan baik. “Hmm, sudahlah....
80
sebaiknya sekarang aku sholat Ashar dulu,” pikir Lara
seraya bergegas menunaikan sholat.
Usai sholat, gadis itu langsung merebahkan diri di
tempat tidur. Namun belum sempat gadis itu
memejamkan mata, tiba-tiba dia mendengar bel
rumahnya berbunyi. Saat itu Lara tidak
mempedulikannya, dia malah memejamkan mata dan
menutup kepalanya dengan bantal.
“Non Lara! Di luar ada Den Bobby dan Den
Randy... katanya mereka mau bertemu dengan Non,”
seru pembantu Lara dari balik pintu.
Mengetahui itu, Lara buru-buru bangun dan
beranjak menemui keduanya. Kemudian dengan
penuh kehangatan, dia mempersilakan mereka
memasuki ruang tamu yang nyaman. Di ruangan
itulah mereka berbincang-bincang dengan penuh
keakraban. Membicarakan berbagai hal yang menarik.
Mereka terus berbincang-bincang, hingga akhirnya
perbincangan itu terhenti karena azan Magrib yang
berkumandang. Saat itu Bobby langsung beranjak dari
81
duduknya. “Ran! Yuk kita sholat dulu!” ajak Bobby
kepada Randy.
“Males ah,” Randy menolak.
“Hmm, baiklah... kalau begitu aku ke masjid dulu
ya.” Pamit Bobby kepada Randy dan Lara.
Pada saat itu, Lara benar-benar sudah dibuat
bingung dengan segala kelakuan Bobby. Selama ini
dia mengenal Bobby memang sebagai seorang yang
taat beribadah, namun kenapa pemuda seperti itu bisa
sampai melakukan perbuatan yang menurutnya
sangat tidak patut.
Setelah Bobby melangkah pergi, Randy dan Lara
kembali melanjutkan perbincangan. Kini mereka
tampak membicarakan berbagai hal yang sekiranya
menarik untuk dibicarakan. Pada saat itu, sebenarnya
Lara sama sekali tidak mengharapkan kalau Randy
masih berada di ruang tamunya. Dalam hati, gadis itu
merasa tidak pantas lantaran menemani seorang pria
di saat dia harus menghadap Tuhan-nya. Sebenarnya
bisa saja dia meninggalkan pemuda itu. Namun
karena dia tidak mau menyakiti perasaannya, akhirnya
82
dia pun memilih untuk tetap bersamanya. Sungguh
dia tidak mau hal yang pernah terjadi di villa terulang
lagi, dimana kini dia mulai memahami watak pemuda
itu. Betapa sifat kewanitaannya yang sangat
berperasaan itu telah membuatnya sulit untuk
mengambil sikap, sungguh dia itu memang gadis
lemah yang tak berani menghadapi kebenaran yang
terkadang memang harus menyakitkan.
Kedua muda-mudi itu terus berbincang-bincang,
hingga akhirnya Bobby kembali dari Masjid dan
langsung menyampaikan maksud hatinya. “Begitulah,
Ra. Aku tidak bisa berlama-lama di tempat ini,” jelas
Bobby mengabarkan perihal SMS yang mengabarkan
kalau teman lamanya mau datang berkunjung ke
rumahnya.
Mengetahui itu, Lara pun bisa memaklumi.
Sepeninggal orang yang dicintainya, Lara kembali
berbincang-bincang dengan Randy. Hingga akhirnya
waktu sholat magrib pun habis dan Lara sama sekali
tidak sempat menunaikannya. Pada saat itu Lara
sungguh heran dengan sikap Randy yang demikian,
83
jika pemuda itu memang mencintainya kenapa dia
tidak mau mengerti dan senantiasa menghormati
gadis yang dicintainya. Dan karena ulahnya itu, Lara
terpaksa menanggung dosa karena tidak menunaikan
kewajibannya. Hingga akhirnya, Lara pun semakin
tambah tidak simpati. Randy yang pada saat itu tidak
peka mengenai perasaan Lara membuatnya justru
merasa diizinkan untuk terus berlama-lama. Dalam
hati, pemuda itu merasa kalau Lara adalah wanita
yang mulai mengerti dirinya. Bahkan dia menduga
kalau Lara pun seperti dirinya, yang terkadang malas
menunaikan sholat lantaran belum bisa menikmatinya.
Kedua muda-mudi itu terus berbincang-bincang
hingga akhirnya jam dinding berdentang sembilan kali
menandakan kalau waktu sudah menunjukkan pukul
9.00 malam. "Wah, sudah jam sembilan. Kenapa
waktu begitu cepat berlalu ya? Hmm... Apa mungkin
lantaran aku sedang bersamamu, sehingga aku
merasa senang dan akhirnya waktu pun berlalu
dengan begitu cepat.”
84
Mendengar itu Lara sangat sependapat, memang
hal itulah yang membuat pemuda itu merasa
demikian. Tidak seperti yang sedang dirasakannya
kini, perasaan jenuh yang membuatnya merasakan
waktu justru menjadi sebaliknya.
“Ra... Bolehkah aku terus bersamamu hingga jam
sepuluh?” tanya Randy kemudian.
“Jangan kan jam sepuluh, Kak. Lebih dari itu pun
aku tidak keberatan,” kata Lara berbasa-basi.
“Benarkah? Biarpun sampai jam dua belas
malam.”
“Ya, sampai jam dua belas sekalipun.”
“Tidak, Ra. Aku tidak akan sampai jam dua belas,
aku akan sampai jam sepuluh saja. Apa kata
tetanggamu nanti kalau aku pulang selarut itu.”
Mendengar itu, Lara cuma bisa menarik nafas
panjang. Kenapa pemuda itu masih juga tidak
mengerti akan arti kata basa-basi yang telah
dilontarkannya. Padahal saat itu dia ingin sekali agar
pemuda itu cepat pulang sehingga penderitaannya
cepat berlalu karena tidak harus terus menemaninya.
85
Dan karena sudah terlanjur berbasa-basi, akhirnya dia
pun terpaksa harus merasakan penderitaan itu hingga
jam sepuluh nanti.
Esok harinya, Lara tampak sedang merenung di
balkon rumahnya. Setelah menimbang sekian lama,
akhirnya Lara memutuskan untuk menyatakan cinta.
Kini dia sudah tidak peduli lagi dengan peristiwa
malam itu, yang terpenting dia bisa bahagia bersama
orang yang dicintainya. Saat ini pun dia sedang
mencari waktu yang tepat untuk mengungkapkan
perasaannya. “Emm... kapan ya? O ya, hari Valentine
kan tidak lama lagi. Kenapa tidak saat itu saja aku
mengungkapkannya,” gumam Lara dengan mata
berbinar, saat itu di benaknya terbayang sudah
bagaimana Bobby menerima cintanya dan
memperlakukannya dengan penuh kasih sayang.
Mendadak wajah gadis itu berubah serius. “Tapi,
bagaimana jika Bobby tak mencintaiku? Hmm...
86
apakah waktu dua bulan itu tidak terlalu cepat baginya
untuk melupakan Nina,” gumamnya seraya kembali
berpikir. “Ah, aku rasa tidak. Biasanya kan lelaki
memang seperti itu, begitu mudahnya melupakan
seseorang yang semula dicintainya. Buktinya banyak
kok laki-laki yang baru putus dan dalam tempo yang
tidak terlalu lama sudah mendapat gantinya.” Gadis itu
terus memikirkan Bobby, hingga akhirnya dia
mendengar dering HP yang cukup keras. “Ya, siapa
nih?” tanyanya kepada orang yang meneleponnya.
“Ini aku, Ra. Randy... “
"O, Kak Randy. Ada apa, Kak?” tanya Lara.
“Eng, begini Ra. Sebetulnya aku mau
mengajakmu makan. Kau mau kan?”
“Kapan, Kak?” tanya Lara lagi.
“Besok malam,” jawab Randy.
“Aduh, maaf Kak! Kalau besok malam aku tidak
bisa.”
“Kenapa?” tanya Randy dengan nada kecewa.
“Aku ada janji dengan seseorang,” jawab Lara.
87
“Siapa?” tanya Randy lagi. “Teman dekatku,”
jawab Lara singkat.
“Pria apa wanita?”
“Aduh, Kak. Kau ini seperti polisi saja, masa kau
mau tahu sampai sedetail itu.”
“Sudahlah, Ra! Jawab saja, pria apa wanita?”
“Hmm... baiklah. Dia itu pria, namanya Hendry.
Tinggal di Jl. Merpati putih. No.10 Golongan darah B.
Status belum kawin. Sudah bekerja di sebuah
perusahaan jasa. Bagaimana, apa masih ada yang
kurang?”
“Sudah, Ra. Aku rasa cukup.”
"O ya, dia itu sudah punya pacar namanya Silvy.
Pacarnya itu teman dekatku, dan dia tinggal di Jl.
Melati putih No.12 Golongan darah A. Selama ini...”
“Sudah, sudah! Aku bilang cukup!” potong Randy
yang tidak mau mendengar hal itu lebih lanjut.
“Kenapa, Kak? Bukankah dengan begitu kau akan
lebih puas.”
88
“Sudahlah, Ra! Aku tidak mau membahas itu lagi.
Baiklah kalau memang kau tidak bisa. Emm...
bagaimana kalau lusa?”
“Lusa, aku juga tidak bisa, Kak.”
“Kenapa?” tanya Randy. “Aku juga sudah ada
janji,” jawab Lara.
“Dengan siapa?” tanya Randy lagi. “Teman
dekat,” jawab Lara singkat.
“Laki-laki, apa... Ups! Sudahlah lupakan saja.
Kalau kau memang tidak bisa bagaimana kalau
minggu depan, saat hari Valentine?”
“Maaf, Kak. Sepertinya aku juga tidak bisa.”
“Jadi, kau juga sudah ada janji?”
Lara tidak segera menjawab. Saat itu dia betulbetul
bingung harus menjawab apa, sebab hari itu
adalah saat dia akan mengungkapkan isi hatinya
kepada Bobby. Dalam hati, gadis itu merasa benarbenar
jengkel dengan sikap Randy yang seperti itu.
“Huh, dari dulu pria itu selalu mau tahu saja urusan
orang. Memangnya aku ini siapanya dia, aku ini kan
89
cuma temannya. Aku heran, kenapa dia merasa
begitu berhak mengetahui segalanya.”
“Hallo! Kok diam, Ra?”
“Sudahlah, Kak! Maaf kalau aku tidak bisa
mengatakannya.”
“Ayolah, Ra! Katakan saja!”
“Baiklah, Kak. Agar kau puas, kini aku akan
mengatakan hal yang sebenarnya,” kata Lara seraya
mengatakan hal yang sebenarnya. Hingga akhirnya,
“Nah... kuharap kini kau bisa mengerti, Kak!”
“Baiklah, Ra. Aku bisa mengerti kok. Kini aku
sadar kalau aku memang tidak mungkin bisa
menghalangi keinginanmu itu. Namun, ijinkan aku
untuk mengutarakan satu permintaan padamu.”
“Baiklah, Kak. Katakanlah!”
Randy pun segera mengatakan permintaannya itu.
“Nah, aku harap kau mau mengabulkannya, Ra.”
“Kak, aku mencintainya. Tanpa kau memintanya
pun, aku pasti akan melakukan itu. Sudah ya, Kak.
Aku sudah mengantuk sekali nih. Bye...” ucap Lara
seraya memutuskan hubungan. Lantas gadis itu
90
bergegas ke kamar mandi untuk berkemas-kemas.
Setelah itu dia segera merebahkan diri dan
memikirkan Bobby. Lama juga dia melamunkan
pujaan hatinya itu hingga akhirnya dia terlelap
bersama mimpi-mimpinya.
Malam Valentine yang ditunggu Lara akhirnya tiba.
Kini dia dan pemuda yang dicintainya itu tampak
duduk di sebuah bangku taman, bersama-sama
menikmati malam yang indah¾malam yang dipenuhi
oleh berbagai hal romantis. Bulan yang bersinar
cerah, bintang-bintang yang gemerlap, lampu-lampu
taman yang temaram, dan juga tumbuhan yang
menari-nari tertiup angin sepoi-sepoi. Segala hal
romantis itu bisa terwujud karena usaha Lara yang
gigih demi mengajak orang yang dicintainya agar mau
memenuhi undangannya.
“Terima kasih karena kau mau memenuhi
undanganku, Kak!” ucap Lara.
91
Bobby tersenyum. "O ya, ini cokelat dan bunga
untukmu,” kata Bobby seraya menyerahkan kedua
benda yang ada di tangannya.
Saat itu Lara betul-betul terharu karena dia samasekali
tidak menyangka kalau Bobby ternyata sangat
perhatian padanya. Dan seketika itu juga air matanya
berlinang, tak kuasa menahan keharuan yang amat
sangat. “Terima kasih, Kak!” ucap gadis itu seraya
mencoba tersenyum. "O ya, aku juga mau
memberikan sesuatu untukmu,” kata gadis itu seraya
mengambil sebuah bingkisan yang ada di dalam
tasnya dan memberikannya kepada Bobby.
“Apa ini?”
“Bukalah, Kak...!”
Lantas Bobby segera membuka kotak yang
dibungkus dengan warna merah muda itu. Dan ketika
mengetahui isinya dia pun langsung terkejut, ternyata
di dalamnya terdapat cokelat spesial yang berbentuk
hati dan bertuliskan aku mencintaimu.
92
Belum sempat Bobby berkata-kata, Lara langsung
membuka suara, “Kak, a-aku mencintaimu,” ungkap
Lara dengan wajah yang merona merah.
Bobby semakin terkejut dengan perkataan Lara
barusan. “Ta-tapi, Ra...” Bobby menggantung
kalimatnya.
“Apa kau tak mencintaiku, Kak?” tanya Lara.
“Eng… Entahlah... Tapi, bagaimana mungkin aku
bisa menjadi pacarmu. Sungguh aku tidak tahu
bagaimana perasaan Randy jika sampai mengetahui
hal ini. Ketahuilah, Ra! Randy itu sahabatku, dan aku
betul-betul merasa tidak enak jika sampai melukai
hatinya.”
“Randy sudah mengetahuinya, Kak. Dan dia tidak
keberatan jika kita saling mencintai. Malah dia
memintaku untuk senantiasa membahagiakanmu.”
“Benarkah?”
“Iya, Kak. Kalau kau tidak percaya, tanyakan saja
sendiri!”
“Eng... baiklah... Kalau begitu aku akan segera
menghubunginya.”
93
Lantas dengan segera, Bobby mengambil HP dan
menghubungi sahabatnya. “Hallo, Ran! Ini aku,
Bobby.”
“Hi, Bob! Bagaimana kencanmu dengan Lara?
Sukses?”
“Ka-kau ternyata memang sudah mengetahuinya,
ya?”
“Tentu saja, Bob. Dan karenanyalah aku tidak
keberatan ketika kau bilang tidak bisa ikut denganku
karena ada urusan penting.”
“Maaf, Ran. Aku terpaksa tidak berterus terang
karena tidak mungkin menceritakan hal sebenarnya.”
“Aku mengerti, Bob. Dan karenanyalah saat itu
aku tidak berusaha mencegahmu. O ya, Bob.
Sebetulnya aku mengetahui kalau Lara itu
mencintaimu, yaitu sejak kita menginap di villa dulu.
Dan karenanyalah, ketika Lara berterus terang akan
mengungkapkan isi hatinya, aku pun berusaha untuk
bisa mengerti. Semula aku memang sempat kecewa,
namun pada akhirnya aku bisa mengikhlaskannya,
kalau dia itu memang patut menjadi milikmu.
94
Karenanyalah, kau tidak sepatutnya menolak cinta
gadis yang sudah betul-betul mencintaimu.
Bahagiakanlah dia, sebagaimana aku juga meminta
kepadanya untuk senantiasa membahagiakanmu.”
“Ran, benarkah semua kata-katamu itu?” tanya
Bobby seakan tak percaya.
“Bob, ketahuilah! Aku ini bukan anak kecil lagi,
dan aku sudah betul-betul menyadari kalau cinta
memang tidak bisa dipaksakan. Lagi pula, dunia ini
kan tidak selebar daun kelor. Masih banyak kok gadis
lain yang bisa aku pacari.”
“Ran, kau ini tidak seperti Randy yang kukenal
dulu. Apa mungkin kau bisa melupakan Lara begitu
saja?”
“Sudahlah, Bob. Percayalah...! Aku pasti tidak
akan apa-apa.”
“Hmm... baiklah kalau begitu. Kau memang
sahabatku yang pengertian, Ran. Dan karenanyalah
aku patut berterima kasih padamu. Eng, kalau begitu
sudah dulu ya. Soalnya Lara seperti sudah tidak sabar
menunggu jawabanku.”
95
Setelah menyimpan HP-nya, Bobby kembali
bicara dengan Lara. “Kau benar, Ra. Sepertinya
Randy memang sudah bisa menerimanya. Eng...
kalau begitu, aku memang tidak sepatutnya menolak
cintamu.”
“Benarkah yang kau katakan itu, Kak?”
“Betul, Ra. Sesungguhnya aku pun sangat
mencintaimu... Semenjak kepergian Nina, hanya
kaulah yang bisa meluluhkan hatiku untuk kembali
mencintai gadis lain.”
Mendengar itu Lara tampak bahagia sekali, “Oh,
Kak. Aku tidak tahu harus berkata apa, yang jelas saat
ini hatiku bahagia sekali.”
“Aku pun bahagia sekali, Ra. Eng... bagaimana
kalau sekarang kita cari tempat yang enak untuk
berbincang-bincang sambil menikmati makan dan
minum!”
Mengetahui ajakan itu, Lara langsung setuju.
Lantas dengan segera keduanya melangkah menuju
ke sebuah cafe yang tak begitu jauh. Dan di tempat
96
itulah keduanya kembali berbincang-bincang dengan
penuh keintiman.
97
Tiga
etahun kemudian, setelah Bobby dan Lara
menjalin cinta. Keduanya tampak sudah
begitu lengket bak prangko dan amplopnya, bahkan
saat ini mereka sedang berada di Yogyakarta untuk
berlibur¾menghilangkan semua kepenatan selama
berada di Jakarta. Selain itu, mereka juga mau
mengunjungi paman dan bibi Lara yang sudah lama
menetap di kota itu.
Setelah seharian penuh berada di rumah
pamannya, akhirnya Lara mengajak Bobby ke luar
kota untuk menikmati indahnya panorama alam. Kini
sepasang kekasih itu sedang menikmati indahnya
pemandangan yang berlatar belakang gunung Merapi.
Sambil duduk di bawah rindangnya sebuah pohon
besar, mereka tampak bercakap-cakap dengan penuh
keceriaan.
S
98
“Kak, apa yang kau tulis?” tanya Lara seraya
memperhatikan tulisan yang ditoreh di sebuah pohon
besar.
“Hihihi...! Kau ini seperti anak remaja saja pakai
menulis seperti itu.”
“Hmm... apa aku tidak boleh mengungkapkan
perasaanku dan mengabadikannya di batang pohon
ini.”
“Boleh saja sih... tapi caramu itu kan bisa merusak
keindahan tempat ini.”
“Sayang... sebenarnya aku menulis di batang
pohon ini agar tak mudah hilang dimakan waktu,
dengan harapan semoga cinta kita juga seperti itu.”
“Aku mengerti, Kak. Tapi, bukankah sebaiknya
dilakukan dengan cara yang lebih bijaksana. Di atas
sebuah benda seni yang dibuat sendiri misalnya.”
“Sungguh kau itu gadis yang menghargai alam,
Sayang... Terima kasih karena sudah membuatku
menyadari kalau keindahan alam ini memang perlu
dilestarikan.”
99
Kini pemuda itu menatap kekasihnya dengan
penuh kebanggaan, saat itu dia menduga kepedulian
Lara pada alam merupakan cerminan hatinya yang
luhur. “Sayang... aku sangat mencintaimu,” ucapnya
seraya mencium gadis itu dengan penuh kasih
sayang.
Pada saat itu Lara merasakan ciuman itu lain dari
biasanya, sebuah ciuman yang didasari oleh perasaan
cinta yang sangat mendalam. Sungguh terasa hangat
dan menggetarkan kalbu, juga begitu membahagiakan
bagai melayang di atas hamparan bunga warna-warni
yang senantiasa harum semerbak.
Sepulang dari tempat itu, Lara masih saja
terbayang dengan ciuman yang tak kan pernah
dilupakannya. Bahkan ketika mau tidur, gadis itu pun
masih terus membayangkannya. Maklumlah, setiap
kali dia teringat dengan ciuman itu, maka setiap kali
itu pula dia merasakan hatinya terasa begitu
berbunga-bunga. Rupanya saat ini dia benar-benar
sudah terjerat oleh tali-tali asmara yang membawanya
menuju kebahagiaan semu, yang mana jika jerat itu
100
putus maka kebahagiaan itu bisa berbalik menjadi
sangat menyakitkan.
Esok paginya, seusai sarapan nasi gudeg yang
lezat, Lara dan bibinya langsung pergi ke pasar.
Sementara itu di teras, Bobby tampak asyik
berbincang-bincang dengan sang Paman yang
mempunyai hobi memelihara burung perkutut dan
ikan hias. Lama juga mereka berbincang-bincang,
hingga akhirnya Bobby bisa lebih memahami kedua
hal itu.
Puas membicarakan tentang hobi, mereka lantas
mengganti topik yang agak lebih berat, yaitu mengenai
politik dan agama. Dalam perbincangan itu, Bobby
banyak sekali mendapat masukan yang sangat
berharga. Saat itu, sang Paman pun terlihat senang
lantaran mengetahui lawan bicaranya sangat
berminat.
101
“Nak, Bobby. Tunggu sebentar ya! Paman punya
sesuatu untukmu,” kata sang Paman seraya
melangkah ke kamar.
Tak lama kemudian, sang Paman sudah kembali
dengan membawa sebuah benda bulat sebesar bola
kasti yang terbuat dari kuningan. “Ini, Nak. Terimalah!”
Bobby segera menanggapi benda itu dan
memperhatikannya dengan penuh seksama. Di
sekeliling permukaan benda itu terdapat lubanglubang
yang berdiameter kurang lebih 5 inci.
“Mmm... benda apa ini, Paman?” tanyanya
kemudian.
“Itu adalah bola teka-teki. Coba kau perhatikan
lubang-lubang yang ada di sekelilingnya!”
Bobby pun kembali memperhatikan lubang-lubang
itu.
“Sekarang, coba kau tiup lubang yang mana saja!”
Bobby lantas menurut dengan meniup sebuah
lubang, dan disaat yang sama terdengarlah bunyi
sebuah nada.
102
“Sekarang, coba kau tiup dan sedot lubang yang
di sebelahnya.”
Lagi-lagi Bobby menurut dengan meniup lubang
yang dimaksud, namun kali ini bunyinya berbeda
dengan nada yang tadi. Bobby pun mencoba
menyedot lubang yang sama, dan ternyata bunyinya
berbeda lagi dengan kedua nada yang didengarnya
barusan.
“Nah, Nak Bobby... aku rasa sekarang kau
sudah mengerti kalau setiap lubang itu mempunyai
nada yang berbeda-beda. Dan jika kau bisa meniup
dan menyedotnya sesuai dengan urutan yang benar,
maka kau akan mendapatkan sebuah irama yang
sangat indah dan sekaligus membuat benda itu bisa
terbelah dua.
Dan kata orang yang dulu memberikannya
kepadaku, di dalamnya terdapat pesan yang bisa
membuat hidup ini menjadi lebih berarti. Benda ini
sengaja kuberikan padamu karena aku sudah putus
asa menemukan urutan nada yang benar.”
103
“Tapi, Paman. Apakah aku bisa menemukan
urutan nada yang benar itu?”
“Mungkin saja. Karena ketika kita berbincangbincang
tadi, aku bisa menduga kalau kau ini
mempunyai perasaan yang peka dan juga
kemampuan menganalisa yang cukup baik.
Karenanyalah aku merasa benda ini memang pantas
diberikan padamu.”
“Kalau begitu terima kasih, Paman. Dan aku akan
berusaha keras untuk bisa membukanya.”
Ketika mereka akan melanjutkan perbincangan,
Lara dan bibinya sudah kembali. Pada saat itu sang
Paman langsung mengajak istrinya ke dalam untuk
membicarakan sesuatu yang penting. Sementara itu,
Bobby dan Lara tampak berbincang-bincang
mengenai rencana mereka hari ini.
“Baiklah, usai makan siang nanti kita pergi
membuat kerajinan perak,” kata Lara menyetujui usul
Bobby yang mau mengabadikan ungkapan
perasaannya pada sebuah cincin perak yang akan
104
dibuatnya sendiri, yaitu di tempat kursus pembuatan
kerajinan perak secara singkat yang ada di kota itu.
Sepulang dari Yogyakarta, cinta Bobby dan Lara
semakin dalam dan sudah begitu lekat bagaikan
sticker yang menempel di kaca mobil. Keduanya terus
menjalin cinta hingga akhirnya Bobby menyadari kalau
persahabatannya dengan Randy terasa kian
merenggang. Kini pemuda itu sedang berbicara
dengan sahabatnya yang kini mulai menjaga jarak.
“Ran, katakanlah! Kalau sesungguhnya kau masih
mencintai Lara.”
“Sudahlah, Bob! Aku sadar kok kalau Lara itu
memang bukan jodohku. Kan aku sudah bilang kalau
dunia ini tidaklah selebar daun kelor, karena memang
masih banyak gadis lain yang bisa aku pacari.”
“Tapi, Ran. Aku tahu betul, kau tidak semudah itu
bisa pindah ke lain hati. Buktinya, berapa tahun kau
bisa melepaskan Indah dari kehidupanmu hingga
105
akhirnya bisa mencintai Lara. Dan kau mencintai Lara
karena dia itu mirip dengan Indah, iya kan?”
“Kau itu sok tahu, Bob. Siapa bilang aku seperti
itu. Aku percaya, jodoh, takdir, dan maut adalah sudah
ditentukan Tuhan. Jadi, jika ternyata Lara memang
bukan jodohku, aku rela dia jadi milik siapa saja.”
Mendengar itu Bobby langsung membatin,
“Randy... mulutmu berkata begitu. Namun aku bisa
menduga apa yang ada di hatimu, sesungguhnya kau
sangat mencintainya dan berharap dia bisa menjadi
milikmu. Buktinya selama ini kau sudah menjadi
begitu berubah, kau lebih sering menyendiri dan
jarang menemuiku. Ran... aku benar-benar merasa
tidak enak karena harus berbahagia di atas
penderitaanmu. Selama ini kau sudah begitu baik
padaku, dan tidak sepantasnya aku membalas semua
itu dengan menyakitimu. Aku berjanji, mulai detik ini
aku akan melupakan Lara. Biarlah aku hidup dalam
kesendirian demi kebahagiaanmu. Aku yakin, biarpun
saat ini Lara tidak mencintaimu, namun suatu saat dia
pasti akan bisa mencintaimu. Bukankah cinta itu bisa
106
pergi dan datang tanpa diduga-duga, dan semua itu
dipicu oleh suatu kondisi. Jika kata hati sudah
seirama, dan perbedaan bukanlah masalah. Maka
tidak ada makhluk yang bisa menghalangi cinta.
Karena cinta adalah dua hati yang menyatu dalam
keselarasan yang harmonis, saling membutuhkan dan
selalu berbagi dalam menjalani kehidupan¾bagai
kumbang dan bunga yang bersimbiosis mutualisme.”
“Bob, apa yang kau pikirkan?” tanya Randy
membuyarkan renungan Bobby.
“Eng, Ti-tidak ada, Ran....” Kata Bobby terbata.
Saat itu dia langsung menarik nafas panjang dan
segera kembali berkata-kata,” Ran, maafkan aku yang
sudah terlalu egois! Seharusnya aku tidak memacari
Lara yang dicintai oleh sahabatku sendiri. Kalau kau
mau tahu, sesungguhnya hingga saat ini aku masih
mencintai Nina. Percayalah, Ran! Lara itu hanya
kujadikan sebagai pelarian, tidak lebih dari itu.”
“Benarkah yang kaukatakan itu, Bob?”
Bobby mengangguk.
107
“Kau memang keterlaluan, Bob. Tega sekali kau
memperlakukan Lara seperti itu.”
“Iya, Ran. Dan aku pun sangat menyesal telah
berbuat begitu. Sekali lagi aku minta maaf karena
sudah terlalu egois, sampai-sampai tidak
mempedulikan sahabatku sendiri!”
“Sudahlah, Bob. Aku memahami kenapa kau bisa
sampai melakukan itu. Jika kau memang betul-betul
menyesal, rasanya tidak sepantasnya aku
mempermasalahkannya lagi. Kau memang sahabat
yang baik, buktinya kau mau mengakui semua itu
lantaran sudah menyesalinya.”
"Terima kasih atas pengertianmu, Ran. O ya,
aku...”
Saat itu Bobby langsung menceritakan
rencananya untuk pergi ke luar negeri. Alasannya
adalah agar ia bisa mengubur kenangan masa
lalunya, yaitu dengan mencari kesibukan di negeri
orang.
108
Sebulan kemudian, di restoran yang sama disaat
Bobby menyatakan cintanya kepada Nina, terlihat
sepasang muda-mudi yang sedang menikmati santap
malam. Mereka adalah Bobby dan Lara yang sedang
merayakan hari valentine. Sebuah hari kasih sayang
yang pada malam ini akan mereka rasakan sebagai
sebuah hari yang sangat menyedihkan.
“Ra, maafkan kalau perkataanku ini bisa
membuatmu sakit!”
“Katakanlah, Kak! Apa pun itu aku akan mencoba
untuk mengerti”
“Se-sebenarnya. A-aku tak mencintaimu, Ra. Aku
mau menerimamu waktu itu karena aku kasihan
padamu. Karenanyalah, sebelum cintamu semakin
dalam aku terpaksa memutuskanmu. Sebetulnya,
hingga saat ini aku masih mencintai Nina¾tidak ada
seorang pun yang bisa menggantikannya.”
“Be-benarkah yang kau katakan itu, Kak?” tanya
Lara dengan air mata yang tiba-tiba saja meleleh.
109
Bobby mengangguk. “Maaf, Ra! Aku terpaksa
mengambil tindakan ini sebelum semuanya menjadi
semakin sulit.”
“Tapi, Kak... kenapa ketika di Yogya kau
sepertinya sangat mencintaiku. Apa sebenarnya
maksud goresan kata-kata yang kau tulis di pohon itu,
apa maksud ciuman mesramu yang hingga kini tidak
pernah bisa kulupakan, dan apa pula maksud ukiran
nama kita pada cincin perak yang kau buatkan
untukku.”
“Itu kulakukan semata-mata karena aku kasihan
padamu, Ra. Sungguh, tidak lebih dari itu. Maafkan
aku, Ra! Bukankah sebaiknya kita bersahabat saja,
sebab aku merasa kalau bersahabat akan lebih baik
ketimbang kita harus menjalin cinta dengan bertepuk
sebelah tangan.”
“Baiklah, Kak. Kalau itu memang sudah menjadi
keputusanmu, aku tidak akan memaksa. Aku
memahami kalau cinta memang tidak bisa
dipaksakan.”
“Terima kasih atas pengertianmu, Ra.”
110
Saat itu Lara sudah tidak berkata-kata lagi, dia
hanya menangis dan menangis. Melihat itu, Bobby
pun tidak berkata-kata lagi¾dia hanya bisa
meyakinkan dirinya kalau suatu saat Lara pasti akan
hidup bahagia bersama sahabatnya.
Seminggu kemudian, di malam yang cerah.
Seorang gadis terlihat duduk sendiri di kursi beranda,
saat itu dia sedang menangis sedih. Ketika dia
mendengar suara langkah kaki mendekat, tiba-tiba
gadis itu buru-buru menghapus air matanya. Kini
kedua matanya yang indah tampak menatap kepada
seorang pemuda yang kini berdiri di dekatnya. Dan tak
lama kemudian, pemuda itu sudah duduk di
sebelahnya seraya meletakkan koper besar yang
dijinjingnya.
"Kau menangis, Ra?” tanya pemuda itu ketika
melihat mata gadis itu.
“Kak Bobby, sepertinya a-aku....”
111
“Sudahlah! Lupakan saja semua kenangan itu!
Lebih baik kau jalani saja kehidupanmu sekarang. Aku
sarankan berbaik-baiklah dengan Randy, dan jika kau
sudah betul-betul mengenalnya, kau pasti akan
sangat mencintainya.“
“Kak, ke-kenapa kau begitu yakin?”
“Sebab, aku sudah lama sekali bersahabat
dengannya. Dan jika kau menuruti apa yang sudah
kukatakan mengenai wataknya, aku yakin kalian pasti
akan menjadi pasangan yang saling mencintai.”
Saat itu Lara kembali teringat dengan perkataan
Bobby waktu itu, yaitu ketika Bobby berusaha
membujuknya agar mau berdamai dengan Randy
setelah ribut saat sarapan pagi. Dalam hati, dia
membenarkan ucapan Bobby waktu itu. Karena
setelah perselisihannya dengan Randy di depan
gallery, akhirnya dia mau menuruti kata-kata Bobby.
Dan terbukti, setelah itu dia memang sudah jarang
berselisih dengan Randy. Namun, sebagai gantinya
dia lebih sering menderita karena harus sering
mengalah.
112
“Kak, apa aku harus sering mengalah padanya.
Jika terus demikian, apa aku sanggup?” tanya Lara
ragu.
“Dengarkan aku, Ra...! Kau tidak harus terus
mengalah. Namun, sebagai gantinya kau harus
berterus terang padanya. Sebab, sebenarnya dia itu
orang yang sangat pengertian. Jika kau mau
mengatakan isi hatimu yang sebenarnya, aku yakin
dia akan bisa menerima. Menurutku, selama ini
pertengkaran kalian disebabkan karena kau selalu
menutup diri padanya. Dan karenanyalah, dia menjadi
salah mengerti. Andai kau sudah pandai memilah
mana yang patut kau utarakan dan yang tidak, aku
yakin dia akan menjadi pria yang sangat
menyenangkan buatmu.”
Saat itu Lara langsung merenungi kata-kata Bobby
barusan. Dalam hati, dia membenarkan apa yang
dikatakannya, sebab selama ini dia memang masih
sulit untuk terbuka dikarenakan dia masih
menganggap Randy itu bukan siapa-siapa. Namun
sekarang, Randy itu sudah menjadi pacarnya. Dan
113
jika dia mau lebih terbuka, tentu Randy akan mau
mengerti dan menjadi pemuda yang sesuai dengan
harapannya. Ketika Lara akan bicara lagi, tiba-tiba dia
melihat sebuah taksi yang berhenti di depan gerbang.
Tak lama kemudian, seorang pemuda tampak keluar
dan bergegas menghampiri mereka. “Ini Bob,” kata
pemuda itu seraya memberikan tiket pesawat yang
baru dibelinya.
“Terima kasih, Ran! Kalau begitu, sebaiknya aku
berangkat sekarang,” pamitnya seraya memeluk
sahabatnya itu erat-erat.
“Hati-hati ya, Bob. Semoga kau mendapat apa
yang kau cari!” ucap Randy seraya melepaskan
pelukannya. Kemudian dia mencoba tersenyum dan
menjabat tangan sahabatnya dengan erat. “Semoga
sukses! ” katanya seraya kembali tersenyum.
Kini Bobby melangkah mendekati Lara. “Ra, aku
berangkat sekarang,” pamitnya kepada gadis yang
sebenarnya sangat dia cintai.
114
Saat itu juga Lara segera memeluknya erat,
“Selamat jalan, Kak...!” ucapnya lirih dengan kedua
mata yang berkaca-kaca.
“Baik-baiklah kalian!” pesan Bobby seraya
melepaskan pelukannya dan menghapus derai air
mata Lara yang baru saja menetes.
Lara mengangguk dan mencoba tersenyum,
kemudian tanpa ragu dia merapikan kerah baju Bobby
yang dilihatnya agak miring. Bobby pun tampak
tersenyum sebagai ungkapan terima kasihnya, dan
tak lama kemudian dia sudah bergerak menuju taksi
yang sejak tadi sudah menunggunya. Pada saat itu
pandangan Lara tampak tak bergeming¾terus
memperhatikan Bobby yang kini dilihatnya sudah do
dalam taksi. Tak lama kemudian, dia melihat pemuda
itu tampak melambaikan tangan kepadanya dan juga
kepada Randy. Hingga akhirnya, taksi yang
ditumpangi Bobby berangkat dan menghilang di
kegelapan malam.
“Duhai Laraku sayang... berbahagialah bersama
sahabatku. Hari ini aku akan pergi jauh bersama cita115
citaku untuk bisa melupakanmu. Dan aku tidak tahu,
apakah aku bisa melupakanmu yang sudah begitu
lekat di hatiku. Biarlah semua itu kuserahkan kepada
waktu yang akan menjawabnya.”
Kini Bobby memandang ke luar jendela,
memperhatikan lampu reklame yang berkelap-kelip
ceria. Sungguh bertolak jauh dengan nuansa hatinya
yang begitu sedih, karena terpaksa harus berpisah
dengan sang pujaan hati.
116
Empat
etahun kemudian, di negeri nan jauh di sana,
di atas dermaga kayu yang berdiri di tepian
sebuah danau. Seorang pemuda tampak duduk
melamun. Matanya yang bening menatap ke tengah
danau yang begitu indah, sedang kedua tangannya
tampak saling meremas. Tiba-tiba pemuda itu
tertunduk, merasakan keresahan hati yang teramat
sangat, yaitu kepada gadis yang begitu dicintainya,
yang mana selama ini sudah begitu dirindukannya.
“Sayang... ternyata aku tidak bisa melupakanmu.
Sudah lama juga kita berpisah, namun dirimu masih
terus saja terbayang. Ingin rasanya aku menemuimu
dan mencurahkan rasa rinduku ini. Namun, aku tak
mempunyai daya upaya untuk bisa melawan bisikan
nuraniku akan arti persahabatan.”
“Hi, Bob! Sedang apa kau di situ?” tanya
seseorang tiba-tiba.
S
117
Seketika Bobby menoleh, memperhatikan seorang
pemuda yang kini melangkah ke arahnya. “Maaf, Riz!
Aku belum punya uang.”
“Hahaha...! Kau pikir aku kemari mau menagih
hutang. Tidak, Bob. Sebenarnya aku kemari mau
mengajakmu bekerja.”
“Mmm... bekerja? Kerja apa Riz?”
“Sudahlah…! Nanti kau juga akan tahu.”
“Kau tidak akan mengajakku kerja yang illegal
kan?”
“Kenapa kau berpikiran begitu?”
“Eng… Bukankah kau pernah ditahan lantaran
menipu.”
"Itu kan dulu, Bob. Sekarang aku sudah insyaf dan
tidak mau berbuat seperti itu.”
“Kalau begitu, katakanlah apa pekerjaan yang
akan kita lakukan itu!”
“Kita akan bekerja sebagai kurir, Bob.”
“Kurir?”
“Ya, sebagai kurir yang mengantar barang.”
118
"O, kalau itu sih aku mau. Terus terang, aku
bosan juga jika harus terus-menerus mencari uang
dengan mengumpulkan dedaunan itu,” kata Bobby
yang kini memang sudah tidak berminat lagi mencari
dedaunan yang dijual untuk keperluan rangkaian
bunga. Walaupun pada mulanya dia menganggap
pengerjaan itu menyenangkan dan bisa menggantikan
karirnya sebagai arsitek yang kini tak mau dilakoninya
lagi karena suatu sebab. “O ya, ngomong-ngomong
barang apa?” lanjut pemuda itu kemudian.
“Ya, namanya juga kurir, Bob. Yang diantar itu
bisa barang apa saja, dan kita tidak mungkin
membongkar dan melihat isinya dulu.
Kedua orang itu terus berbincang-bincang
mengenai pekerjaan itu. Sementara itu di tempat lain,
di sebuah negeri yang jaraknya bermil-mil jauhnya.
Sepasang muda-mudi tampak sedang berbincangbincang,
duduk di dalam sebuah mobil yang berhenti
di bawah rindangnya sebuah pohon besar. “Kau
merindukannya, Ra?” tanya Randy kepada
kekasihnya.
119
“Betul, Kak. Entah kenapa belakangan ini aku
ingin sekali berjumpa dengannya.”
“Ra, sebenarnya bukan kau saja yang rindu. Aku
pun sudah rindu sekali padanya.”
“Andai dia mau mengirim surat atau menghubungi
kita lewat telepon tentu rindu kita bisa sedikit
terlepaskan.”
“Aku tahu benar sifat Bobby, walaupun dia begitu
rindu denganmu dia tidak akan mengirim surat, apa
lagi sampai menelepon. Kau tahu kenapa dia pergi
keluar negeri?”
“Untuk bekerja kan?”
“Kau salah, Ra. Sebenarnya dia pergi karena ingin
mengubur semua masa lalunya.”
“Hmm... kalau begitu, pantas saja dia tidak pernah
menghubungi kita.”
“Dan karenanyalah, selama ini aku pun tidak
pernah mencoba menghubunginya. Aku yakin sekali,
jika hatinya sudah betul-betul tenang dia pasti akan
datang menemui kita.”
120
Kedua muda-mudi itu berbincang-bincang, hingga
akhirnya mobil yang mereka tumpangi tampak melaju
meninggalkan tempat itu.
Pada suatu hari, di sore yang cerah, Bobby dan
Rizky tampak sedang berbincang-bincang di dalam
sebuah rumah yang ada di pinggiran kota kecil.
Sejenak Bobby memperhatikan isi ruangan yang ada
di rumah itu, semuanya didominasi warna putih yang
tampak kusam. Dan di ruangan itu tak ada perabotan
yang bisa dilihatnya dengan jelas. Dalam hati, pemuda
itu menduga kalau ruangan itu sudah lama tidak
digunakan, terbukti dengan semua perabotan yang
kini tampak tertutup oleh kain putih yang berdebu.
“Kok lama sekali, Riz?” tanya Bobby yang saat itu
sedang menunggu barang yang akan mereka antar.
“Entahlah... tidak biasanya seperti ini.”
"O ya, Riz. Ngomong-ngomong...” belum sempat
Bobby menyelesaikan kalimatnya. Tiba tiba,
121
“Perhatian!!! Kami polisi, rumah ini sudah kami
kepung, menyerahlah kalian semua!!!” saat itu dari
luar rumah terdengar perintah yang menggunakan
pengeras suara, dan orang itu berbicara dengan
menggunakan Bahasa Inggris Amerika yang sangat
kental.
Betapa terkejutnya Bobby dan Rizky saat itu,
namun keterkejutan Bobby berbeda dengan temannya
yang kini dilihatnya sudah mengeluarkan senjata api.
“Bob, cepat kau berlindung!” seru Rizky seraya berlari
ke arah jendela.
“Riz, apa-apaan ini?” tanya Bobby heran.
Belum sempat Bobby mendapat jawaban, berapa
orang yang semula berada di dalam kamar tampak
keluar dengan membawa senjata lengkap. Mereka
juga tampak bersiaga di dekat jendela seperti yang
dilakukan Rizky. Kemudian dengan tiba-tiba salah
satu dari mereka berteriak dan seketika itu juga orang
yang bersiaga di dekat jendela tadi segera
memecahkan kaca jendela dan langsung melepaskan
tembakan. Tak ayal, baku tembak pun terjadi dengan
122
serunya. Bobby yang saat itu tidak mengerti apa-apa
langsung tiarap berlindung. Baku tembak itu terus
berlangsung hampir selama satu jam.
Tiba-tiba, dari luar rumah kembali terdengar
peringatan,” Perhatian! Jika kalian masih tidak mau
menyerah, kami terpaksa akan meratakan rumah itu
dengan tanah!”
Mendengar itu, salah seorang yang menjadi
pimpinan kelompok itu tiba-tiba menghentikan
tembakan. “Ayo cepat kita tinggalkan tempat ini!”
perintah orang itu
“Ayo, Bob! Ikuti aku!” Ajak Rizky seraya merayap
menuju ke sebuah kamar.
Saat itu Bobby langsung menurut, dia tampak
merayap mengikuti Rizky.
“Riz, sebenarnya siapa mereka ini? Kenapa tibatiba
polisi mengepung tempat ini?”
“Bob, sebenarnya kami ini para pejuang keadilan.”
“Apa maksudmu dengan para pejuang keadilan?”
tanya Bobby tidak mengerti.
123
“Kami ini yang dibilang ‘teroris’, Bob,” jelas Rizki
mempermudah pemahaman pemuda itu.
“A-apa! Ja-jadi kalian ini ‘teroris’?” Bobby tampak
terkejut. Pada saat itu, jantungnya pun langsung
berdegup kencang.
“Sudahlah, Bob! Ayo cepat kita masuk ke dalam
lubang itu!” perintah Rizky sambil memasuki lubang
yang ternyata sebuah jalan rahasia.
Bobby pun segera masuk ke jalan rahasia itu, dan
dalam waktu singkat mereka sudah berada di sebuah
rumah yang letaknya jauh di seberang rumah yang
sedang di kepung itu. Lantas dengan tergesa-gesa,
mereka segera menaiki sebuah van yang diparkir di
dalam garasi. Tak lama kemudian, van itu pun melaju
kencang menerjang pintu garasi yang terbuat dari
kayu. Sambil terus melaju bersama van yang mereka
tumpangi, para ‘teroris’ itu tak henti-hentinya melepas
tembakan ke arah polisi-polisi yang sama sekali tidak
menduga kalau buruan mereka keluar dari rumah
yang berada di belakang mereka. Hingga akhirnya,
van itu berhasil meloloskan diri.
124
Kini van itu tengah melaju kencang menembus
gelapnya malam, melewati jalan berliku yang
membelah hutan pinus. Pada saat itu, perasaan
Bobby sungguh tak karuan¾ketakutannya akan
keselamatan jiwa membuatnya betul-betul cemas.
Sungguh dia tidak menyangka kalau nasibnya akan
menjadi seburuk itu, yaitu terlibat dengan orang-orang
yang memperjuangkan keadilan dengan cara yang
menurutnya salah. Ketika van itu melewati jalan di
lereng perbukitan, tiba-tiba. “Lihat! Apa itu?”
“Celaka...! Kita dikejar helikopter.”
“Lebih cepat lagi, Frank!”
“Iya, ini juga sudah paling cepat.”
Kejar-kejaran antara van dan helikopter itu pun tak
terelakkan. Kedua jenis kendaraan itu terus berpacu di
dalam gelapnya malam, pada saat itu yang terlihat
hanya lampu-lampu dari kedua kendaraan itu, namun
terkadang sesekali juga terlihat van yang melaju
kencang tersorot lampu tembak dari helikopter yang
mengejarnya. Tiba-tiba dari helikopter itu terdengar
kembali peringatan yang kali ini menyatakan kalau
125
mereka akan menembak jika van itu tidak mau
berhenti. Benar saja, ketika melewati tepian jurang,
helikopter itu langsung melepaskan missile-nya yang
kini meluncur cepat menuju van yang masih terus
melaju dengan kencang. Dan dalam waktu singkat,
misil itu pun menghantam van yang di tumpangi oleh
para ‘teroris’ dan menciptakan ledakan yang begitu
dasyat. Tak ayal, van itu pun langsung hancur
berkeping-keping.
Bobby yang berhasil melompat sebelum missile
mengenai sasaran sempat terkena serpihan yang
beterbangan itu. Seketika Bobby meringis merasakan
panas dan nyeri yang bukan main sakitnya, kemudian
dia tidak sadarkan diri. Tubuhnya yang saat itu sedang
berada di tepian jurang langsung meluncur jatuh
ditelan jurang yang begitu dalam. Berkali-kali tubuh
pemuda itu menghantam batang pohon yang ada di
bawahnya, hingga akhirnya tubuh itu jatuh di atas
sungai yang mengalir deras.
126
Esok harinya, di sebuah bilik yang terbuat dari
kayu, seorang pemuda tampak terbaring tak sadarkan
diri. Di beberapa bagian tubuhnya tampak terbalut
kain putih yang bernoda hijau kecokelatan. Pada saat
yang sama, tak jauh dari orang yang terbaring itu
terlihat seorang kakek yang sedang menumbuk
ramuan obat. Sesekali mata kakek itu tampak
memperhatikan keadaan pemuda yang terbaring itu
dengan penuh iba.
“Agh...!!! Di-di mana aku?” tanya Bobby tiba-tiba
sambil meringis dan berusaha bangun.
Mengetahui itu, orang tua yang berada di sisinya
serta-merta meletakkan alat penumbuk obat dan
berusaha menenangkannya. “Tenanglah anak muda,
kau jangan bangun dulu!” larang orang tua itu lembut
dengan menggunakan Bahasa Inggris yang berdialek
asia.
“Si-siapa kau? Dan di-di mana aku?” tanya Bobby
lagi, juga dengan bahasa yang sama.
“Aku Changyi. Kini kau sedang berada di
pondokku. Ketahuilah kalau aku sedang berusaha
127
untuk memulihkan kesehatanmu. Karenanyalah, aku
mohon kau jangan banyak bergerak!”
Mengetahui itu, Bobby kembali merebahkan diri.
Dalam hati, pemuda itu sangat bersyukur ketika
menyadari dirinya masih hidup. Sungguh dia tidak
menyangka kalau kuasa Tuhan begitu besar sehingga
membuatnya tetap hidup.
“Bagaimana, Kek? Apa dia sudah sadarkan diri?”
tanya seorang gadis tiba-tiba seraya duduk di sebelah
sang Kakek.
“Sudah, Li,” jawab sang Kakek singkat. "O ya, apa
dedaunan itu sudah kau dapat?” tanyanya kemudian.
“Sudah, Kek. Ini...” jawab gadis itu seraya
menyerahkan beberapa dedaunan obat yang baru
diambilnya dari hutan.
Tak lama kemudian, sang Kakek sudah
menambah dedaunan yang baru didapat itu dengan
ramuan yang sedang ditumbuknya. Pada saat yang
sama, Bobby tampak sedang memperhatikan wajah
manis milik gadis yang kini sedang mengajaknya
bicara.
128
“Apa yang kau rasakan?” tanya gadis itu
kepadanya.
“Eng… dadaku terasa agak sesak, dan aku juga
merasakan nyeri di beberapa bagian.”
“Emm... kalau begitu, sebaiknya kau jangan terlalu
banyak bergerak dulu! Istirahatlah hingga lukamu itu
betul-betul sembuh!”
“Iya, tadi kakekmu juga sudah bilang begitu.”
"Benarkah? O ya, Kak. Ngomong-ngomong
apakah kau... ?”
"Ehem!” ucap sang kakek tiba-tiba memotong
perkataan cucunya. “Li... tolong kau persiapkan
tungku untuk memasak ramuan ini!” pintanya kepada
Sang Cucu.
Mendengar itu, Sang Cucu segera menuruti
perkataan kakeknya. Sementara itu, Bobby tampak
memperhatikan kepergiannya dengan harapan agar
gadis itu cepat kembali. Pada saat yang sama, di
tempat yang jauh sekali dari tempat Bobby berada,
sepasang muda-mudi tampak sedang berbincangbincang
dengan emosi yang kian memuncak.
129
Sungguh perasaan mereka itu sangat bertolak
belakang dengan suasana ruang tamu yang terlihat
begitu nyaman¾yang mana dipenuhi oleh bendabenda
seni yang indah dan menentramkan.
“Kau egois sekali, Kak.” kata Lara ketus.
“Kau yang egois. Sekarang ini kan aku sudah
menjadi pacarmu. Tapi, kenapa kau masih saja
memperlakukanku seperti dulu? Sepertinya kau ini
memang tidak pernah mau mengerti perasaanku, kau
hanya mementingkan perasaanmu sendiri saja,” tuduh
Randy dengan raut wajah yang begitu kesal.
“Kau yang tidak mau mengerti perasaanku, kau
yang selalu memikirkan perasaanmu sendiri,” Lara
balik menuduh.
"Grrr... kau ini memang wanita yang keras
kepala.” Randy kian bertambah geram.
“Kau yang keras kepala. Kau pemuda yang picik
dan selalu mau menang sendiri,” balas Lara.
"Huh, andai saja kau bukan wanita yang kucintai
sudah kutampar mulutmu yang lancang itu.” Randy
mengancam.
130
“Ayo! Tampar saja aku. Memang setelah kau
tampar, aku akan menurut padamu,” tantang Lara.
Tiba-tiba saja gadis itu menangis.
“Lho, kenapa sekarang malah menangis? Dasar
perempuan, kalau sudah buntu bisanya cuma
menangis.”
“Kau sudah membuat hatiku sakit, Kak. Kupikir
kau pria yang mencintaiku, tapi ternyata...”
“Ternyata apa?”
“Sudahlah, aku tidak perlu menjelaskannya
padamu. Pikir saja sendiri, kau kan punya otak!”
Mendengar itu, Randy tampak menarik nafas
panjang. “Kau dari dulu selalu begitu. Bagaimana
mungkin aku bisa mengerti kalau disuruh mikir sendiri.
Kenapa sih kau selalu menyembunyikan perasaanmu,
kenapa tidak langsung bilang saja biar semua jadi
jelas.”
Lara tidak menjawab, dia cuma bisa memalingkan
wajahnya sambil terus menangis.
131
“Baiklah... kalau kau masih seperti ini sebaiknya
aku pergi saja. Tidak ada gunanya aku berlama-lama
di sini.”
Setelah berkata begitu, Randy langsung
melangkah pergi entah ke mana. Sementara itu Lara
tampak merenung memikirkan perihal kekasihnya.
“Kak Randy... kenapa sih kau selalu keras kepala,
kenapa kau tidak mau mengalah walau sedikit saja.
Andai kau mengalah, tentu aku tidak akan bersikap
seperti itu. Kau benar, aku memang egois. Aku
memang selalu mau menang sendiri. Namun jika kau
menyuruhku untuk mengakuinya tentu aku tidak akan
mau, tidak akan pernah!”
Lara terus memikirkan kekasihnya. Sementara itu
di tepian sebuah telaga yang sepi, Randy tampak
sedang duduk termenung di bawah sebuah pohon
besar yang begitu rindang. Kedua matanya tampak
memandang ke liuk-liuk air telaga yang kehijauan dan
berkilat memantulkan sinar mentari. “Ra, maafkan
aku! Tidak seharusnya aku bersikap kasar padamu.
Terus terang, aku betul-betul menyesal karena telah
132
membuatmu menangis. Aku ini memang pemuda
bodoh yang tak mengerti akan perasaan wanita, aku
ini memang pemuda keras kepala yang tak pernah
mau mengalah. Andai saja kau mau mengalah, tentu
aku akan bersikap baik padamu, dan aku akan sangat
sayang padamu, sehingga apapun yang kau pinta
pasti akan kuturuti.” Setelah merenung agak lama,
akhirnya Randy kembali ke mobil dan pergi
meninggalkan tempat itu. Kini sedan mewah yang
dikendarainya tampak melaju menyusuri jalan yang
menuju ke tengah kota.
Tiga hari kemudian, Randy datang menemui Lara.
Saat ini kedua muda-mudi itu sedang duduk berdua di
ruang tamu, membicarakan perihal kejadian tempo
hari yang membuat mereka jadi marahan.
“Maafkan aku ya, Ra. Saat itu aku betul-betul
emosi.”
133
“Aku juga, Kak. Aku minta maaf karena aku sudah
begitu emosi.”
"O ya, sebagai pelengkap ucapan maafku, aku
pun membawakan ini untukmu,” kata Randy seraya
memberikan kado kecil yang dibungkus kertas
bermotif hati dan diikat dengan pita berwarna merah
muda.
“Apa ini, Kak?”
“Bukalah Sayang…! Nanti kau juga akan tahu.”
Lantas Lara pun segera membuka kado itu, dan
ketika mengetahui isinya mata gadis tampak berkacakaca.
“Kenapa, Ra? Apa kau tidak menyukainya.”
“Bukan begitu, Kak. Justru aku merasa terharu,
ternyata kau memang begitu menyayangiku. Sungguh
liontin ini indah sekali, Kak. Eng… Maukah kau
memakaikannya untukku!”
“Tentu saja, Sayang...” jawab Randy seraya
mengambil benda itu dan memakaikan di leher
kekasihnya.
134
“Bagaimana, Kak? Pantas tidak?” tanya Lara
seraya tersenyum.
“Tentu saja sangat pantas. Dan kau pun tambah
cantik dengan liontin itu,” komentar Randy. "O ya, jika
kau kangen denganku, bukalah liontin itu!”
Mengetahui itu, Lara segera membuka liontin itu
dan memperhatikan foto Randy yang tampan,
kemudian dia melihat bagian sebelah yang dipasangi
fotonya sendiri. “Kau dapat dari mana fotoku ini, Kak?
Pantas saja waktu itu kucari-cari tidak ada. Rupanya
kau yang mencurinya ya?” tanya Lara kemudian.
“Maaf, Ra. Aku terpaksa, foto itu kuambil ketika
Nina memperlihatkan foto-fotomu padaku. Karena
saat itu aku suka sekali dengan fotomu itu, aku jadi
terpaksa mengambilnya. Tapi kan sekarang sudah
kukembalikan, jadi kau tidak perlu marah karenanya!”
“Bukan apa-apa, Kak. Kau mengambil foto ini kan
sebelum aku mencintaimu. Ja-jangan-jangan, aku
mencintaimu karena...”
“Karena aku memeletmu, begitu? Kau ini masih
saja selalu berprasangka buruk, Ra. Dengar ya! Aku
135
ini betul-betul mencintaimu dari lubuk hatiku yang
terdalam, dan aku tidak pernah mau melibatkan orang
yang kucintai dengan hal-hal semacam itu. Terus
terang, aku hanya ingin dicintai oleh sebab cinta yang
tulus. Apa rasanya jika aku dicintai oleh gadis yang
dipengaruhi oleh hal yang menyesatkan semacam itu.
Jangan kan oleh hal semacam itu. Bila kau
mencintaiku karena sebab kasihan, aku pun berat
untuk bisa menerimanya. Karena cinta yang didasari
oleh rasa kasihan bisa membuatmu bertindak
semena-mena, dan kau pun bisa menderita karena
harus melayani orang yang tak kau cintai. Lain halnya
dengan pasangan yang saling mencintai, keduanya
saling berbagi dan melayani atas dasar cinta.
Karenanyalah, berbagai hal yang tidak menyenangkan
bisa saja menjadi sangat menyenangkan. Setiap ada
kesempatan keduanya berusaha untuk bisa saling
menyenangkan dan tidak ada sedikitpun rasa
keterpaksaan, dan demi untuk orang yang dicintainya
keduanya rela mengorbankan kepentingannya sendiri,
136
bahkan jika harus mengorbankan nyawa sekalipun,”
ungkap Randy panjang lebar.
“Maafkan aku, Kak! Entah kenapa aku begitu
mudah berprasangka begitu,” ucap Lara menyesal.
“Ra, aku mau tanya padamu. Apakah selama ini
kau mencintaiku atas dasar kasihan?”
“Entahlah, Kak. Aku juga tidak tahu. Mungkin
begitu, mungkin juga tidak. Aku ini kan belum begitu
mengenalmu, Kak. Bagaimana mungkin aku bisa
mencintaimu dengan sepenuh hatiku.”
“Aku mengerti. Selama perasaan dan pola pikir
kita belum harmonis, yang mana selama ini sering tak
berterus terang dan saling tidak percaya. Aku rasa kita
memang akan sulit untuk bisa saling bisa mengenal
lebih jauh. Karenanyalah mulai sekarang kau jangan
terlalu main perasaan, sampaikanlah isi hatimu yang
sebenarnya, sekalipun itu akan sangat
menyakitkanku. Percayalah kalau aku akan
senantiasa berusaha untuk menerima kenyataan itu,
dan mencoba mencari jalan yang terbaik dan
bijaksana dalam menentukan sikap.”
137
“Sungguh kau bisa melakukan itu?”
Randy mengangguk, ”Asal hal itu betul-betul suatu
kebenaran yang memang perlu disampaikan demi
untuk kebaikan kita. Sebab, jika kita masih takut
menyampaikan kebenaran dikarenakan perasaan
tidak enak justru bisa merugikan orang lain.
Karenanyalah sekarang aku sudah membuang
perasaan tidak enak itu demi untuk menyampaikan
kebenaran, walaupun aku tahu mungkin akibatnya
akan sangat menyakitkan. Namun begitu, aku akan
berusaha untuk menyampaikannya dengan cara yang
lebih santun. Karena itulah, hingga saat ini aku pun
masih terus belajar dan belajar untuk bisa
menyampaikan kebenaran dengan cara yang
demikian agar perkataanku tidak menyinggung
perasaan orang yang mendengarnya.”
Akhirnya sepasang muda-mudi itu sepakat untuk
saling terbuka dan saling percaya. Dengan harapan
mereka tidak lagi berselisih karena sebab salah
pengertian. Kini kedua muda-mudi itu kembali
berbincang-bincang, hingga akhirnya Lara bangkit dari
138
duduknya dan melangkah ke dapur. Tak lama
kemudian, dia sudah kembali dengan segelas kopi di
tangannya.
“Ini Cappuccino-nya, Kak,” kata Lara seraya
memberikan kopi itu kepada kekasihnya.
Pada saat itu Randy langsung menanggapi kopi
itu dan memperhatikannya sejenak. “Kok tidak pakai
es, Ra?” tanyanya kemudian.
“Es nya lagi habis, Kak.”
“Habis? Kenapa bisa sampai habis?” tanya Randy
dengan wajah kecewa.
Saat itu Lara sedikit jengkel dengan pertanyaan
Randy yang seperti itu. Dalam hati dia pun jadi
menggerutu sendiri, ”Dasar pria tidak tahu diuntung,
sudah baik aku mau membuatkannya kopi. Eh, dia
malah memprotes.”
“Ra, kenapa diam? Apa kau tidak mendengar
pertanyaanku tadi?”
“Aku dengar, Kak. Baiklah, aku akan jawab
pertanyaanmu itu. Emm... sebenarnya es itu habis
karena pembantuku lupa mengisinya.”
139
“Aduh, Ra. Kalau begitu kau harus tegas pada
pembantumu itu, bahwa sebetulnya cetakan es itu
harus senantiasa terisi.”
“Kakak ini bagaimana sih? Kan sudah kubilang
kalau pembantuku itu lupa. Kalau dia ingat, pasti dia
akan mengisinya. Lagi pula, jarang kok dia lupa
seperti sekarang.”
“Benarkah?”
Lara mengangguk. Dalam hati gadis itu merasa
kesal karena lagi-lagi dia harus terpaksa berbohong
demi untuk kebaikannya. Maklumlah, Lara memang
tidak mungkin menceritakan hal yang sebenarnya,
kalau es itu habis lantaran bukan karena
pembantunya lupa, namun karena dia
menggunakannya untuk hal yang tidak penting. Jika
dia sampai menceritakannya, Randy pasti akan
menceramahinya kalau perbuatan itu tak sepantasnya
dilakukan. Begitulah Lara, selama ini dia tidak senang
akan segala nasihat Randy yang sebetulnya baik.
Dalam hati, gadis itu masih merasa berat jika dia
menjadi baik lantaran Randy telah memberinya
140
nasihat. Dan dia tidak mau jika Randy sampai berjasa
di dalam kehidupannya. Di dalam benaknya, gadis itu
merasa justru dialah yang patut menjadi berjasa di
dalam kehidupan Randy. Andai saja Lara sudah
memahami arti saling menasehati tentu dia tidak akan
merasa seperti itu. Sementara itu di tempat lain, di
tengah hutan yang letaknya sangat jauh. Seorang
gadis tampak sedang merawat seorang pemuda.
“Mmm... bagaimana dengan keadaanmu, Kak?”
tanya gadis itu kepada Bobby.
“Setelah meminum obat yang kau berikan itu, kini
tubuhku terasa lebih bertenaga dan rasa sakit di
sekujur tubuhku pun mulai menghilang.”
“Baguslah kalau begitu. Jika kau rajin
meminumnya, aku yakin dalam satu dua minggu ini
kesehatanmu akan pulih kembali. O ya, Kak.
Ngomong-ngomong, apa sebenarnya yang telah
menimpamu?”
“Eng... ini semua karena aku berada di tempat dan
waktu yang salah.”
“Maksudmu?”
141
“Begini... UHUK-UHUK!!!”
“Sudahlah, Kak! Sebaiknya kau jangan bicara
dulu. Maaf kalau aku sudah mengganggu
ketenanganmu.”
“Ti-tidak apa-apa, aku cuma batuk sedikit.”
“Sudahlah…! Sebaiknya Kakak istirahat saja, aku
mau melanjutkan pekerjaanku dulu.”
Bobby memperhatikan kepergian gadis itu, betapa
hatinya saat itu betul-betul merasa tentram karena
perhatian dan kelembutan gadis yang baru dikenalnya
itu. Sepeninggal gadis itu, sang Kakek datang
menemuinya.
“Bagaimana keadaanmu, anak muda?” tanya
Sang Kakek ingin mengetahui keadaannya.
“Sudah lebih baikan, Kek.”
“Syukurlah kalau begitu. O ya, agar kau cepat
sembuh aku akan menyalurkan tenaga dalamku lagi.
Nah, sekarang bersiaplah!”
Mendengar itu, Bobby segera mengambil posisi
seperti yang dilakukannya selama tiga hari ini. Setelah
dia siap, sang Kakek segera duduk dihadapannya.
142
Kini tangan kirinya sudah menempel di perut Bobby,
sedangkan tangan yang sebelah kanan tampak
menempel di telapak tangan kiri Bobby. Dan tak lama
kemudian, sang kakek pun sudah menyalurkan
tanaga dalamnya. Sang Kakek terus melakukan itu
hingga akhirnya Bobby mengeluarkan darah kotor dari
mulutnya. Dan setelah itu, sang Kakek memintanya
untuk beristirahat.
143
Lima
etelah sekian lama membina hubungan,
tampaknya Lara kian mencintai Randy.
Bagaimana tidak, ternyata pemuda itu memang
sangat perhatian dan begitu menyayanginya. Kini
gadis itu tengah duduk bersama kekasihnya di teras
villa sambil memandang keindahan bukit yang
dipenuhi perkebunan teh. Saat itu di benaknya
terlintas kembali peristiwa yang telah lewat, ketika
waktu itu Bobby pernah memberinya pengertian
mengenai tabiat Randy yang perlu dipahami. Dan
karena itulah, hingga akhirnya gadis itu kini bisa
memahami Randy dan mencoba untuk senantiasa
menyelaraskannya. Begitupun dengan Randy, selama
ini pemuda itu senantiasa berusaha untuk
menyelaraskan tabiat Lara yang sensitif.
“Lara!” tegur Randy ketika mengetahui gadis itu
tampak melamun.
S
144
“Randy! Kau mengagetkanku saja,”
“Apa yang kau pikirkan, Sayang...?”
"Ah, tidak. Bukan sesuatu hal yang penting.”
“Emm... bukan sesuatu hal penting... ngomongngomong,
apa aku boleh tahu hal tidak penting itu?”
“Kau itu, dari dulu tidak pernah berubah,
Sayang.... Kau selalu mau tahu saja urusan orang,
bahkan hal yang tidak penting sekalipun.”
“Mungkin bagimu tidak penting. Tapi, mungkin
saja buatku sangat penting.”
“Baiklah, kalau kau memang mau tahu.
Sebenarnya hal itu menyangkut dirimu.”
"Benarkah? Kalau begitu katakanlah!”
“Begini, Sayang... aku heran, kenapa kau mau
tahu saja urusan orang?”
Mendengar itu Randy langsung terdiam, kemudian
keduanya matanya tampak memandang Lara dengan
dalam.
Karena dipandang seperti itu, Lara menjadi heran
dibuatnya. “Sayang... kenapa kau memandangku
seperti itu?” tanyanya kemudian.
145
“Katakanlah padaku, Ra...! Apakah
keingintahuanku itu telah membuatmu merasa tidak
nyaman?”
Lara mengangguk. “Kau senantiasa membuatku
terpaksa berdusta, Sayang....” katanya kemudian.
Randy mengerutkan keningnya, saat itu dia betulbetul
sedang memikirkan perkataan kekasihnya yang
baginya mengandung makna yang sangat dalam.
”Emm... kini aku mengerti. Rupanya kau sudah begitu
khawatir dikarenakan kodratmu yang selalu
menggunakan perasaan, yang mana tidak semua hal
bisa kau kemukakan dengan gamblang. Kalau begitu,
maafkanlah aku yang tidak mengerti karena
ketidakterusteranganmu! Mulai hari ini aku akan
berusaha untuk tidak seperti itu lagi.”
“Oh, Sayang... aku benar-benar bahagia karena
kau mau mengerti aku.”
Lantas kedua muda-mudi itu saling berpandangan
dan berpegangan tangan, kedua pasang mata itu
saling menatap hangat¾mengungkapkan isi hati
dengan tanpa kata-kata.
146
“Randy... aku menyayangimu,” ungkap Lara
seraya memeluknya dan menyandarkan kepalanya di
bahu pemuda itu.
“Lara... kau sungguh telah mengajarkan aku akan
makna cinta yang sesungguhnya,” ungkap Randy
sambil terus mendekap Lara dan membelai dengan
penuh kasih sayang.
“Aku pun begitu, Kak. Maaf kalau selama ini aku
sudah menganggapmu sebagai pemuda yang tidak
mau mengerti akan perasaan wanita. Tapi sekarang
aku mengerti, semua itu karena aku yang masih
belum pandai memilah perasaan, yaitu mengenai
mana yang patut kuungkapkan dan yang tidak,”
ungkap Lara seraya kembali memandang pemuda itu.
Kemudian mereka tampak berciuman dengan
begitu mesra dan kembali berpelukan erat. Kesucian
cinta dan kerendahan hati yang tulus terus berpadu
dengan hasrat primitif yang menghilangkan derajat
kemanusiaan keduanya, laksana sepasang merpati
yang berbagi kasih dengan tanpa ikatan suci yang
semestinya. Pada saat yang sama, di negeri nan jauh
147
di sana. Seorang pemuda tampak sedang
memperhatikan seorang gadis yang selama ini sudah
membuatnya jatuh hati. Siapa lagi kalau bukan cucu
gurunya sendiri, yang mana selama ini sering
bersamanya berburu di tengah hutan.
“Kena!” teriak gadis itu ketika anak panahnya
tepat mengenai sasaran.
Bobby yang sejak tadi memperhatikan gadis yang
semula begitu berkonsentrasi membidik sasaran,
tiba-tiba tersentak dan langsung memandang ke arah
bidikan. Saat itu dilihatnya seekor rusa tampak sudah
menggelepar sekarat. Mengetahui itu, Bobby buruburu
menghampiri rusa itu dan menyembelihnya
dengan menyebut nama Tuhan. Hingga akhirnya rusa
itu mati dengan darah yang terus mengalir dari
pembuluh darah besarnya.
“Kak, Bobby. Aku betul-betul heran... kenapa
selama ini kau selalu menyembelih rusa yang
kupanah,” tanya Li Qin terus terang.
“Aku melakukan ini agar rusa itu cepat mati
sehingga dia tidak terlalu lama merasakan sakit. Lagi
148
pula, aku melakukan itu agar dagingnya halal
kumakan.”
“Halal? Apa maksud perkataanmu itu?”
“Halal itu berarti Tuhan sudah meridhai aku untuk
memakan daging hewan yang sudah kusembelih
dengan menyebut nama-Nya, karena di dalam ajaran
agamaku tidak diperbolehkan memakan daging
hewan yang dibunuh dengan tidak menyebut nama-
Nya. Kau kan tidak seiman denganku, dan secara
otomatis ketika memanah tadi kau tidak mungkin
menyebut nama Tuhan-ku. Karenanyalah aku harus
menyembelih hewan itu agar dagingnya menjadi halal
kumakan, sebab jika tidak hewan itu tidak layak aku
makan karena dianggap bangkai. Lagi pula, bukankah
keyakinanmu tidak mempersoalkan hal itu, dan
dengan demikian kau pun masih tetap bisa
memakannya.”
"O, jadi begitu. Kini aku mengerti, Kak.”
Bobby tersenyum melihat Li Qin yang katanya
mengerti, namun ekspresinya tubuhnya sama sekali
tidak menunjukkan hal itu¾dahinya tampak masih
149
berkerut dengan sebelah tangan yang mengusapusap
kepalanya. Tak lama kemudian, Bobby sudah
memanggul hewan buruan itu dan melangkah
bersama menuju ke pondok yang mereka tinggali.
Suasana hutan yang mulai gelap membuat keduanya
semakin mempercepat langkah hingga akhirnya
mereka tiba di pondok dengan selamat.
Malam harinya, Bobby, Li Qin dan gurunya tampak
menikmati hasil buruan yang didapat petang tadi.
Daging rusa panggang yang gurih terus mengisi perut
dengan perlahan, hingga akhirnya ketiganya merasa
kenyang. Seusai makan mereka tampak berbincangbincang
dengan akrabnya, hingga akhirnya.
“Huaaahhh...!” sang kakek menguap. “Nak Bobby, Li
Qin cucuku, rasanya aku sudah mengantuk sekali,
dan sepertinya aku sudah tidak kuat untuk berlamalama
di tempat ini. Teruskan saja perbincangan
kalian, aku mau pergi istirahat.”
150
Setelah berkata begitu, sang kakek tampak
melangkah pergi. Sepeninggal orang tua itu, Bobby
dan Li Qin kembali berbincang-bincang. Namun kali ini
perbincangan mereka tampak menjurus ke hal-hal
yang sifatnya sangat pribadi.
“Li… apakah kau merasakan perasaan yang
seperti aku rasakan?”
Li Qin tampak mengerutkan keningnya, “perasan
seperti apa yang kakak maksudkan?” tanya gadis itu
tidak mengerti.
“Perasan ingin selalu berdua seperti ini. Apakah
kau merasakannya juga?”
Li Qin mengangguk.
“Li... terus terang, setelah sekian lama
bersamamu aku merasa betul-betul bahagia.
Sepertinya... A-aku mencintaimu, Li...”
Mendengar itu Li Qin tersentak gembira, setelah
sekian lama menunggu pernyataan itu akhirnya dia
mendengarnya juga.
“Li, kenapa kau diam? Apakah kau tidak
mencintaiku?”
151
“Kak...” Li Qin menatap mata Bobby dalam-dalam
“A-aku juga mencintaimu, Kak.” Ungkapnya
kemudian.
Kini kedua muda-mudi itu sudah saling
berpelukan, kemudian dilanjutkan dengan saling
berciuman. Prilaku yang selama ini mereka jaga
karena saling menghormati, namun sekarang sudah
mereka langgar atas nama cinta. Cinta suci yang kini
sudah dinodai oleh hasrat primitif yang tak ada
bedanya dengan yang dilakukan oleh makhluk tak
berakal.
Esok harinya, di sebuah tanah lapang. Bobby dan
gurunya berlatih silat seperti biasa. Kini keduanya
sudah berdiri saling berhadapan untuk berlatih
tanding. Setelah saling membungkuk, sang guru
lantas menyuruhnya bersiap-siap.
“Baik guru,” ucap Bobby seraya memasang kudakudanya.
152
“Terimalah seranganku ini, anak muda!” kata sang
guru dengan serta-merta menyerang.
Bobby tersentak dengan serangan yang begitu
tiba-tiba. Namun karena refleksnya sudah terlatih, dia
pun bisa menghindarinya dengan mudah. Kini dia
balik menyerang, sebuah pukulan dasyat tampak
diarahkan pada wajah gurunya. Sayangnya serangan
itu luput dikarenakan sang guru yang berkelit ke
samping. Pada saat bersamaan, sebuah pukulan siku
sang guru telak mengenai rahang Bobby, kemudian
disusul dengan lutut sang guru yang bersarang di ulu
hatinya. Tak ayal, pemuda itu pun tersungkur sambil
meringis kesakitan. Belum sempat Bobby bangkit,
tiba-tiba sebuah tendangan sudah mengarah ke
pinggangnya. Mengetahui itu, serta-merta Bobby
berguling berapa meter, kemudian segera bangkit dan
memasang kuda-kudanya. Tak lama kemudian,
pertarungan kembali berlanjut. Keduanya saling
serang dan menangkis dengan jurus-jurus
mematikan, hingga akhirnya Bobby berhasil
menyusupkan pukulan dan telak mengenai dada
153
gurunya. Pada saat itu, sang guru terlihat mundur
beberapa langkah. Mengetahui itu, Bobby tidak
menyiakan kesempatan. Namun ketika Bobby hendak
melancarkan serangan, tiba-tiba “Cukup, Nak!” teriak
sang guru yang tak menghendaki Bobby celaka,
sebab saat itu sang guru sudah memproteksi diri
dengan tenaga dalamnya. Mendengar itu, serta-merta
Bobby membatalkan serangannya. Kemudian dia
segera melangkah dan menghormat pada sang guru.
“Perkembanganmu sungguh pesat, Nak. Terusterang
aku bangga sekali,” komentar sang guru
bangga.
“Terima kasih, guru. Ini semua berkat tempaan
guru yang begitu keras padaku.”
“Hehehe...! Akhirnya kau mau mengakui juga
kalau perlakuanku yang keras itu telah membuatmu
berhasil mengusai jurus-jurus yang kuajarkan.”
Tak lama kemudian, sang guru sudah
memberikan jurus baru padanya. Pada saat itu Bobby
tampak serius memperhatikan gerakan-gerakan yang
indah namun sangat mematikan. Dan tak lama
154
kemudian, dia sudah mulai mengikuti gerakan
gurunya hingga akhirnya dia hafal dan bisa melakukan
gerakan itu sendiri. Sementara itu di tempat berbeda,
Randy dan Lara tampak sedang membicarakan
rencana Randy untuk pergi keluar negeri. Saat itu
mereka duduk berdampingan di atas sofa empuk yang
ada di ruang tengah rumah Lara.
“Tapi, Kak. Bagaimana mungkin kau bisa
meninggalkan perusahaanmu?”
“Mungkin saja. Perusahaanku itu kan sudah
bersistem, jadi bisa tetap operasional walaupun tanpa
kehadiranku. Karenanyalah aku memutuskan untuk
pergi keluar negeri, sebab usaha baruku di sana justru
tidak mungkin berjalan tanpa kehadiranku.”
"O ya, Kak. Ngomong-ngomong, berapa lama kau
akan berada di sana?”
“Ya, sampai usahaku di sana juga sudah
bersistem. Namun, kau jangan khawatir! Sewaktuwaktu
aku pasti pulang untuk menemuimu? Lagi pula,
sekali-sekali aku perlu juga memantau langsung
perusahaanku di sini.”
155
Kedua muda-mudi itu terus berbincang-bincang,
hingga akhirnya Lara bangkit dari duduknya dan
melangkah ke dapur. Tak beberapa lama kemudian,
dia sudah kembali dengan segelas kopi di tangannya.
“Ini Cappuccino-nya, Kak,” kata Lara seraya
memberikan kopi itu kepada kekasihnya.
Pada saat itu Randy langsung menanggapi kopi
itu dan memperhatikannya sejenak. “Kok pakai es,
Ra? Apa kau tidak tahu kalau aku lagi batuk?”
tanyanya kemudian.
“Maaf, Kak. Aku pikir biarpun lagi batuk, kau mau
tetap pakai es. Kau sih tadi tidak bilang kalau tidak
mau pakai es.”
“Uhuk Uhuk! Aduh, Lara. Mana perhatianmu
padaku, masa aku lagi batuk malah diberi es. Kau ini
seharusnya tahu kalau orang yang lagi batuk itu tidak
boleh minum es.”
Saat itu Lara sedikit jengkel dengan sikap Randy
yang seperti itu. Dalam hati dia pun jadi menggerutu
sendiri, ”Dasar pria tidak tahu terima kasih. Sudah
untung aku mau membuatkannya kopi. Eh, dia malah
156
protes. Malah akulah disangka tidak perhatian. Mana
aku tahu kalau dia peduli dengan sakitnya, bukankah
banyak orang yang memang tidak peduli dengan
sakitnya. Biarpun lagi batuk tetap saja mau minum
es.“
“Ra, kenapa diam? Apa kau tidak mendengar
pertanyaanku tadi?”
“Baiklah, sini kopinya. Biar aku ganti dengan yang
tidak pakai es.”
“Maaf ya, Ra! Aku tadi tidak bilang karena kupikir
kau itu wanita yang penuh perhatian, tapi ternyata
memang belum sepenuhnya. Aku janji, lain kali aku
pasti akan bilang.”
“Iya aku mengerti. Soalnya tadi aku menduga kau
tidak mungkin bisa menghilangkan kebiasaanmu
minum cappuccino pakai es. Dan aku takut jika aku
membuatkanmu kopi tanpa es, nanti kau bilang aku ini
tidak pengertian,” jelas Lara seraya melangkah ke
dapur.
Pada saat yang sama, Randy tampak
merenungkan perkataan Lara barusan. Keinginannya
157
untuk selalu diperhatikan ternyata tidak pada
tempatnya, sehingga terjadilah ketidakselarasan
antara perhatian dan pengertian. Tak lama kemudian
Lara sudah kembali dengan membawa cappuccino
tanpa es. Saat itu Randy langsung menjelaskan
perihal renungannya tadi, hingga akhirnya Lara pun
mengerti dan menganggap hal itu hanyalah sebagai
miss communication. Kini kedua muda-mudi itu sudah
kembali berbincang-bincang dengan penuh keceriaan.
Saat ini mereka sudah lebih mengerti kalau berbagai
hal sepele juga bisa menjadi besar jika keduanya tidak
mau saling terbuka. Dan karenanyalah, setiap saat
mereka selalu berusaha untuk meningkatkan kualitas
keterbukaan itu agar segala bentuk miss
communication bisa dieliminasi hingga sekecil
mungkin. Dan karenanyalah, Lara pun berniat untuk
mengungkapkan isi hati yang sebenarnya.
“Kak, sesungguhnya aku...” Lara tidak
melanjutkan kata-katanya
“Sesungguhnya apa, Sayang... Ayolah, katakan
saja jangan sungkan-sungkan!”
158
“Kak, sebetulnya a-aku tidak mau kau pergi ke
luar negeri. Sesungguhnya aku ini wanita yang egois
dan sama sekali tidak peduli dengan karirmu.”
“Aku bisa mengerti, Sayang... Sebetulnya
keegoisanmu itu sangat manusiawi. Kalau kau mau
tahu, sebetulnya aku pun sangat berat
meninggalkanmu, namun karena semua sangat
penting, aku terpaksa harus melakukannya.
Karenanyalah, aku meminta kepadamu untuk bisa
mengorbankan keinginanmu itu demi untuk masa
depan kita, dan masa depan anak-anak kita kelak.”
“Tapi, Kak. Apakah dengan perusahaan yang
sekarang tidak cukup?”
“Sayang... ketahuilah. Aku tidak bisa menjamin
kalau perusahaanku itu tidak akan collapse.
Karenanyalah aku perlu membangun usaha lain yang
jika perusahaanku itu collapse aku masih mempunyai
perusahaan lain sebagai cadangannya. Bukankah
mempunyai dua keranjang telur lebih baik ketimbang
hanya mempunyai satu keranjang. Dan andai satu
159
keranjang telur itu jatuh, kita masih mempunyai
keranjang yang lain.”
“Benarkah itu keinginanmu yang sesungguhnya,
yaitu untuk masa depan kita dan bukan karena demi
karirmu semata.”
Randy mengangguk.
“Maafkan aku, Kak. Semula aku sudah berburuk
sangka kalau keinginanmu itu hanyalah karena
keegoisanmu yang lebih mementingkan karir
ketimbang diriku.”
“Sudahlah, Sayang... aku bisa mengerti kenapa
kau bisa berpikiran seperti itu.”
Lantas kedua muda-mudi itu saling berpandangan
dengan sangat dalam, kemudian mereka pun saling
berciuman dengan mesranya. Sungguh indah dan
membahagiakan sekali andai hal itu mereka lakukan
di dalam sebuah ikatan yang sakral.
160
Keesokan harinya, di negeri yang ada di sebelah
Barat sana. Mentari tampak bersinar dengan teriknya.
Pada saat itu, di atas hamparan hutan pinus yang
lebat, seekor elang tampak berputar-putar mencari
mangsa. Ketika melihat seekor kelinci, tiba-tiba si
penakluk angkasa itu menukik tajam dengan sangat
cepatnya menuju mangsa yang sama-sekali tak
menyadari kalau bahaya sedang mengancam.
Sementara itu, tak jauh dari pondok kayu yang ada di
tengah hutan yang sama. Seorang pemuda tampak
sibuk membelah kayu bakar di bawah rindangnya
sebuah pohon besar. Dan setelah di rasa cukup,
pemuda itu tampak beristirahat di beranda kayu
sambil mengelap peluh di tubuhnya.
“Ini minumannya, Kak,” kata Li Qin memberikan
segelas air putih yang langsung ditenggak Bobby
sampai habis.
“Eng, mau kuambilkan lagi, Kak?”
“Terima kasih, Li. Sudah cukup.”
"O ya, Kak. Kata kakek, belum lama ini beliau
melihat beberapa polisi menyisir wilayah ini dengan
161
membawa anjing pelacak. Mereka itu sedang mencari
seseorang yang diduga selamat dari ledakan, sebab
mereka menemukan jejak darah yang mengarah ke
hutan ini.”
“Jejak darah? Aneh... bagaimana mungkin aku
bisa meninggalkan jejak darah, sedang saat
ditemukan aku tengah mengapung di aliran sungai.
Hmm... apa mungkin ada orang lain yang selamat?”
“Mungkin saja, Kak. Sebab kau saja bisa selamat
kenapa yang lain tidak.”
Bobby dan Li Qin terus berbincang-bincang
mengenai orang yang sedang dicari itu. Sementara itu
di tempat berbeda, Lara tampak sedang menangis.
Rupanya gadis itu masih merasa berat untuk
melepaskan kepergian Randy keluar negeri. Ingin
rasanya dia menahan pemuda itu untuk tidak
meninggalkannya, namun di sisi lain dia tidak mau
menghambat karir orang yang begitu dicintainya, yang
katanya demi untuk masa depan mereka dan anakanak
mereka kelak.
162
“Sudahlah, Ra. Kau jangan sedih begitu, nanti
bisa-bisa aku tidak jadi berangkat.”
Mendengar itu, Lara langsung menghapus air
matanya. Kemudian dia menatap kekasihnya itu
sambil mencoba tersenyum. “Kau harus berangkat,
Kak! Lihatlah, kini aku sudah tidak sedih lagi!”
“Nah, begitu dong. Sekarang kan aku jadi lega
untuk berangkat. Sudah ya, Sayang... Jika ada umur,
suatu hari nanti kita pasti akan bertemu.”
Setelah saling berciuman dan berpelukan mesra,
Lara tampak memperhatikan Randy yang kini
melangkah menuju ruang tunggu. Pada saat itu Lara
benar-benar sedih, di hatinya ada kekhawatiran yang
amat sangat. Seketika itu juga di benaknya terbayang
perasaan pilu, dimana pada saat itu dia tak bisa
bertemu lagi dengan sang kekasih tercinta. Kini gadis
itu tampak duduk termenung memikirkan berbagai hal
yang sangat mengkhawatirkan dirinya. Saat itu dia
sempat membayangkan kalau pesawat yang
ditumpangi suaminya terjatuh di tengah lautan dan tak
ada seorang pun penumpangnya bisa selamat, namun
163
pada akhirnya kekhawatirannya itu pun lenyap karena
dia kembali teringat akan doa yang akan dikabulkan
Tuhan. Saat itu juga dia pun langsung berdoa
memohon keselamatan atas kekasihnya tercinta.
164
Enam
etelah keberangkatan Randy, Lara
memutuskan untuk menetap di Yogyakarta.
Dia memang sudah berniat untuk memulai hidup baru
di kampung halamannya. Sambil menunggu Randy
kembali, dia akan mengembangkan keahliannya
sebagai seorang penari. Saat ini dia sedang duduk di
tengah-tengah pendopo, menunggu teman-temannya
yang akan berlatih tari bersama. Tak lama kemudian,
tempat itu sudah dipenuhi oleh gadis-gadis cantik
yang akan menari. Setelah semuanya berkumpul,
mereka pun mulai latihan. Suara gamelan terdengar
merdu mengiringi gadis-gadis itu. Lenggak-lenggok
tubuh indah semampai tampak begitu gemulai,
membawakan sebuah cerita Ramayana.
Lara yang berada di tengah-tengah tampak begitu
riang. Senyumnya yang menawan mengembang
bersamaan dengan gerakannya yang begitu indah.
S
165
Sementara itu, dari balik pepohonan sepasang mata
tampak terus mengawasinya. “Hmm... Indah sekali.
Gadis itu memang pandai menari,” kata orang itu
kagum.
Setelah puas mengawasi, akhirnya orang itu pergi
meninggalkan tempat persembunyiannya. Sementara
itu di tempat lain yang begitu jauh jaraknya, seorang
pemuda tampak sedang meniup bola tekatekinya
¾mencari irama yang sesuai agar bola itu bisa
terbelah. “Hmm... seperti apa bunyi irama yang harus
kubuat itu, apakah harus sedih atau riang?” tanya
Bobby sambil terus berpikir mengenai Bola tekatekinya.
Bahkan saking seriusnya, sampai-sampai dia
tidak menyadari kalau Li Qin sudah berada di sisinya.
“Alat musik apa itu, Kak?” tanya gadis itu heran.
Seketika Bobby menoleh, memperhatikan wajah
manis yang kini menatapnya dengan penuh rasa ingin
tahu. “Ini bukan alat musik, Sayang. Namun sebuah
bola teka-teki,” jawab Bobby seraya menjelaskan
perihal bola teka-teki itu lebih jauh.
“Kalau begitu, boleh aku mencobanya?”
166
“Silakan saja,” kata Bobby seraya menyerahkan
bola itu pada kekasihnya.
Tak lama kemudian, Li Qin sudah meniup bola itu.
Kini dia tampak mengenali nada-nada yang dihasilkan
dari setiap lubang. Dan setelah agak lama, akhirnya
dia bisa menciptakan irama yang terdengar indah.
Namun karena yang dihasilkan bukan irama yang
sesuai, maka bola itu pun tetap tak bisa terbelah.
Karena sesungguhnya urutan nada itu adalah kunci
kombinasi yang secara mekanik bisa membuka
pengunci yang ada di dalamnya.
“Indah sekali kedengarannya, Sayang...” komentar
Bobby kagum.
“Itu terjadi karena aku memainkannya dengan
penuh perasaan, Kak.”
Mengetahui itu Bobby langsung berpikir. “Emm...
jadi harus dengan perasaan. Tapi... perasaan seperti
apa, perasaan senang atau sedih?” tanyanya masih
belum mengerti. “Sayang... coba kau memainkannya
dengan perasaan sedih!” pintanya kemudian.
167
Li Qin pun menurut, dia segera memainkannya
dengan perasan sedih, sehingga irama yang
dihasilkan pun terdengar begitu memilukan.
“Cukup, Sayang.... sekarang coba dengan
perasan senang.”
Lagi-lagi Li Qin menurut. Kini dia memainkannya
dengan perasaan senang sehingga terdengarlah
irama yang terdengar begitu riang.
“Cukup, Sayang!” pinta Bobby. Kemudian pemuda
itu kembali berpikir, “Emm... keduanya terdengar
sangat indah. Hanya saja iramanya belum sesuai
dengan apa yang dikehendaki oleh pembuatnya.
Kalau begitu, mau tidak mau bola itu harus dimainkan
setiap saat dan dengan irama yang berbeda-beda.”
“Kak, apa yang kau pikirkan?” tanya Li Qin.
Mendapat pertanyaan itu, Bobby langsung
memberitahu. Hingga akhirnya, Li Qin pun bisa
memahami.
“Emm... Kalau begitu, bolehkah aku meminjam
bola ini agar setiap saat aku bisa memainkannya!”
168
“Tentu saja, Sayang... mainkanlah bola itu
sesukamu. Terus terang, kau lebih mahir
memainkannya ketimbang diriku.”
Betapa senangnya Li Qin saat itu, dan tak lama
kemudian terdengarlah irama riang yang sangat
sesuai dengan perasaannya saat itu. Sementara itu di
tempat lain, Lara sedang memperhatikan foto Randy
yang ada di liontinnya, saat itu dia tampak tersenyum
sendiri, teringat dengan ciuman Randy. “Oh Randy...
bagaimana mungkin aku bisa melupakanmu,
kenangan indah kita tak mungkin kulupakan.”
Kini dia kembali memandang foto Randy yang
terpasang di liontinnya, kemudian melekatkannya di
bibir dan menciumnya mesra. Sejenak kembali
ditatapnya foto itu, lalu segera didekapnya erat. “Kak...
kapan kau akan kembali? Sesungguhnya aku sudah
begitu merindukanmu. Hmm... Aku heran, kenapa
belakangan ini kau jarang memberi kabar padaku.
Bahkan sekarang, sudah dua bulan lebih kau belum
juga memberi kabar apa-apa. Terus terang, aku
begitu tersiksa, siang dan malam aku selalu
169
merindukanmu. Apakah kau memang terlalu sibuk
dengan pekerjaanmu, atau...”
Tiba-tiba di benak gadis itu sudah terbayang
sebuah peristiwa yang sangat mengkhawatirkan
dirinya. Dalam bayangannya itu, Lara melihat Randy
tampak sedang asyik berbincang-bincang dengan
seorang sekretarisnya yang cantik. Dan karena gadis
itu juga sangat memikat hati, lantas Randy pun
tergoda. Apa lagi saat itu Randy sedang jauh darinya,
tentulah ia merasa rindu dan kesepian. Sungguh tidak
mustahil jika seorang pria yang mengalami kondisi
demikian menjadi khilaf dan akhirnya menjadikan
wanita itu sebagai pelampiasannya. Kini Lara sudah
membayangkan bagaimana kekasihnya itu sudah
berbuat melebihi batas, dia melakukan hubungan
intim di ruang kantornya setiap ada kesempatan.
Sungguh saat itu Lara sangat kecewa dengan sikap
Randy yang berada di fantasinya.
Seketika Lara menarik nafas panjang dan
mengelus dadanya, “Itu tidak mustahil dilakukannya.
Bukankah selama kami berduaan dia memang
170
terkadang suka tak terkendali dan mengajakku
berbuat begitu, namun karena aku masih bisa
menjaga diri maka perbuatan itu tak pernah terjadi.
Andai waktu itu aku menurutinya, mungkin sekarang
aku sudah tidak suci lagi. Tapi, jika kejadian serupa
terjadi di sana dan gadis sekretarisnya itu mau saja,
tentu mereka akan melakukannya.“
Lagi-lagi Lara menarik nafas panjang dan
mengelus dada karena membayangkan orang yang
dicintainya melakukan hal yang tak sepatutnya. Belum
reda kecemasan gadis itu akibat fantasinya sendiri,
tiba-tiba saja dia mendengar suara ketukan di pintu
kamar. “Siapa?” tanyanya kepada orang mengetuk
pintu.
“Ini aku, Ra. Winda...”
"O, kau!” kata Lara seraya bergegas membukakan
pintu. “Ada apa?” tanyanya kemudian.”
“Ini, pesananmu.”
"O, jadi sudah selesai. Kok tumben bisa secepat
ini?”
171
“Kau jangan meremehkan aku, Ra. Jelek-jelek
begini aku bisa juga profesional loh.”
“Kau jangan marah dong, aku kan cuma
bercanda.”
Gadis yang bernama Winda itu tampak
tersenyum, sebuah pertanda kalau ia sama sekali
tidak marah. “Sudah ya, Ra. Aku pergi dulu karena
masih banyak kerjaan lain,” pamit gadis itu kemudian.
“Iya, Win. Terima kasih ya!”
“Sama-sama,” ucap Winda seraya bergegas pergi.
Kini Lara mencoba gaun yang dipesannya itu, dan
dia tampak begitu cantik ketika mengenakannya.
“Winda memang hebat, gaun ini pas sekali di
tubuhku.”
Lara tampak berputar di depan cermin, dan dia
bangga sekali memakainya. Tubuhnya yang
semampai begitu serasi dengan gaun biru yang
dikenakannya. “Apa ya komentar teman-teman jika
melihat gaun ini, apakah mereka akan memujiku.
Hmm.. aku rasa memang begitu.”
172
Lara terus bergaya di depan cermin, dan dia tak
henti-hentinya mengagumi diri sendiri. Terbayang
sudah bagaimana para pria nanti akan terkagumkagum
melihat keindahan tubuhnya yang semampai
dengan gaun yang juga indah. Bagaimana mata
mereka akan terbelalak dan memuji dirinya sebagai
gadis yang paling cantik. Sungguh saat itu dia sama
sekali tidak memikirkan perasan Randy, yang bila saja
tahu mengenai isi hatinya itu tentu akan membuatnya
cemburu. Bagaimana mungkin dia bisa rela jika
keindahan tubuh kekasihnya dibagi-bagi dengan pria
lain, walaupun cuma sebatas pandangan. Idealnya
sebagai pria yang merasa terhormat, tentu
menginginkan gadis pujaannya itu seutuhnya hanya
untuk dirinya. Layaknya putri raja yang terhormat,
yang tak sembarang pria boleh melihatnya.
Malam harinya, di tempat pesta. Lara tampil
bagaikan seorang putri yang begitu cantik. Pada saat
173
itu, hampir semua mata pria terpana dengan
kecantikannya. “Selamat, ya! Semoga panjang umur.
O ya, aku minta maaf karena datang terlambat
sehingga tak menyaksikanmu meniup lilin,” ucap Lara
kepada teman satu sanggarnya yang berulang tahun.
“Terima kasih, Ra. Tidak apa-apa kok. O ya,
ngomong-ngomong ada yang mau berkenalan
denganmu.”
“Siapa?” tanya Lara penasaran.
“Tunggu sebentar, ya!” pinta teman Lara seraya
melangkah pergi.
Tak lama kemudian, teman Lara sudah kembali
bersama dua orang pria tampan. “Kenalkan, Ra. Ini
Pak Sasongko, beliau ketua sanggar tari yang
terkenal itu. Dan yang ini seorang choreographer,
namanya Rahman.”
“Saya Lara, senang berkenalan dengan kalian.”
"O ya, maaf! Aku harus menemui tamu-tamu yang
baru datang itu. Silakan kalian berbincang-bincang
dan nikmatilah suasana pesta ini dengan penuh suka
cita.”
174
Kini Lara dan kedua pemuda yang baru
dikenalnya itu tampak berbincang-bincang mengenai
tari tradisional yang menjadi dunia mereka, hingga
akhirnya mereka mulai akrab dan perbincangan pun
semakin jauh berkembang.
“Begitulah, Dik Lara,” jelas Pak Sasongko
mengakhiri ceritanya mengenai kesibukannya seharihari
sebagai pimpinan sanggar. "O ya, Dik. Kebetulan
hari ini aku ada pertemuan penting dengan
seseorang, dan karenanyalah aku tidak bisa berlamalama
di tempat ini. Nah, sebaiknya sekarang aku
mohon diri. O ya, di lain waktu aku harap kita bisa
berbincang-bincang lagi mengenai dunia kita ini!”
“Tentu saja, Pak. Dengan senang hati,” kata Lara
seraya tersenyum.
“O ya, Rahman. Jangan lupa untuk
mempresentasikan tarian barumu besok pagi.”
“Baik, Pak,” jawab Rahman.
“Sudah ya, aku mohon diri sekarang.”
Setelah pamit dengan Lara dan Rahman, Pak
Sasongko segera melangkah menemui teman Lara
175
yang sedang berulang tahun, dan setelah itu dia pun
bergegas meninggalkan ruang pesta. Pada saat yang
sama, Lara dan Rahman tampak sedang
membicarakan sesuatu yang menarik.
“Hmm... Jadi gerakan tari modern yang kau
ciptakan itu semuanya terinspirasi dari tari
tradisional?“ tanya Lara perihal tarian baru yang
diciptakan Rahman.
“Betul, Ra. Karenanyalah aku sangat suka
berkecimpung di dunia tari tradisional ini, yang mana
dari setiap gerakan yang sudah bagus itu bisa aku
modifikasi sehingga menjadi gerakan baru yang lebih
modern. Terus-terang, aku melakukan ini karena
merasa terpanggil untuk membuat tarian modern yang
indah namun tidak membuat yang melihatnya menjadi
berpikiran macam-macam.”
“Eng... maksud Kakak dengan berpikiran macammacam
itu apa?”
“Begini, Ra. Setiap orang mempunyai sudut
pandang berbeda terhadap sesuatu yang dilihatnya,
dan itu tergantung dari pengetahuan yang didapatnya.
176
Misalkan aku sendiri yang selama ini sudah
mempelajari seni tari dengan sangat mendalam,
sehingga aku bisa memandang gerakan tari itu
sebagai suatu hasil kreasi seni yang patut dilestarikan.
Sebab setiap kali aku menyaksikan tari, aku betulbetul
mendapatkan pesan yang positif yang
membuatku menjadi lebih baik. Dan semua itu
dikarenakan pesan yang ingin disampaikan oleh
pencipta tarian itu bisa aku tangkap dengan baik.
Namun tidak demikian halnya dengan orang-orang
yang tidak mengerti seni tari, mereka tentu hanya
melihat dari sudut pandang yang dangkal, yaitu hanya
sebatas gerakan indah yang menghibur. Dan gerakan
indah yang menghibur itu pun bisa dimaknai berbeda
tergantung dari persepsi orang yang melihatnya. Jika
persepsi itu positif tentu tidak menjadi masalah,
namun jika itu negatif tentu akan menjadi sebuah
masalah. Karena itulah sebagai seorang
choreographer aku merasa berkewajiban menciptakan
kreasi seni yang betul-betul bisa dinikmati secara
positif oleh orang yang tidak mengerti seni sekalipun.
177
Intinya adalah aku tidak mau orang menjadi
menyalahgunakan seni untuk hal-hal yang tidak baik.
Sebab lahirnya seni itu bertujuan untuk menumbuhkan
kebaikan, bukan justru malah sebaliknya.“
"O, jadi begitu. Aku kira cuma narkoba saja yang
bisa disalahgunakan, tapi ternyata seni juga bisa
disalahgunakan ya.”
“Ya begitulah kehidupan di dunia. Selama orang
masih belum bisa mendapatkan informasi yang baik
dan benar tentu penyalahgunaan terhadap hal apapun
tentu masih akan terus terjadi. Dan karenanyalah,
sebagai orang yang mengetahui informasi itu aku
merasa berkewajiban menyampaikan apa yang
kutahu itu kepada mereka yang belum
mengetahuinya. Dengan harapan, suatu hari kelak
mereka bisa menikmati seni sebagaimanamestinya.
Dan selama ini pun, aku terus berusaha keras untuk
bisa menciptakan kreasi seni yang juga dibarengi
dengan informasi yang baik dan benar.”
“Kau betul, Kak. Tanpa itu semua bagai mana
mungkin orang yang tak mengerti seni akan bisa
178
memahami sebuah karya seni sebagai seni.
Contohnya ketika aku menyaksikan pagelaran tari
modern, aku sama sekali tidak mengerti maksud dari
semua gerakan itu. Choreographer-nya cuma bilang
itu adalah kreasi seni, namun sayangnya dia samasekali
tidak menjelaskan seninya itu bagaimana. Tidak
seperti tari tradisional yang kugeluti selama ini, kalau
sesungguhnya setiap gerakan di dalamnya punya
makna yang mendalam. Sehingga aku pun bisa
merasakan gerakan itu adalah sebuah seni, seninya
adalah kepiwaian penciptanya dalam menyampaikan
sebuah pesan melalui gerakan yang indah.” Kedua
muda-mudi kini tampak terdiam, sepertinya mereka
benar-benar sedang merenungkan apa yang baru
mereka bicarakan itu. Hingga akhirnya, mereka pun
kembali bercakap-cakap dengan perbincangan yang
kali ini jauh lebih berbobot.
179
Esok harinya, di negeri Paman Sam, di tengah
hutan di salah satu negara bagian. Sepasang mudamudi
tampak sedang menjelajahi lereng bukit yang
terjal, keduanya tampak bergandengan tangan sambil
menikmati aroma pohon pinus yang tumbuh di
sepanjang jalan. Panorama lembah yang terlihat dari
jalan setapak yang mereka lalui tampak begitu indah,
birunya danau kecil yang dikelilingi lebatnya
pepohonan pinus dan berlatar belakang bukit kecil
yang menghijau sungguh menyejukkan mata. Apalagi
ditambah dengan kicauan burung yang bernyanyi
riang, suara dengung serangga yang menggetarkan
sayap, gemercik air terjun kecil yang menentramkan,
dan juga nyanyian katak yang riang bermain di aliran
selokan yang jernih sungguh menciptakan simfoni
alam yang menentramkan.
“Kita istirahat di tempat ini saja, Kak! Lihatlah!
Pemandangan dari tempat ini sungguh indah,” kata Li
Qin seraya duduk atas sebuah batu yang tak begitu
jauh dari terjun kecil itu.
180
“Kau benar, Sayang... betapa damai hati ini bila
setiap saat bisa menikmati keindahan seperti ini.”
"O ya, Kak. Ngomong-ngomong, kapan kita bisa
membina hubungan cinta kita ini ke arah yang lebih
jauh. Terus terang, aku mendambakan seorang bayi
yang nantinya akan melengkapi kebahagiaan kita.”
“Hmm... benarkah yang kau katakan itu? Apakah
kau memang sudah siap untuk itu?”
Li Qin menganggukkan kepalanya.
“Kalau begitu, aku akan segera bilang pada kakek
untuk menikahimu. Tapi...” Tiba-tiba Bobby teringat
dengan sesuatu hal yang penting, dan karenanyalah
dia pun menjadi begitu berat untuk mengungkap hal
yang sebenarnya.
“Tapi apa, Kak?”
“Li Qin... maaf kalau aku belum bisa
mengatakannya sekarang,“ katanya terus terang. "O
ya, Sayang... bagaimana kalau kita melanjutkan
perjalanan!” ajaknya kemudian.
Li Qin mengangguk, kemudian gadis itu segera
berdiri dan kembali melangkah bersama kekasihnya.
181
Kedua anak manusia itu terus melangkah hingga
akhirnya mereka tiba atas bukit.
“Lihat itu, Kak!” Seru Li Qin gembira ketika melihat
sebuah pohon bunga yang tumbuh di dekat bebatuan.
Lalu dengan segera gadis itu berlari menghapiri pohon
itu dan memetik bunganya yang berwarna biru.
Saat itu Bobby tampak memperhatikan bunga itu
dengan penuh seksama, “Hmm… itukah bunga yang
dikatakan kakek bisa membuka simpul-simpul energi
tersembunyi dalam diriku?” tanya Bobby heran.
Li Qin mengangguk, saat itu di wajahnya
tersungging sebuah senyum yang membahagiakan.
“Hmm... aku sungguh tidak menyangka kalau
bunga sekecil ini telah diciptakan Tuhan untuk
membuat manusia menjadi lebih kuat,” kata Bobby
kagum.
“Ini adalah bunga Nafas Dewa, yang mana
leluhurku mempercayai kalau bunga ini dulunya
tumbuh di sorga, dan ketika di bawa turun ke bumi
bunga itu akhirnya mati. Lalu untuk menghidupkan
bunga itu kembali, Dewa pun memberikan nafasnya
182
hingga akhirnya membuat bunga itu hidup dan terus
berkembang sampai hari ini. Leluhurku percaya
karena nafas Dewa yang ada di bunga itulah yang
bisa membuat manusia menjadi kuat. Bunga ini
tumbuh hampir di semua dataran tinggi, namun
sangat sulit ditemukan karena hanya berbunga di saat
hari Peh-cun bulan Cia-gwee, dan disaat hawa bumi
dan langit (Im-yang) sedang bertemu. Hawa itu pun
hanya berlangsung beberapa menit saja.”
Bobby tersenyum saja mendengar penjelasan Li
Qin, dalam hati dia sama sekali tidak percaya dengan
apa yang dikatakan oleh kekasihnya. Menurutnya,
bunga itu menjadi istimewa bukanlah karena nafas
Dewa, namun dikarenakan Tuhan memang telah
menciptakan berbagai zat yang secara hukum alam
bisa membuka simpul-simpul energi sehingga
membuat manusia menjadi lebih kuat. Bunga itu
termasuk bunga langka yang regenerasinya sangat
lambat, ia membutuhkan berbagai faktor alam demi
untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.
183
Setelah mendapat apa yang mereka cari, akhirnya
kedua muda-mudi itu kembali pulang. Dalam
perjalanan, mereka terus bercakap-cakap sambil
sesekali menikmati panorama senja yang tampak
begitu indah. Pada saat yang sama, di kota pelajar
negeri zambrut katulistiwa. Beberapa penari tampak
gemulai membawakan cerita Ramayana, gerakannya
yang lemah lembut tampak begitu harmonis dengan
bunyi gamelan yang mengiringinya. Salah satu dari
penari itu adalah Lara, yang kini sudah semakin mahir
dengan berbagai gerakan yang mengikuti pakemnya.
Usai menari, gadis itu tampak berganti pakaian,
kemudian melangkah ke sebuah restoran yang tak
begitu jauh dari sanggar tarinya.
“Maaf ya kalau lama menunggu!” ucap gadis itu
kepada seorang pria yang dikenalnya di saat pesta
ulang tahun waktu itu.
“Tidak apa-apa, yang penting sekarang kan kita
sudah bertemu,” kata pria itu seraya bangkit dari
duduknya. “Dik Lara, bagaimana kau kita ngobrol di
sana saja!” ajak pria itu seraya melangkah bersama
184
menuju meja yang ada di sudut ruangan. Kini
keduanya sudah duduk di tempat itu dan segera
memesan makanan dan minuman. Tak lama
kemudian, keduanya sudah menikmati pesanan itu
sambil berbincang-bincang dengan penuh keakraban.
“Dik Lara... ternyata dugaanku benar kalau kau adalah
gadis yang sangat berbakat. Dulu ketika pertama kali
melihatmu menari, aku sudah yakin kalau kau akan
menjadi menari yang hebat. Karena itulah kini aku
memutuskan untuk mengajakmu bergabung dalam
sanggar tari yang kupimpin, yaitu sebuah sanggar tari
yang selama ini sudah melanglang buana hingga
keluar negeri. Nah, Dik Lara... maukah kau ikut
bergabung bersama kami?”
“Tentu saja aku mau, Pak. Sebetulnya hal inilah
yang selama ini begitu kuidam-idamkan, yaitu menjadi
seorang penari profesional.”
Lara dan orang yang baru dikenalnya itu terus
berbincang-bincang dengan penuh antusias.
185
Esok harinya di tengah hutan di sebuah negara
bagian Amerika Serikat, Bobby dan Li Qin sedang
duduk berdua di bawah rindangnya pohon besar yang
tumbuh di samping pondok. Pada saat itu di wajah
Bobby terlihat ekspresi kesedihan yang mendalam.
“Kak, sebenarnya apa yang ingin kau bicarakan?”
tanya Li Qin.
“Li Qin... ternyata hubungan cinta kita ini telah
membuatku sedih.”
“Aku sungguh tidak mengerti, Kak. Bukankah
selama ini kita selalu berbahagia?”
“Ya, kita selama ini kita memang senantiasa
bahagia, namun setelah kemarin kau mengungkapkan
keinginanmu. Aku pun jadi berpikir, dan akhirnya...”
Bobby terdiam. Pemuda itu kembali memikirkan
perihal yang telah membebani hatinya. Bagaimana
mungkin dia bisa menikahi gadis yang tak seiman
dengannya.
Padahal selama ini dia sudah begitu mencintainya
dan menganggap Li Qin sebagai embun pagi yang
senantiasa memberikan kehidupan bagi rumput yang
186
kekeringan. Sungguh selama ini Li Qin sudah
membuatnya hidup kembali dan memaknai kehidupan
ini dengan penuh arti.
“Kak! Sebenarnya apa yang kau pikirkan?” tanya
Li Qin tiba-tiba.
Bobby tidak segera menjawab, dia menatap Li Qin
dengan mata yang berkaca-kaca. “Sayang... aku
berharap kau bisa menerima ini!” ucapnya kemudian.
“Menerima apa, Kak?”
“Kenyataan pahit yang akan membuat hidup kita
bagai tanah tandus yang di atasnya tak mungkin lagi
tumbuh rumput hijau yang menyejukkan, indahnya
warna-warni bunga yang penuh keindahan, juga
keceriaan kumbang dan kupu-kupu yang senantiasa
menikmati manisnya sari bunga yang mekar.”
“Maksudmu?”
“Kita harus berpisah...”
Seketika air mata Li Qin meleleh, bola matanya
menatap dalam penuh makna. Seolah mengatakan
kalau ia begitu berat berpisah dan tak mungkin bisa
hidup bahagia tanpanya. Melihat itu Bobby tampak tak
187
kuasa, kemudian pemuda itu beranjak dari duduknya
dan memandang ke arah bukit.
“Kak... kenapa kita harus berpisah?” tanya Li Qin
terisak seraya ikut bangkit dan berdiri di samping
kekasihnya.
“Keyakinan kita. Nafas kehidupan yang tak mudah
untuk dikalahkan hanya oleh sebab hasrat dua hati
yang saling mencintai.
Li Qin... apakah kau rela menukar keyakinanmu
demi untuk keutuhan cinta kita?” tanya Bobby seraya
memandang mata gadis itu dalam-dalam.
“Tidak... itu tidak mungkin, Kak. Sebab,
keyakinanku itu adalah anugerah yang membuatku
tetap hidup, tanpanya aku bagai orang tersesat yang
tak tahu arah tujuan.
Terus terang, aku tidak yakin kalau keyakinanmu
itu bisa memberi petunjuk kepadaku untuk
menentukan arah hidupku.”
“Demikian juga aku, Li. Karenanyalah aku
memutuskan untuk berpisah denganmu. Lagi pula,
bukankah cinta itu tidak berarti harus memiliki, namun
188
sebenarnya ketulusan mencintai itulah yang
terpenting. Biarpun kau tidak menjadi milikmu, namun
aku akan senantiasa menyayangimu. Biarlah
keyakinan kita berbeda, namun kasih sayang kita tak
akan pernah luntur oleh hanya sebab perbedaan itu.”
Seketika Li Qin memeluk Bobby erat, dia
menangis tanpa berkata sepatah kata pun. Pada saat
yang sama Bobby tampak membelainya dengan
penuh kasih sayang, membesarkan hatinya agar
senantiasa kuat menerima kenyataan pahit yang
mereka hadapi. Tak lama kemudian Li Qin sudah
melepaskan pelukannya, kemudian menatap Bobby
dengan air mata yang terus berlinang.
“Kak... maafkan aku karena tidak bisa mengikuti
keyakinanmu!”
“Aku juga, Li. Maafkan aku karena telah
melibatkanmu dengan cinta yang tak seharusnya kita
jalani. Andai dari awal aku menyadari kalau akan
sesulit ini jadinya, tentu aku tidak akan melibatkanmu.”
Lagi-lagi Li Qin memeluk Bobby erat, dia kembali
menumpahkan kesedihannya yang mendalam dengan
189
terus menangis di bahu orang yang begitu dicintainya.
Pada saat itu Bobby tidak lagi mampu berkata-kata,
dia hanya bisa membelai sayang dengan mata
berlinang.
Kedua anak manusia itu terus larut dalam duka,
buah dari ikatan yang tak semestinya mereka jalani,
yang sebenarnya bisa dihindari jika dari awal mereka
mau mengamalkan jiwa kemanusiaan mereka yang
berakal.
Esok paginya, Bobby sudah siap pergi dengan
membawa bekal seadanya. Kini dia tampak
berpamitan dengan gurunya yang kini duduk di
beranda. Saat itu sang guru tampak sedih, namun
sebagai kakek yang bijaksana dia rela melepaskan
kepergian sang Murid yang kini baru mengusai
sebagian ilmunya.
Setelah berpamitan, Bobby tampak melangkah
bersama kekasihnya yang mengantar hingga ke
190
pekarangan. Tak lama kemudian, kedua anak
manusia itu saling berpelukan, lalu dari mata
keduanya tampak mengalir air mata perpisahan.
“Selamat tinggal, Sayang...!” ucap Bobby seraya
melepaskan pelukannya.
"O ya, Kak. Ini bola teka-tekimu.”
“Li, sebelum aku pergi, maukah kau mainkanlah
sebuah lagu untukku!”
“Tentu saja, Kak.”
Li Qin pun segera merangkai nada-nada yang
keluar dari bola teka-teki itu dengan baik sekali,
sehingga saat itu terdengarlah irama yang begitu
indah dan membahagiakan. Irama itu terdengar tidak
sedih namun juga tidak riang, irama yang saat itu
menggambarkan nuansa hatinya yang kini sudah bisa
merelakan kepergian kekasihnya.
Tiba-tiba TREK! TEK! Bola teka-teki itu terbelah
dua, dan di dalamnya terdapat selembar kulit hewan
yang bertuliskan sebuah pesan yang bisa
membahagiakan orang yang membacanya dengan
penuh penghayatan.
191
“Kau bisa membukanya, Li!” seru Bobby gembira.
“Ini pesan itu, Kak,” kata Li Qin seraya
menyerahkan pesan yang baru dibacanya.
Bobby lantas segera menanggapi dan
membacanya dengan penuh penghayatan. \
“Hmm... kini aku mengerti. Itulah makna cinta
yang sesungguhnya.”
“Kak, bisakah kau menjelaskannya padaku?”
“Tentu saja, Sayang...”
Bobby pun segera menjelaskan makna yang
terkandung di dalam pesan itu, hingga akhirnya Li Qin
bisa memahami dan membuat hatinya benar-benar
bahagia.
“Ternyata kita memang harus berpisah, Kak,” kata
gadis itu mengerti.
“Kau betul, Sayang...”
"O ya, Ini bolanya, Kak.”
“Simpan saja untukmu! Bukankah kau sangat
menyukainya. Lagi pula, aku kan sudah tahu isinya,
dan bola itu memang sangat pantas kau miliki karena
kau pandai memainkannya.”
192
“Terima kasih, Kak.” ucap Li Qin.
Bobby mengangguk. “Selamat tinggal Li...”
ucapnya seraya tersenyum.
“Selamat jalan, Kak...” balas Li Qin ikut tersenyum.
Sebuah ekspresi yang menandakan kalau dia pun
benar-benar sudah siap berpisah.
Pada saat itu, batin Bobby betul-betul terasa
ringan karena melihat Li Qin yang juga bisa
tersenyum¾pertanda kalau dia sudah betul-betul bisa
menerima perpisahan itu dengan tanpa beban
sedikitpun. Hingga akhirnya pemuda itu melangkah
meninggalkan orang yang begitu dicintainya. Bobby
terus melangkah dan melangkah. Dalam hati, pemuda
itu berdoa kepada Tuhan agar orang yang dicintainya
itu diberikan hidayah sehingga bisa meninggalkan
keyakinannya.
Sementara itu, Li Qin yang masih terus
memperhatikan kepergian orang yang dicintainya itu
juga berdoa kepada Tuhannya agar Bobby mau
meninggalkan keyakinannya. Begitulah cinta, yang
dengan kekuatannya telah membuat kedua anak
193
manusia itu mau saling mendoakan karena rasa
saling menyayangi.
194
Tujuh
eminggu kemudian, Bobby sudah kembali ke
Jakarta¾sebuah tempat di mana pertama
kalinya dia mengenal cinta. Sebuah perasaan yang
penuh misteri dan telah membuatnya hanyut di dalam
aliran cinta yang begitu dasyat. Terkadang
membuatnya bahagia, dan terkadang pula
membuatnya menderita. Pemuda itu menyesal karena
selama ini telah salah memperlakukan cinta sehingga
membuatnya sakit dan menderita.
Sesungguhnya cinta itu bagaikan candu yang bila
salah memperlakukannya bisa menghancurkan orang
yang memilikinya. Jika ia diperlakukan tanpa
tanggung jawab memang akan terasa nikmatnya,
bahkan sangat membahagiakan¾terasa melayang di
atas indahnya negeri impian. Namun sayangnya
semua itu hanya sementara, bahkan berbalik menjadi
sangat menyakitkan. Dan jika ia diperlakukan dengan
S
195
penuh tanggung jawab akan membawa kepada
manfaat yang akan menjadikan seseorang bisa terus
bertahan dalam menjalani kehidupan. Karena itulah,
Bobby pun bertekad untuk memperlakukan cinta
dengan penuh bijaksana demi untuk kebaikannya.
Jangan sampai dia salah dalam menangani cinta yang
bisa menyebabkan penderitaan, bahkan mungkin
kematian.
Cinta yang di dalamnya terdapat 1001 macam
teka-teki adalah sumber segala petaka dan
kebahagiaan di muka bumi ini. Oleh sebab itu cinta
bisa menimbulkan berbagai macam perasaan dan
prilaku yang baik maupun buruk, yaitu kedamaian,
kebahagiaan, kerinduan kegelisahan, kebencian,
pengkhianatan, kesetiaan, dan masih banyak lagi.
Lantas seketika Bobby kembali teringat dengan pesan
yang terdapat di dalam bola teka-teki.
Dari serpihan yang bertebaran, terangkai sudah
teka-teki kehidupan. Petunjuk Tuhan pada setiap
insan, untuk mengenal arti kehidupan. Hati yang
bersih membuka hati, menyangka Tuhan bermurah
196
hati. Zikir dan pikir sepanjang hari, cahaya Illahi
menerangi hati. Andai Insan mau mengerti, tentu
hidup akan berarti. Tak ada gundah di dalam hati,
sebab cinta Tuhan tak pernah mati.
Itulah cinta yang sesungguhnya, yang kini mulai
dipahami Bobby sebagai anugerah yang dikaruniakan
Tuhan kepadanya. Kini dia betul-betul menyadari
kalau cintanya kepada makhluk adalah atas dasar
cintanya kepada Tuhan, dan karenanyalah jangan
sampai dia mengulangi perbuatannya yang lampau,
yang mana telah menodai cintanya kepada Tuhan.
Betapa selama ini dia sudah merendahkan derajat
kemanusiaannya hingga setara hewan, dan perbuatan
itu sungguh sangat rendah di mata Tuhan sehingga
tak pantas baginya untuk mendapatkan cinta-Nya
yang tak pernah mati itu. Kini setelah semua
kekhilafannya yang disesali dengan sebenar-benarnya
menyesal, dan tekadnya yang kuat untuk tidak
mengulanginya lagi tentu Tuhan akan memaafkan dan
senantiasa mencintainya.
197
Kini pemuda itu sedang menuju ke rumah
sahabatnya yang bernama Randy. Begitu sampai di
tempat itu Bobby tampak kecewa, dia sama sekali
tidak menduga kalau Randy sedang berada di luar
negeri. “Emm... kalau begitu sebaiknya aku langsung
menemui Lara saja,” gumam Bobby seraya
melangkah pergi.
Seketika pemuda itu teringat kembali dengan
gadis yang dulu sangat dicintainya itu. Dan entah
kenapa, tiba-tiba saja perasaan itu hadir kembali.
Sungguh perasaan yang sama disaat mereka masih
bersatu, bahkan dia pun merasa kalau perpisahannya
dengan Lara belumlah lama. Namun setelah dia
kembali sadar kalau Lara itu pacar sahabatnya, lantas
dia pun berusaha kembali untuk meredam
perasaannya.
Setibanya di rumah Lara, lagi-lagi Bobby tampak
kecewa. Berita yang telah disampaikan oleh orang tua
Lara mengenai Lara yang kini tinggal di Yogya
membuatnya agak tidak bersemangat. Padahal dia
sudah begitu rindu dan ingin mencurahkan isi hatinya.
198
Hingga akhirnya, pemuda itu tampak melangkah
lunglai menuju ke sebuah taman. Lantas di tempat
itulah dia duduk menyendiri melamunkan ketiga
pujaan hatinya, yaitu Nina, Lara, dan Li Qin, yang
sudah sangat lekat di hati namun tak bisa dimiliki.
Sementara itu di kota yang berbeda, Lara terlihat
sedang membaca SMS yang diterimanya.
Lara aku begitu merindukanmu. Maaf kalau aku
baru bisa mengabarimu sekarang. Begini Ra. Lusa
aku sudah berada di tanah air. Dan aku harap kau
bisa datang ke Jakarta. Kabari aku jika kau sudah
berangkat, dan aku akan menjemputmu.
Begitulah bunyi SMS yang baru dibaca Lara.
Mengetahui itu, hati Lara pun senang bukan kepalang.
Dua hari lagi dia bertemu Randy, dan kerinduannya
selama ini tentu akan terlepaskan.
"Mmm... untung saja pagelaran tari itu bisa
diselenggarakan besok malam, sehingga aku masih
mempunyai waktu untuk mempersiapkan diri.“
199
Usai menyimpan HP-nya, gadis itu segera
berganti pakaian dan segera bergabung dengan
teman-temannya untuk latihan menari. Tak lama
kemudian, Lara dan teman-temannya sudah
memperlihatkan gerakan-gerakan gemulai yang
diiringi bunyi gamelan yang mengalun merdu. Pada
saat yang sama, sepasang mata pria tampak
memperhatikan Lara dengan mata hampir tak
berkedip. Gerakan-gerakan indah nan gemulai yang
dibawakan Lara terus berpadu dengan pikiran kotor
pria tadi sehingga membuatnya sesekali menelan air
liur. Dialah pria yang selama ini selalu mengamati
Lara ketika berlatih tari. Pria yang sepertinya sangat
menyukai Lara dan sangat terobsesi dengannya.
Sepulang latihan, Lara terlihat mengunjungi
sebuah tempat yang menjadi landmark kota
Yogyakarta. Di tempat itulah dia bertemu dengan
seorang pemuda yang selama ini dikenalnya baik,
dialah Rahman¾pemuda yang juga dikenalnya pada
pesta waktu itu.
200
“Lara, aku senang sekali kau mau memenuhi
undanganku.”
“Hmm... memangnya kau mau memberi kejutan
apa?”
“Nanti kau juga akan tahu,” kata pemuda itu
seraya tersenyum. “Kalau begitu, ayo kita pergi
sekarang!” Ajak pemuda itu kemudian.
Kini keduanya tampak melangkah menuju ke
sebuah restoran yang tak begitu jauh. Dan tak lama
kemudian, keduanya sudah duduk saling berhadapan.
Suasana restoran yang hening dan sangat kental
dengan ornamen jawa sungguh membuat keduanya
merasa nyaman. Di tempat itulah keduanya menikmati
santap malam sambil berbincang-bincang penuh
keakraban, hingga akhirnya Rahman pun mengatakan
maksud hatinya.
“Ra... sesungguhnya. A-aku mencintaimu,”
ungkap pemuda itu.
“Apa!” Lara tampak terkejut.
“A-aku mencintaimu, Ra. Be-bersediakah kau
menjadi pacarku?”
201
“Hmm... Jadi, ini kejutan yang Kakak maksudkan
itu?”
Rahman mengangguk.
“Kau berhasil, Kak. Aku memang sudah begitu
terkejut. Tapi, maaf! Aku tidak bisa menerima
cintamu. Sebab, aku sudah mempunyai kekasih yang
begitu kucintai, dan lusa kami akan bertemu. Sekali
lagi aku minta maaf, Kak? Aku betul-betul tidak bisa
menerima cintamu, namun begitu aku sangat
menghargai isi hatimu itu.”
“Tapi, Ra. Kenapa selama ini kau seperti memberi
respon padaku? Kenapa selama ini kau begitu baik
dan sangat perhatian padaku?”
“Itu kulakukan karena aku menganggapmu
sebagai seorang sahabat yang baik, Kak. Tidak lebih
dari itu. Maaf kan aku, Kak! Aku betul-betul menyesal
karena sudah membuatmu salah tanggap!”
“Tidak apa-apa, Ra. Aku bisa mengerti. Selama ini
aku memang sudah terlalu ke-GR-an, kupikir
perhatian dan kebaikanmu itu karena kau
mencintaiku. Namun ternyata, semua itu hanya
202
karena kau menganggapku sebagai sahabat yang
baik.”
Saat itu di dalam hatinya, Lara betul-betul
menyesal karena sudah membuat pemuda itu
mencintainya, “Kak Rahman… Aku betul-betul merasa
berdosa. Maafkanlah aku karena selama ini sudah
memanfaatkanmu untuk kepentinganku sendiri.
Semua itu terpaksa kulakukan karena aku
membutuhkan sosok yang bisa menggantikan peran
Randy untuk sementara. Semenjak kepergiannya aku
sering kesepian, dan karenanyalah aku membutuhkan
seseorang yang setiap saat bisa memberikan
perhatian padaku, juga menjadi tempat curahan
hatiku.
Aku ini memang gadis yang jahat, dan karena
ulahku itu tentu sudah membuat hatimu hancur.
Padahal, selama ini kau sudah begitu baik padaku.
Namun, aku membalasnya dengan menyakitimu.
Andai dari awal aku sudah menegaskan kalau aku
sudah mempunyai kekasih dan bersedia menjadi
sahabat yang baik untukmu mungkin akan lain
203
ceritanya. Tapi... aku memang tidak mempunyai
pilihan lain, dan semua itu karena sebab ketakutanku
akan pengkhianatan Randy, yang mana jika hal itu
terjadi kaulah pemuda yang akan menggantikannya.“
“Ra, kau kenapa?” tanya Rahman membuyarkan
renungan Lara.
“Eng, tidak. Aku hanya merasa tidak enak karena
sudah membuatmu patah hati.”
“Sudahlah, Ra! Aku bisa menerima keputusanmu
itu kok. Jujur saja, hatiku memang pilu. Namun, demi
kebahagiaanmu aku rela menerima kenyataan ini.”
“Sungguh!”
Rahman mengangguk. “Eng... bagaimana kalau
sekarang kau kuantar pulang.”
Lara setuju, saat itu dia benar-benar bangga
dengan Rahman yang menurutnya pemuda yang
berjiwa besar dan sangat pengertian. Andai dia bukan
kekasih Randy, tentu dia tidak akan menolak cinta
pemuda yang menurutnya sangat baik itu.
204
Dua hari kemudian di stasiun Gambir, seorang
gadis tampak berdiri sambil celingukan. Kedua
matanya tampak awas memperhatikan mobil-mobil
yang keluar-masuk parkiran, dan sesekali juga
memperhatikan orang-orang yang berlalu-lalang di
sekitar tempatnya berdiri. Berkali-kali tiupan angin
sepoi-sepoi menerpa rambutnya, dan berkali-kali pula
gadis itu menyingkap rambut yang sempat menutupi
pandangannya. Kini gadis tampak tertunduk,
hembusan nafas panjang yang baru dikeluarkannya
menandakan kalau ia sudah begitu jenuh dan kecewa.
“Hmm... kenapa dia belum datang juga, apa dia lupa
untuk menjemputku?” tanya gadis itu resah.
Kini gadis itu kembali memperhatikan sekitarnya
dan sambil terus berharap agar orang yang
ditunggunya itu segera datang. Namun setelah sekian
lama menunggu, ternyata orang yang ditunggunya itu
tak kunjung datang. “Hmm, baiklah... Jika lima menit
lagi dia belum juga datang, terpaksa aku pulang
sendiri,“ kata gadis itu mengambil keputusan.
205
Jarum jam terus berputar, dan satu menit sungguh
terasa begitu lama. Hingga akhirnya kesabaran Lara
pun habis, dan ketika dia hendak menaiki taksi tibatiba.
“Non Lara!” teriak seorang memanggil. Seketika
itu juga Lara menoleh ke asal suara, saat itu dia
melihat seorang pemuda tengah berlari
menghampirinya. “Mmm... siapa pria itu?” tanya Lara
dalam hati.
“Maaf Non, Lara. Pak Randy meminta saya untuk
menjemput anda. Ayo, mari ikut saya ke mobil!” ajak
pria itu yang mengaku sebagai orang suruhan Randy.
“Sebentar, Pak. Ngomong-ngomong, kenapa tidak
dia sendiri yang menjemput saya?”
“Pak, Randy sedang ada pertemuan penting,
Non.”
"O… Kalau begitu mari!”
Lantas Lara pun berjalan mengikuti pria itu, dan
ketika dia memasuki mobil dilihatnya beberapa pria
yang tidak dikenalnya duduk di jok belakang. “Siapa
mereka?” tanya Lara heran seraya duduk di atas jok
yang dilapisi kulit berkualitas tinggi.
206
“Mereka juga orang-orangnya Pak Randy, Non.“
“Hmm... ini benar-benar aneh. Sejak kapan Randy
jadi seperti mafia begini? Apa mungkin sekarang ini
dia sudah begitu sukses sehingga mengharuskannya
bertindak seperti ini? Sebab, kata temanku persaingan
bisnis itu sangat tidak sehat. Orang bisa melakukan
apa saja demi untuk menyingkirkan pesaingnya.
Hmm.. jika benar demikian, apakah Randy sudah
kembali menjalani bisnis dengan cara tidak sehat,
yaitu karena terpengaruh oleh para mafia di Barat,”
duga Lara dalam hati.
Tak lama kemudian, mobil itu sudah
meninggalkan pelataran parkir. Pada saat yang sama,
sebuah mobil terlihat baru saja memasuki tempat itu.
Kini pengemudinya yang ternyata seorang pemuda
berwajah tampan tampak melangkah ke pintu masuk
dengan terengah-engah. Kemudian dia tampak
celingukan mencari-cari seseorang. “Aduh... di mana
ya dia? Apa mungkin dia sudah pergi?” tanyanya
sambil terus celingukan mencari-cari.
207
Kini pemuda itu sudah kembali ke mobil dan
segera menyusuri jalan yang menuju ke arah
rumahnya. “Hmm... Naik apa ya dia?” tanyanya lagi.
Sesekali matanya tampak menatap tajam ke setiap
mobil yang dilihatnya, berharap akan melihat gadis
yang sedang dicarinya.
Sambil terus mencari-cari, pemuda itu tampak
membatin. “Duhai Laraku sayang... selama di luar
negeri aku selalu merindukanmu, dan aku sangat
mendambakan hangatnya pelukanmu, juga ciuman
mesramu. Aku yakin, kau pun merasakan hal serupa.
Karenanyalah aku memutuskan untuk segera pulang
ke tanah air dan akan menikahimu secepatnya. Terus
terang, selama ini aku sungguh merasa berdosa
karena telah melibatkanmu dengan perbuatan yang
dilarang agama, dan semua itu karena kebodohanku
yang belum mengerti betul ajaran agama yang
sebenarnya. Untunglah selama di luar negeri aku
sempat belajar banyak mengenai agama dari seorang
ustad yang tinggal di sana, dan karenanyalah kini aku
lebih mengerti perihal cinta yang sebenarnya. Kini aku
208
sudah bertobat dan tidak akan mengulangi perbuatan
dosa itu lagi bersamamu, dan karenanyalah kini aku
ingin merubah status hubungan kita itu dengan ikatan
yang diridhai Tuhan.”
Mendadak mata pemuda itu tertuju pada sebuah
mobil yang kini sedang berhenti di depan lampu
merah, saat itu dilihatnya seorang gadis tampak
sedang meronta-ronta. “Lara!!!” teriaknya ketika
menyadari kalau gadis itu adalah Lara.
Lalu dengan segera pemuda itu bergegas turun
dan menghampirinya, “Lepaskan dia!!!” teriaknya
lantang.
Keempat pemuda yang berada di dalam mobil
bersama-sama menatapnya, kemudian salah seorang
dari mereka tampak menghampiri. “Siapa kau?
Beraninya mau memerintahkan kami. Jangan sok
menjadi pahlawan bung!” katanya dengan suara
lantang.
“Dia itu kekasihku, dan aku tidak akan tinggal
diam melihat orang yang kucintai diperlakukan begitu,”
209
kata Randy yang saat itu betul-betul geram ketika
melihat kekasihnya tampak sedang dibekap.
“Hahaha... rupanya orang ini pacarnya, dan dia
mau berlagak seperti pangeran yang mau melindungi
sang Putri, hahaha...!” kata pemuda itu kepada tiga
rekannya. “Ayo kita habisi dia,” sambungnya
kemudian.
Lalu dengan serta-merta ke empat pemuda itu
turun dari mobil dan segera mengeroyok Randy. Saat
itu Randy berusaha melawan dengan sekuat tenaga,
namun pemuda itu tampak kewalahan lantaran jumlah
yang tak seimbang. Sementara itu, Lara sedang
berusaha melepas ikatan yang membelenggunya.
Dan setelah bersusah payah, akhirnya dia berhasil
juga membebaskan diri. Kini gadis itu tengah berlari
untuk meminta bantuan. Dan setelah agak lama, dia
sudah kembali bersama beberapa orang satpam.
Betapa terkejutnya gadis itu ketika mengetahui
kekasihnya tampak sudah terkapar, dan keempat
pemuda yang mengeroyoknya tadi tampak sudah
pergi entah ke mana. Lalu dengan segera gadis itu
210
menghampiri Randy dan memeriksa keadaannya.
“Apa ini? Oh tidak.... Randy...!” pekiknya ketika
melihat darah tampak mengalir dari ulu hati
kekasihnya.
Seketika Lara langsung mendekap tubuh Randy
yang terkulai tak bernyawa, kemudian berteriak
histeris dan menangis sejadi-jadinya. Sungguh dia tak
kuasa melepas kepergian kekasihnya itu. Derai air
matanya pun terus mengalir bersamaan dengan isak
tangisnya yang terdengar begitu lirih. Saat itu di
sekelilingnya sudah banyak orang berkumpul,
menyaksikan pemandangan yang sangat memilukan
itu.
Seminggu kemudian, di malam yang dingin di
sekitar area pertokoan yang tampak sepi. Seorang
gadis terlihat berlari dengan terengah-engah melewati
deretan toko yang sudah tutup.
211
“Kejar terus jangan sampai lepas!” Teriak seorang
pria yang berniat jahat sambil terus mengejar
buruannya yang ternyata Lara.
Saat itu Lara terus berlari dan berlari, sesekali dia
terjatuh di atas trotoar. Rasa sakit tak dihiraukannya,
dia selalu segera bangkit dan berlari kembali. Belum
jauh dia berlari, mendadak dia kembali terjatuh,
namun kali ini dia tak kuasa untuk berdiri. Rupanya
dia sudah sangat kelelahan, dan akhirnya dia pun
hanya bisa pasrah ketika keempat penjahat yang
mengejarnya kian bertambah dekat.
“Hahaha...! Sekarang kau sudah tidak berlari lagi
gadis manis... Ayolah! Kalau kau tidak melawan, kami
akan bersikap baik padamu.”
Lara meronta ketika para pria itu memaksanya
ikut. Bersamaan dengan itu tiba-tiba, “Lepaskan dia!”
teriak seorang pemuda yang tiba-tiba sudah berdiri di
tempat itu. Wajah pemuda itu tak kelihatan jelas, dia
mengenakan ponco yang menutupi kepalanya dan
sebagian rambut yang menutupi wajahnya.
“Siapa kau?”
212
“Kau tidak perlu tahu siapa aku, sekarang
lepaskan gadis itu, dan biarkan dia pergi!”
“Enak saja! Memangnya kau ini siapa, hah?”
Lantas keempat penjahat itu segera menyerang
orang tersebut, namun orang yang tak jelas wajahnya
itu tampak melayaninya dengan jurus-jurus yang
tampak begitu hebat. Keempat penjahat itu pun
tampak kewalahan dan sepertinya mereka memang
tidak mungkin bisa mengalahkannya.
Kini keempat penjahat itu tampak menggunakan
senjata tajam dan kembali menyerang dengan
membabi-buta. Orang yang tak jelas wajahnya itu
kembali melayani serangan itu, gerakannya pun
tampak lincah dan begitu mahir menghindari setiap
tikaman yang mengarah ke dirinya. Hingga akhirnya
Orang yang tak jelas wajahnya itu balas menyerang,
dan tak lama kemudian dia sudah berhasil membuat
keempat penjahat itu tak berdaya.
Kini pemuda itu menoleh ke tempat Lara berada,
“Hmm… di mana dia? Apa mungkin dia sudah pergi
ketika aku melawan mereka tadi?” duga pemuda itu
213
seraya melangkah meninggalkan keempat penjahat
yang masih terkapar tak berdaya, dia terus berjalan
menyusuri gelapnya malam dan akhirnya menghilang
di balik pertokoan. Sementara itu di sebuah jalan yang
sepi, Lara tampak melangkah dengan gontai. “Huff…!
Syukurlah Tuhan masih melindungiku dengan
kehadiran pemuda tadi. Kalau tidak pasti aku sudah
celaka,” ucapnya sambil terus melangkah. Hingga
akhirnya gadis itu melihat sebuah taksi dan langsung
menumpanginya.
Setibanya di rumah, gadis itu langsung bersihbersih
dan merebahkan diri di tempat tidur. “Hmm...
siapa sebenarnya para penjahat itu, kenapa mereka
begitu menginginkan aku. Apa mungkin dia itu.... Ah,
sudahlah... Masa iya hanya karena keinginannya
kutolak terus dia mengejarku sampai seperti itu,
sepertinya dia tidak bisa mendapatkan gadis yang lain
saja. Tapi... jika dia memang sudah sangat
mencintaiku dan sudah terobsesi untuk
mendapatkanku, bisa saja dia melakukannya. ”
214
Lara terus memikirkan pria yang diduga telah
menjadi dalang semua perkara yang menimpanya.
Gadis itu betul-betul tidak habis pikir, hanya karena
sebab penolakannya dia bisa menjadi sekejam itu.
215
Delapan
i sebuah stasiun kereta api, seorang gadis
tampak melangkah dengan tergesa-gesa.
Sesekali dia terlihat mengelap peluh yang mengalir di
keningnya, dan sesekali dia tampak membetulkan
posisi pegangan tangan pada koper besar yang
dijinjingnya. Ketika gadis itu hendak melewati pintu
keluar, tiba-tiba gadis itu dihadang oleh seorang
pemuda berperawakan tegap.
“Si-siapa kau? Ke-kenapa kau menghalangi
jalanku?” tanya Lara tergagap, menduga orang itu
mau berbuat jahat padanya.
“Lara... masa kau lupa dengan suaraku,” kata
orang itu pelan.
“Ka-kau mengenalku. Si-siapa kau sebenarnya?
Ma-maaf jika aku benar-benar lupa!”
“Ini aku, Lara. Bobby...”
D
216
Mengetahui itu, Lara langsung terkejut. “Ka-Kak
Bobby! Be-benarkah kau Kak Bobby...?” tanyanya
seakan tak percaya.
“Iya, Ra. Ini memang aku.” Saat itu Bobby
langsung membuka ponconya dan menyingkap
rambut yang menutupi sebagian wajahnya.
“Kak Bobby...” kata Lara tak berkedip memandang
wajah tampan yang selama ini begitu dirindukan. “Kekenapa
kau menyembunyikan wajahmu, Kak?”
tanyanya kemudian.
“Lihat ini,” kata Bobby seraya memberikan
selebaran yang didapatnya di jalan.
Lara pun segera menanggapi selebaran itu dan
memperhatikan foto-foto yang terpampang di
dalamnya. “Ja-jadi... ka-kau seorang ‘teroris’?” tanya
Lara terbata ketika mengetahui kalau salah satu foto
yang ada di selebaran itu adalah Bobby.
“Tidak, Ra. Aku tidak seperti yang kau duga,”
jawab Bobby mencoba meluruskan.
Lara kembali memandang Bobby, kemudian dia
menatap mata pemuda itu dalam-dalam. “La-lalu...
217
kenapa gambarmu bisa ada di selebaran ini?” tanya
gadis itu penuh kebingungan.
“Ceritanya panjang, Ra. Waktu itu...” tiba-tiba
Bobby terdiam. Saat itu dia tampak serius
memperhatikan empat orang pria yang sedang
berjalan di peron. “Lihat di sana! Bukankah mereka
yang mengejarmu waktu itu?”
Lara pun segera menoleh memperhatikan apa
yang dikatakan Bobby, “Be-benar, Kak. Merekalah
orangnya,” ungkap Lara setengah terkejut. “Memerekalah
orang-orang yang telah membunuh Kak
Randy,” ungkapnya lagi sambil terus memperhatikan
para penjahat yang sudah berada di dalam kereta
yang mulai melaju.
Mengetahui itu Bobby tampak terkejut, “A-apa! Jajadi
Randy...” Pemuda itu tak kuasa menyelesaikan
kalimatnya, saat itu dia hanya bisa tertunduk dengan
penuh kesedihan.
Saat itu, Lara pun ikut sedih. Kemudian dengan
berlinang air mata, gadis itu segera menceritakan
semua kejadian yang memilukan itu.
218
“Kurang ajar! Kalau saja kutahu mereka yang
membunuh Randy, tentu kemarin malam aku sudah
menghabisi semuanya,” kata Bobby geram.
“Ja-jadi, yang menghajar mereka kemarin itu kau,
Kak?” tanya Lara hampir tak mempercayainya.
“Iya, Ra. Itu memang aku.”
“Ka-kalau begitu maafkan aku, Kak...! Kalau saja
aku tahu, tentu aku tidak akan meninggalkanmu.”
“Sudahlah, Ra! Aku bisa mengerti kok.”
“Kak... Terima kasih karena kau sudah
menyelamatkan aku. O ya, sebetulnya aku sedang
mencarimu. Ketahuilah! Setelah kepergian Randy, aku
merasa betul-betul kesepian. Kini hanya kaulah yang
bisa meredam rasa kesepianku itu,” ungkap Lara
mengenai perasaannya setelah ditinggal pergi oleh
kekasihnya.
“Aku juga, Ra. Sebetulnya semenjak malam itu
aku benar-benar kehilanganmu dan merasa begitu
kesepian.”
“A-apa maksud perkataanmu itu, Kak?”
219
“Aku bohong kalau aku tidak mencintaimu, dan
aku melakukan semua itu demi sahabatku. Kalau kau
mau tahu, sebenarnya aku sangat mencintaimu, dan
saat itu aku benar-benar kehilanganmu. Sejak itu
hidupku begitu sepi, siang dan malam aku selalu
merindukanmu. Hingga akhirnya aku bisa meredam
kesepianku itu, yaitu setelah perjumpaanku dengan
seorang gadis yang telah begitu tulus merawatku, dan
karenanyalah akhirnya aku pun mencintainya. Namun
karena perbedaan keyakinan, akhirnya kami berpisah.
Kini yang menjadi harapanku cuma kau Lara. Kaulah
satu-satunya gadis yang kucintai sebagai kekasih dan
bisa mengobati kesepianku... Lara, kini cintaku hanya
untukmu.”
“Benarkah...?” tanya Lara dengan air mata
mengembang.
Bobby mengangguk, dan tatapan matanya pun
mengisyaratkan hal itu. Mengetahui itu, air mata Lara
tiba-tiba berderai bahagia. Kini dia kembali teringat
dengan goresan yang dibuat Bobby di pohon, ciuman
hangat yang tak pernah dilupakan, dan juga ukiran
220
kata-kata cinta pada cincin perak yang dibuatkan
untuknya. Kini dia kembali yakin kalau semua itu
memang telah dilakukan Bobby sebagai tanda
cintanya yang tulus. “Oh, Kak... aku benar-benar tidak
mengerti. Kenapa saat itu kau bisa mengambil
keputusan itu¾mengorbankan perasaanmu yang
begitu mencintaiku hanya demi sahabatmu?”
“Randy itu sahabat yang baik, Ra. Aku pernah
berhutang nyawa padanya. Karenanyalah aku tidak
mau membuat dia menderita, aku tidak mau
berbahagia di atas penderitaannya¾di atas
penderitaan orang yang hampir mengorbankan
nyawanya sendiri demi untuk menyelamatkanku. Lagi
pula, aku yakin sekali kalau sahabatku itu akan
membahagiakanmu, sebab dia itu betul-betul
mencintaimu. Dan karenanyalah aku terpaksa
memutuskanmu demi kebahagiaan kalian berdua.
Lara... katakanlah sejujurnya! Apakah kau merasa
bahagia saat bersamanya?“
“Iya, Kak. Walaupun pada mulanya aku merasa
menderita karena harus berpisah denganmu, namun
221
pada akhirnya aku bisa bahagia karena Randy telah
memberikan sebuah harapan baru yang membuatku
menjadi sangat mencintainya. Saat itu pun aku
memaknai perpisahan kita itu sebagai sebuah karunia
yang diberikan Tuhan kepadaku. Aku merasa Tuhan
memisahkan kita karena kau memang bukan pria
yang tepat untukku. Sebab, pria yang baik hanya
untuk wanita yang baik, dan pria yang masih suci
hanya untuk wanita yang masih suci.”
“Ra, apa maksud perkataan terakhirmu itu?”
“Maaf, Kak. Kau itu memang pemuda yang baik,
tapi bukankah kau sudah tidak suci lagi.”
“A-apa??? Aku sudah tidak suci lagi? Kenapa kau
bisa mendugaku begitu?”
“Eng.. bukankah malam itu, di saat kau dan Nina
jadian, kalian pergi ke hotel dan....”
“Cukup, Ra! Kini aku mengerti. Kau sudah
menduga aku dan Nina telah berbuat yang tidak-tidak.
Iya kan?”
Lara mengangguk.
222
“Kau salah, Ra. Sebenarnya waktu itu kami pergi
ke hotel bukan untuk itu, namun untuk...” Bobby pun
segera menceritakan kejadian malam itu.
"O, jadi begitu,” kata Lara mengerti bahwa waktu
itu Bobby dan Nina pergi ke hotel bukanlah untuk
berbuat yang tidak-tidak.
Sebenarnya pada malam itu, Bobby pergi ke hotel
untuk memenuhi undangan Randy yang sangat
mendadak. Malam itu, setibanya di hotel Bobby
langsung menghubungi sahabatnya dan
memberitahukan kalau dia sudah tiba di hotel
bersama Nina. “Iya.. iya... lima belas menit lagi aku
sampai di tempat tujuan. Sudah ya, sampai bertemu
nanti!” ucap Randy mengakhiri pembicaraan.
Lima belas menit kemudian, Randy sudah tiba di
tempat itu dan langsung menemui mereka. “Hi, Bob,
Nin... Apa kabar!” sapa pemuda itu.
“Baik!” jawab Bobby dan Nina serempak.
“Tunggu sebentar ya! Aku mau menghubungi
temanku itu di kamarnya,” kata pemuda itu seraya
duduk di sebelah Bobby.
223
Randy pun segera menghubungi temannya, dan
setelah itu dia kembali berbincang-bincang dengan
Bobby dan Nina. “Untung saja kau bisa kemari, Bob.
Sebab kalau tidak, tentu kita bisa kehilangan
kesempatan emas. Soalnya proyek ini betul-betul
bersih, dan kau tidak perlu khawatir akan terlibat
dalam dosa.”
“Ya mungkin ini memang sudah rezekiku, Ran. O
ya, Ran... ngomong-ngomong, tadi kulihat HP-mu
pakai pelindung juga.”
“Betul, Bob. Sebenarnya aku mengetahui tentang
pelindung ini sudah sejak lama, namun aku baru
menyadari kalau dampak radiasi HP itu ternyata
memang sangat berbahaya. Karenanyalah, mau tidak
mau aku pun memang harus memakainya.”
“Ketika dalam perjalanan kemari, aku pun sempat
membicarakan masalah itu dengan Nina. Dan
sekarang ini aku pun merasa perlu untuk
memakainya.”
224
Mereka terus berbincang-bincang, hingga akhirnya
teman Randy datang menemui mereka. “Hallo, Pak
Randy. Maaf kalau lama menunggu!”
“Sama sekali tidak, Pak,” kata Randy seraya
tersenyum. "O ya, Pak. Kenalkan, ini Pak
Bobby¾arsitek yang akan mengerjakan proyek kita
itu.”
“Apa kabar, Pak Bobby?” tanya teman bisnis
Randy.
“Baik, Pak,” jawab Bobby singkat.
"O ya, Pak Bobby. Ngomong-ngomong, apa benar
kau yang mengerjakan gedung besar yang terkenal
itu. Soalnya kata Pak Randy kaulah yang
mengerjakannya, dan setelah itu kau hanya
mengerjakan proyek-proyek kecil karena suatu
sebab.”
“Betul Pak,” kata Bobby seraya menjelaskan
alasannya.
Dan setelah saling berkenalan, mereka pun
melanjutkan perbincangan di sebuah cafe yang cukup
nyaman. Hingga akhirnya mereka sepakat untuk
225
membina kerja sama dalam mengerjakan proyek
besar yang bernilai trilyunan rupiah. Namun
sayangnya ternyata proyek itu cuma fiktif belaka, dan
pada saat itu Bobby dan Randy adalah orang-orang
yang diperalat untuk mengelabui para investor.
Karenanyalah, ketika keduanya berada di puncak
waktu itu mereka langsung dibekuk polisi dan akhirnya
dibebaskan karena mereka memang tidak bersalah.
Sebab, mereka itu juga korban yang diperalat oleh
orang-orang yang tidak bertanggung jawab itu. Para
pelaku proyek fiktif itu berhasil ditangkap disaat
melakukan transaksi penukaran dollar di dealing room
sebuah bank di Jakarta, yaitu sebelum proses over
booking kedua rekening on screen.
"O ya, Ra. Ngomong-ngomong, kenapa ketika kau
tahu tentang perihal keberadaan kami di hotel, kau
tidak berusaha untuk mencari tahu lebih jauh?”
“Tidak sempat, Kak. Apa lagi setelah Nina tiada,
bukankah tidak baik membicarakan keburukan orang
yang sudah meninggal. Karenanyalah sejak itu aku
tidak pernah membicarakannya kepadamu maupun
226
kepada Randy. Kini aku betul-betul menyesal karena
sering berprasangka buruk, dan karena hal itu pula
yang membuatku sering gelisah.”
Mendengar jawaban itu, Bobby jadi berpikir. Kalau
setiap keburukan yang dilakukan seseorang adalah
jalan untuk mengerti akan arti kehidupan, yaitu
dimana keburukan dijadikan bahan renungan
sehingga pelakunya tak mengulanginya lagi, maka
budinya pun tentu akan menjadi lebih baik dari
sebelumnya.
“Ra, aku sangat mencintaimu. Maukah kau
menikah denganku?” tanya Bobby tiba-tiba.
Mendengar itu, Lara seketika terkejut. Sungguh
dia tidak menyangka kalau pemuda itu melamarnya
dengan mendadak seperti itu. “Kak, tidakkah ini terlalu
cepat?”
“Tidak, Ra. Aku ingin cepat menikahimu karena
aku tak mau menodai lagi cinta kita yang suci ini
dengan hal-hal yang rendah¾seperti yang pernah kita
lakukan selama pacaran dulu¾bermesraan di luar
ikatan yang sakral. Kini aku sudah lebih mengerti akan
227
arti cinta yang sesungguhnya, yaitu cintaku kepadamu
atas dasar cintaku kepada Tuhan. Karenanyalah,
bagaimana mungkin aku mau menodai cinta itu
dengan hal-hal yang tidak Tuhan kehendaki. Lagi
pula, hanya dengan cara inilah aku bisa lebih meyakini
kalau kau memang betul-betul mencintaiku. Sebab,
aku mempercayai kalau pernikahan itu adalah suatu
yang sakral dan mempunyai nilai ibadah. Dan jika
pernikahan itu hanya dibuat main-main, maka
pelakunya akan mendapat hukuman dari Tuhan.“
Bobby pun melanjutkan dengan menjelaskan kedua
itu lebih detail lagi, sehingga Lara pun bisa
memahaminya. Dan akhirnya dia mau menerima
lamaran Bobby dengan penuh keikhlasan.
Esok harinya, sepulang mengambil uang deposito
yang kebetulan sudah jatuh tempo, Bobby langsung
mengontrak sebuah rumah yang cukup besar.
Berlokasi di sebuah pemukiman elit yang jauh dari
228
keramaian. Di tempat itulah dia berniat untuk
membina rumah tangga bersama Lara¾cinta
sejatinya yang sempat dia tinggalkan. Kini pemuda itu
dan kekasihnya tampak berbincang-bincang perihal
rencana pernikahan mereka.
“Bagaimana ini, Kak? Tampaknya orang tuaku
tidak merestui pernikahan kita. Kata mereka, tidak
sepantasnya aku menikahi seorang ‘teroris’. Dan
mereka pun tidak mau mempunyai menantu yang
sudah membunuh banyak orang.”
“Mmm... apa kau sudah menjelaskan kalau aku ini
tidak terlibat?”
“Sudah, Kak. Namun, tetap saja mereka tidak
percaya. Kata mereka, jika kau memang tidak terlibat
kenapa tidak menyerahkan diri ke polisi.”
“Itu kan tidak mungkin, Ra. Bukti mengenai
keberadaanku di dalam van waktu itu sulit untuk
dibantah. Andai waktu itu kamera polisi tidak
menangkap gambarku mungkin akan lain ceritanya.”
“Hmm... kalau begitu, bagaimana kalau Kakak
sendiri saja yang menjelaskan kepada orang tuaku.
229
Mungkin dengan begitu, mereka akan
percaya¾seperti halnya aku mempercayaimu karena
didukung oleh bahasa tubuhmu yang kupercaya tidak
mungkin berbohong.”
“Tapi, Ra. Bagaimana jika mereka justru
melaporkan aku kepada pihak berwajib?”
“Aku akan mengancam mereka. Jika sampai
mereka melakukan hal itu, aku akan minggat, atau
kalau perlu aku akan bunuh diri.”
“Laraku sayang... itu cuma ancamanmu saja kan?
Dan kau tidak akan melakukan itu kan?”
“Tentu saja, Kak. Itu hanya ancaman saja.”
“Mmm... bagaimana jika orang tuamu berpikiran
itu hanya ancaman saja, dan mereka pun tetap
melaporkan aku?”
“Entahlah... aku tidak tahu.”
“Mmm... Kalau beitu baiklah... aku akan menemui
kedua orang tuamu dan menjelaskan semuanya.
Andai mereka mengadukan aku, aku akan
menerimanya sebagai takdir yang harus kujalani. Ini
memang berat, namun demi untuk menegakkan
230
kebenaran aku siap menerima apa pun yang bakal
terjadi.”
“Eng, bagaimana kalau kita menikah dengan Wali
Hakim saja, Kak?”
“Tidak, Ra. Ayahmu masih ada. Dan selama
beliau tidak merestui dengan alasan yang dibenarkan
oleh agama kita tidak mungkin bisa menikah.”
“Eng… Apa menurutmu, sekarang ini ayahku tidak
merestui kita dibenarkan oleh agama?”
“Tentu saja. Bukankah beliau tidak merestui kita
karena aku ini dianggap seorang ‘teroris’. Dan jika
beliau memang mempunyai keyakinan kalau ‘teroris’
itu merupakan perbuatan yang melanggar ajaran
agama, tentulah tindakannya itu tepat. Andai beliau
mempercayai kalau aku bukan ‘teroris’ tentulah beliau
akan merestuinya. Dan langkah terbaik yang memang
harus aku lakukan adalah berusaha meyakinkan
ayahmu, kalau aku ini bukanlah pria yang seperti
diberitakan selama ini.”
Akhirnya sepasang kekasih itu sepakat untuk
menemui kedua orang tua Lara. Sebab, saat ini
231
mereka memang sudah tidak mempunyai alternatif
lain, dan mengenai apa pun yang akan terjadi mereka
serahkan kepada Tuhan, karena sebaik-baiknya
tempat berserah diri adalah kepada-Nya.
Seminggu kemudian, setelah Bobby dan Lara
berusaha dengan gigih untuk meyakinkan kedua
orang tua Lara, kalau Bobby bukanlah ‘teroris’ seperti
yang diberitakan selama ini, akhirnya keduanya
direstui untuk menikah. Pernikahan itu pun
diselenggarakan dengan sangat sederhana karena
ada kekhawatiran Bobby akan dikenali banyak orang.
Saat itu pun Bobby sempat berjanji kepada kedua
orang tua Lara, Jika kelak ia mempunyai bukti bahwa
keterlibatannya dengan ‘teroris’ bukankah karena
keinginannya, namun karena saat itu dia berada pada
waktu dan tempat salah, maka ia pasti akan
menyerahkan diri dan menyerahkan semua
perkaranya kepada hukum. Maklumlah, undang232
undang mengenai teroris masih belum sempurna,
sehingga siapa pun yang mempunyai teman ‘teroris’
bisa dituduh sebagai ‘teroris’, walau pun sebenarnya
ia sendiri tidak tahu kalau temannya itu merupakan
seorang ‘teroris’. Karenanyalah ia harus mendapatkan
bukti itu agar luput dari tuduhan, dan namanya pun
bisa dibersihkan.
Hingga saat ini Bobby masih tetap mempunyai
keyakinan kalau memperjuangkan keadilan itu masih
bisa dilakukan dengan cara-cara yang lebih santun,
karena agama yang diyakininya memang
menganjurkannya demikian. Namun sebagai manusia
yang tidak tahu apa-apa, Bobby berusaha untuk tidak
menghakimi siapa pun. Sebab, dia menyadari betul
kalau setiap perjuangan yang dilandasi oleh keyakinan
yang kuat merupakan jalan untuk mencari kebenaran
yang hakiki. Dan perbedaan cara
memperjuangkannya bisa jadi berbeda tergantung
dari pemahaman agama dan sudut pandang orang
yang mencari kebenaran itu. Karena itulah, tidak
mustahil kalau seorang ‘teroris’ hanyalah sebagai
233
korban dari pemikiran yang keliru. Kini semuanya
dikembalikan kepada Tuhan yang Maha Tahu
segalanya, karena memang Tuhanlah yang paling
berhak menghakimi benar salahnya seseorang.
Apalagi sekarang, dimana perang ideologi masih
terus berlangsung. Dimana setiap manusia yang
beragama merasa berkewajiban untuk menyampaikan
kebenaran yang diyakininya. Maka setiap orang yang
berbeda keyakinan akan menjadi musuh karena
menjadi penghalang kebenaran yang diwajibkan
kepadanya agar disampaikan. Sehingga pendoktrinan
dan perang pemikiran yang tak sehat terus
berkembang, mencuci otak orang-orang awam agar
bisa menerima keyakinan yang disampaikan itu.
Hingga akhirnya perang kepentingan pun tak
terelakkan, yang mana masing-masing pihak
berusaha memperjuangkan keyakinannya dalam
kancah percaturan politik. Dalam perang kepentingan
itulah, kekuasaan menjadi sarana yang paling
mempuni guna mewujudkan cinta-cita mereka.
Dilema... sungguh bagai buah simalakama. Hanya
234
Pemerintahan Islam yang betul-betul Islami-lah yang
bisa mendamaikan dunia ini dari perang kepentingan.
Andai setiap pihak yang mau memperjuangkan
Pemerintahan Islam dengan cara yang Islami,
mungkin tidak akan ada lagi pihak yang merasa
terzolimi.
Karenanyalah, sebagai orang awam, Bobby lebih
memilih untuk tidak memikirkan masalah yang pelik
itu lebih jauh. Dia lebih memilih memperbaiki budinya
sendiri, yaitu dengan membaktikan diri kepada
Tuhan¾berbuat baik dan menyampaikan kebenaran
dengan cara yang lebih santun. Dia menyadari kalau
tugasnya di dunia ini hanya untuk menyampaikan
kebenaran dan bukan memaksakannya.
Karenanyalah dia tidak mau ambil pusing dengan
manusia yang menolak apa pun yang
disampaikannya, semua dikembalikan kepada budi
mereka sendiri yang sudah dikaruniakan Tuhan
dengan akal yang dengannya dia bisa membedakan
mana yang baik dan yang tidak. Untuk itulah, kini dia
terus berusaha untuk senantiasa mencintai semua
235
makhluk ciptaan Tuhan yang beragam, dan berusaha
bijak menyikapi setiap perbedaan yang ada. Namun
dalam hatinya masih ada keraguan, apakah dia bisa
betul-betul mencintai jika pada budinya tidak ada
kepedulian sejati. Karenanyalah, selain
menyampaikan kebenaran, dia pun berusaha untuk
mengajak orang untuk mengikuti jejaknya yaitu
memperjuangkan kebenaran dengan cara yang penuh
kelembutan.
Saat ini pun Bobby sedang menyampaikan
sebuah kebenaran kepada istri tercintanya dengan
penuh kelembutan. “Sayang... ketahuilah! Bahwa
melayani suami adalah ibadah yang dengannya kau
bisa mendapat kebahagiaan di akhirat kelak. ”
“Iya, Kak. Namun, apakah semua hal yang bisa
membahagiakan suamiku dapat kulayani?”
“Tidak, Sayang.... hanya hal-hal yang tidak
menyimpang dari ajaran agama. Andai saja aku
sampai memintamu untuk melayaniku, sedang hal itu
bertentangan dengan ajaran agama kita, tolaklah aku
dengan cara yang baik. Ketahuilah, Sayang... manusia
236
itu tempatnya salah, dan jika aku sampai khilaf
hendak melakukan perbuatan yang tidak semestinya.
Berilah peringatan kepadaku, dan sampaikanlah
kebenaran itu dengan tanpa keraguan! Sekalipun
kebenaran itu bisa jadi sangat menyakitkan.”
Suami istri itu terus berbincang-bincang mengenai
hal-hal yang boleh dan tidak. Sementara itu di tempat
lain, di sebuah ruangan yang dipenuhi berbagai
barang mewah. Seorang pemuda tampak
memberikan instruksi kepada empat orang anak
buahnya. “Pokoknya kali ini kalian jangan sampai
gagal! Jika kalian gagal lagi maka bonus tahun ini
tidak akan kuberikan. O ya, gunakan ini untuk
mendukung operasi kalian,” kata pemuda itu seraya
memberikan sepucuk pistol kepada seorang anak
buahnya yang dipercaya untuk pemimpin operasi. Dia
bernama Reno, pemuda bertubuh kekar pemegang
sabuk hitam.
“Baik, Pak. Kami akan berusaha,” kata Reno
seraya menanggapi pistol itu.
237
Tak lama kemudian, Reno dan ketiga temannya
segera meninggalkan ruangan. Mereka lantas menaiki
mobil dan segera bergerak menuju ke wilayah yang
menurut mata-mata mereka menjadi tempat
persembunyian orang yang mereka cari.
238
Sembilan
iga bulan kemudian, di sebuah ruang tamu,
Bobby dan Lara tampak serius menonton
televisi. Saat itu mereka sedang menyimak berita
tentang ‘teroris’ Internasional yang diduga
bersembunyi di Indonesia. Jaringan ‘teroris’ itu pun
diduga berkaitan dengan para ‘teroris’ yang
belakangan sedang gercar dicari aparat karena kasus
beberapa peledakan bom yang terjadi di Indonesia.
Ketika nama Bobby dikait-kaitkan dengan ‘teroris’ dan
masyarakat dimintai pendapat tentangnya sungguh
membuat Bobby sedih. Opini orang-orang yang
diwawancarai saat itu sudah menuduhnya yang tidaktidak,
bahkan ada yang begitu menginginkan
kematiannya.
Andai praduga tak bersalah mereka hormati
dengan tidak menciptakan opini publik yang bisa
membuat masyarakat membencinya mungkin dia
T
239
akan sedikit lega. Dalam hati, pemuda itu sangat
mengkhawatirkan teman-teman dan saudarasaudaranya
mungkin juga ikut membencinya. Andai
saat ini dia sudah mempunyai bukti perihal
ketidakterlibatannya tentu dia akan segera
menyerahkan diri. Sebab, tanpa bukti bagaimana
mungkin dia bisa dipercaya. Pemuda itu sangat
khawatir kalau dia menyerahkan diri mungkin akan
diintrograsi dan dipaksa untuk mengaku bersalah.
Ini memang sebuah dilema, pihak berwajib dan
tersangka saling tak percaya, dan itu semua karena
hukum yang prematur. Jika demikian bisa saja orang
yang semula tidak tahu apa-apa lantaran dituduh
terlibat akhirnya menjadi terlibat. Apalagi jika ada
tekanan dari pihak luar, tentu bisa fatal akibatnya.
Orang yang semula tidak tahu apa-apa bisa jadi
malah sengaja melibatkan diri karena menganggap
musuh ‘teroris’ adalah musuhnya juga. Dan jadilah dia
seorang ‘teroris’ baru yang siap mengorbankan jiwa
dan raganya demi melawan kesewenangan dan
ketidakadilan. Siapa pun yang mendukung dan
240
berpartisipasi dengan pihak-pihak yang menjadi
musuhnya adalah musuhnya juga.
“Kak bagaimana jika kau tertangkap sedang kau
sendiri belum mempunyai bukti?”
“Jika demikian mungkin aku hanya bisa pasrah
dan menyerahkan semuanya pada hukum yang
berlaku.”
“Tapi, bagaimana jika hukum di negeri ini sudah
tak berpihak lagi pada kebenaran. Terus terang aku
khawatir, bagaimana jika mereka memaksamu
mengaku.”
“Aku cuma bisa pasrah.”
Saat itu Lara langsung menyandarkan kepalanya
di dada suaminya. Dan di dalam benaknya terangkai
peristiwa yang membuatnya meneteskan air mata.
“Aku tidak mau itu menimpa dirimu, Kak,” ungkap
gadis itu sedih.
“Sudahlah, Sayang... kau jangan berpikir macammacam!
Semua itu kan belum tentu seperti yang kau
khawatirkan. Tuhan pasti melindungi orang-orang
yang baik, dan atas kehendak-Nya hukum pasti akan
241
berpihak padaku, yang terpenting sekarang aku harus
berusaha semaksimal mungkin untuk membuktikan
kalau aku tidak bersalah. Andaipun sesuatu yang
buruk menimpaku disaat proses itu aku akan
menerimanya sebagai ujian Tuhan yang akan
membuatku lebih mengenal-Nya. Dan seandainya aku
sampai dihukum mati, berarti itu memang sudah
kehendak Tuhan. Dan aku harus menerimanya
sebagai bukti ketaatanku kalau aku ini memang sudah
tidak diizinkan lagi untuk melaksanakan tugas-tugasku
sebagai manusia di muka bumi ini.”
“Kak, aku tidak mau kau meninggalkanku.”
“Hal itu kan belum terjadi, Sayang... Kau tidak
perlu merisaukannya! Lagi pula, andai Tuhan
memang sudah menghendaki aku mati, maka tidak
seorang pun yang bisa mencegahnya. Lihat saja
setiap hari pasti ada saja yang mati, dan kematian itu
bisa terjadi di mana saja. Jika aku mati dalam
memperjuangkan kebenaran maka matiku adalah
mati syahid, dan jika kita terus konsisten menjalani
242
ajaran agama Insya Allah atas Izin-Nya kita pasti akan
dipertemukan kembali.”
Mendengar itu hati Lara menjadi tenang, di dalam
hatinya sudah tak ada lagi kerisauan yang semula
sangat membebani hatinya. “Kak, sebelum orangorang
di kampung ini ada yang mengenalimu,
bagaimana kalau kita pindah saja ke tempat yang
jauh?”
“Sayang... di mana pun kita tinggal bagiku sama
saja. Malah aku merasa lebih aman di pemukiman
kita ini, di mana tetangga kita tidak saling mengenal
satu sama lain. Lagi pula, aku kan sudah merubah
penampilanku sehingga sangat berbeda dengan
gambarku di selebaran itu.”
"O ya, Kak. Aku...”
Belum sempat Lara menyelesaikan kalimatnya,
tiba-tiba HP yang menggantung di lehernya terdengar
berbunyi. ”Sebentar, Kak. Aku terima telepon ini dulu,”
kata gadis itu seraya menerima telepon yang masuk.
243
Tak lama kemudian, dia sudah bicara kembali
dengan suaminya. “Kak, polisi sudah menggeledah
rumah orang tuaku.”
“Untung saja kau tidak jadi memberi tahu kepada
orang tuamu perihal tempat tinggal kita ini. Kalau saja
saat itu kau melakukannya mungkin mereka sudah
menuju kemari.”
“Kau betul, Kak. Andai saat itu kau tidak
melarangku dengan tegas mungkin aku sudah
memberitahukannya.”
"O ya, ngomong-ngomong apa yang ingin kau
katakan tadi?” tanya Bobby penasaran.
“Mmm... Aku cuma mau memberitahumu kalau
sekarang aku kepingin sekali makan tongseng.”
“O…, kalau begitu baiklah.... dengan senang hati
aku akan membelikannya untukmu.”
“Tapi, Kak...”
“Kau jangan khawatir, Insya Allah tidak akan
terjadi apa-apa.”
Tak lama kemudian, Bobby sudah mengendarai
sepeda motornya menuju ke penjual tongseng yang
244
terkenal enak. Setiba di sana, pemuda itu segera
memesan dua porsi dan duduk menunggu. Saat itu,
dia mendengar dua orang pengunjung tampak sedang
membicarakan dirinya.
“Aku betul-betul tidak menyangka. Dia itu kan
dulunya arsitek yang pernah membangun gedung
terkenal itu. Dan kata orang-orang yang mengenalnya,
dia itu pemuda yang baik dan sama sekali tidak
pernah terlibat kasus kriminal.”
“Ya mungkin saja dia telah dicuci otak oleh para
‘teroris’ yang merekrutnya, sehingga dia jadi berubah
dan tega berbuat sekejam itu.”
“Menurutmu apakah orang seperti itu bisa
dikatakan bersalah.”
“Menurutku dia itu cuma korban yang diperalat
dengan menggunakan doktrin agama yang sama
sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan.”
“Ya aku rasa juga begitu. Kasihan orang-orang
seperti mereka, maksud hati ingin mencari kebenaran
tapi malah diperalat begitu.”
245
Bobby terus mendengarkan pembicaraan kedua
orang itu, hingga akhirnya tongseng yang dipesannya
selesai dibuat. Setelah membayar tongseng, pemuda
itu segera pergi meninggalkan tempat itu dan akhirnya
tiba kembali di rumah dengan selamat.
“Ini tongsengnya, Sayang...” kata Bobby seraya
memberikannya kepada istri tercintanya, kemudian dia
segera melangkah ke dapur untuk mengambil piring
dan sendok.
Tak lama kemudian, pemuda itu sudah kembali ke
ruang tengah dan segera menikmati tongseng yang
masih hangat itu bersama istrinya.
“Tongseng ini enak sekali, Kak. Di mana kau
membelinya?”
“Di tempat biasa”
“Tapi, kenapa kali ini terasa lebih enak?”
“Mungkin karena saat ini kau sedang lapar dan
nafsu makanmu yang lain dari biasanya itulah
penyebabnya.”
“Mmm... memangnya selama ini aku banyak
makan ya, Kak.”
246
“Tentu saja, kalau tidak masa pipimu bisa jadi
tembam begitu.”
Saat itu Lara langsung memegang pipinya sendiri,
“Aduh, sepertinya aku memang mengalami
kegemukan, Kak.”
“Wajarlah, mungkin karena selama ini kau sering
tertekan sehingga menjadi agak stress. Dan sebagai
pelampiasannya, kau pun jadi banyak makan.”
“Kau betul, Kak. O ya, ngomong-ngomong kenapa
tongsengmu tidak kau habiskan?” tanya Lara ketika
mengetahui Bobby tidak menghabiskan tongsengnya.
“Aku sudah cukup kenyang, Sayang....”
“Kalau begitu, biar aku yang habiskan ya?”
Bobby mengangguk, sedang di bibirnya tampak
tersungging sebuah senyuman. Pemuda itu terus
memperhatikan istrinya yang kini tampak
bersemangat, menghabiskan sisa tongseng miliknya.
“Habis sudah! Hmm... tongseng ini memang
benar-benar enak, Kak. Emm... kenapa kau senyamsenyum
sendirian, Kak?” tanya Lara heran ketika
mengetahui suami seperti itu.
247
"Tidak kenapa-napa, Sayang.... Terus terang, aku
senang sekali karena kau mau menghabiskan
tongseng itu. Sebab kalau tidak, kan bisa jadi
mubazir.”
"O, begitu.... tentu saja aku mau
menghabiskannya, karena tongseng itu memang
betul-betul enak. O ya, Kak. Besok kau belikan aku
lagi ya!”
“Kenapa harus besok? Jika sekarang kau masih
merasa kurang aku bisa membelikan lagi.”
“Tidak usah, Kak! Terima kasih! Sekarang ini aku
sudah merasa cukup kenyang. Lagi pula, jika aku
menuruti keinginanku mungkin tongseng itu akan jadi
tidak enak.”
“Kau betul, Sayang... dengan begitu, selain agar
makanan tetap terasa nikmatnya, tubuh pun akan
menjadi sehat. Lagi pula, bukankah Rasulullah
menganjurkan untuk berhenti makan sebelum
kenyang.”
Bobby dan istrinya terus berbincang-bincang
hingga akhirnya malam pun semakin larut. Dan ketika
248
istrinya mengajaknya tidur, Bobby tampak menolak.
“Maaf sayang! Aku masih memikirkan sesuatu. Jika
kau sudah mengantuk, tidur saja duluan. Nanti aku
akan menyusul.”
“Tapi, Kak. Aku ingin...” Lara menggantung
kalimatnya, sepertinya saat itu dia berat untuk
mengatakannya.
“Ingin apa, Sayang...?” tanya Bobby tidak paham.
“A-anu, Kak. A-aku mau...”
“Ayolah, Sayang... katakan saja! Aku ini kan
suamimu. Jadi, jika kau memang menginginkan
sesuatu, katakan saja terus terang!”
“Eng, sebenarnya… a-ku mau dikeloni olehmu.”
Mengetahui sifat manja Lara, Bobby pun segera
merespon, “Sayang... ketahuilah! Saat ini aku mau
memikirkan sesuatu yang penting. Dan karenanyalah,
aku mohon kau mau mengerti!”
“Iya, Kak... Sebenarnya, tadi pun aku sudah tidak
mau bilang. Tapi karena Kakak mendesak, maka aku
pun terpaksa mengatakannya.”
249
“Hmm... Benarkah! Kalau begitu baiklah…
sekarang ayo kita tidur...!” ajak Bobby seraya
menggandeng istrinya ke kamar.
“Tapi, Kak…”
“Sudahlah… tidak apa-apa. Kan aku bisa berpikir
sambil mengelonimu,” kata Bobby meredakan rasa
tidak enak di hati istrinya.
Kini suami istri itu sudah berada di tempat tidur,
saat itu Bobby tampak sedang membelai istrinya yang
tampak manja berada di dalam dekapannya. Dalam
hati, pemuda itu agak menyesal juga karena lagi-lagi
harus memanjakan istrinya, dan dia pun sempat
khawatir jika hal itu sampai menjadi kebiasaan. Sebab
jika terlalu memanjakannya, mungkin saja suatu saat
nanti istrinya itu akan sulit tidur sendirian. Apa lagi jika
suatu saat dia dipanggil Tuhan, apa mungkin istrinya
itu bisa bertahan hidup tanpa kehadirannya, kehadiran
seorang suami yang senantiasa menyayanginya dan
selalu memanjakannya.
250
Esok harinya di siang yang terik, Bobby tampak
sedang menerima telepon dari istrinya yang kini
berada di tempat praktek dokter. Saat itu dia tampak
sedikit kesal lantaran istrinya itu pergi tanpa seizinnya,
dan menurut alasan istrinya itu, dia sengaja pergi
sendiri lantaran suaminya takut dikenali orang.
“Iya, iya... aku mengerti.”
“Tapi, Kak.”
“Sudahlah, Sayang... pokoknya aku tidak mau kau
pulang sendirian, biarlah aku yang akan datang
menjemputmu.”
“Kak, terus terang aku khawatir. Bagaimana jika
nanti ada yang mengenalimu?”
“Percayalah! Tidak akan ada yang mengenaliku.
Aku kan mengenakan helm.”
“Eng, baiklah... kalau begitu aku akan
menunggumu, Kak.”
“Nah, begitu dong. Itu baru namanya istri yang
menurut pada suami. Terus terang, aku tidak
mengizinkanmu ke mana-mana sendirian karena aku
sangat menyayangimu. Kau tahu kan, kondisi di
251
negeri kita sekarang. Sungguh aku sangat
mengkhawatirkanmu, Sayang...”
Tak lama kemudian, Bobby terlihat sudah melaju
dengan sepeda motornya. Dan setibanya di tempat
tujuan, pemuda itu terlihat langsung menemui istrinya.
“Apa penyakitmu parah, Sayang...?” tanya Bobby
khawatir.
Lara menggeleng.
“Hmm... kau sakit karena tongseng semalam, ya?”
Lagi-lagi Lara menggeleng, kemudian gadis itu
malah duduk di atas jok motor dan meminta suaminya
untuk segera jalan. Bobby pun segera menjalankan
sepeda motornya, pada saat itu hatinya semakin
tambah penasaran. “Kalau begitu, katakanlah! Apa
yang menyebabkan sakitmu itu?” tanya pemuda itu
lagi.
“Eng, sebenarnya...” Lara tidak melanjutkan katakatanya.
“Ayolah, Sayang… katakanlah!”
“Maafkan aku, Kak! Sebaiknya kita bicara di
rumah saja. Terus terang aku takut mengganggu
252
konsentrasimu mengendara, lagi pula di rumah kan
aku bisa menjelaskannya dengan tenang!” kata Lara
seperti menyembunyikan sesuatu.
Saat itu Bobby tampak bertanya dalam hati,
“Mmm... apa mungkin istriku menderita penyakit yang
parah sehingga dia tidak berani langsung berterus
terang. Kalau begitu, biarlah kuturuti keinginannya itu.”
“Awas, Kak!” teriak Lara yang melihat seekor
kucing tampak menyeberangi jalan.
“Astagfirullah....! Hampir saja makhluk yang tak
berakal itu aku tabrak,” ucap Bobby terkejut.
“Makanya, Kak. Sebaiknya kau lebih
berkonsentrasi berkendara.”
“Iya, Sayang...”
Suami istri itu terus melaju pulang. Selama
perjalanan, Bobby terus bertanya-tanya dalam hati
dan sangat mengkhawatirkan istrinya yang mungkin
saja sedang menderita penyakit parah. Ketika mereka
sedang melewati jalan yang sepi, tiba-tiba motor yang
mereka tumpangi disalip oleh sebuah kendaraan roda
empat dan langsung menghadangnya. Seketika
253
Bobby terkejut dan langsung menghentikan sepeda
motornya, kemudian dengan jantung yang masih
berdebar, pemuda itu tampak mewaspadai apa yang
bakal terjadi.
“Mo-mobil itu, Kak! Mobil itulah yang telah
membawaku pergi ketika Randy akan menjemputku di
stasiun,” jelas Lara panik.
Mengetahui itu, Bobby buru-buru turun dari motor
dan datang menghampiri. Pada saat yang sama,
empat orang pemuda yang baru turun dari mobil juga
terlihat menghampiri Bobby. Kini mereka sudah berdiri
saling berhadapan dan dengan tanpa senyum sama
sekali.
“Hmm... ternyata memang kalian. Apa tidak kapok
setelah kuhajar malam itu?”
“Bedebah! Ternyata kau yang telah menggagalkan
kami. Hahaha! Tidak mengapa, waktu itu kami
memang kalah, tapi... kali ini kami punya ini,” kata
seseorang dari ke empat penjahat itu seraya
menodongkan pistolnya.
254
Mengetahui itu, Bobby segera mengolah
pernafasan dan memproteksi dirinya dengan tenaga
dalam. “Hmm... Aku harus menyingkirkan pistol itu
dulu, setelah itu baru kulumpuhkan mereka semua,”
kata Bobby dalam hati.
Setelah yakin apa yang akan dilakukannya, tibatiba
Bobby bergerak menyerang. Pada saat yang
sama, orang yang memegang pistol berusaha
menembak. Namun bukannya menembak, dia malah
terjengkang karena efek proteksi tenaga dalam yang
dimiliki Bobby. Pada saat itulah Bobby langsung
menendang senjata itu hingga terpental jauh,
kemudian dilanjutkan dengan menghajar ke empat
penjahat itu dengan sekuat tenaga. Namun karena
energinya sudah banyak terkuras, serangan pemuda
itu pun jadi tidak maksimal, dan akibatnya ke empat
penjahat itu masih bisa melakukan perlawanan
dengan begitu gigih. "Agh...!!!” tiba-tiba Bobby
mengerang, saat itu lengan kanannya sempat terkena
sabetan sangkur.
255
Baku hantam terus berlanjut, hingga akhirnya para
petarung itu sama-sama kelelahan dan dengan tubuh
yang sama-sama penuh luka. Tak beberapa lama
kemudian, Bobby sudah berhasil melumpuhkan tiga
orang lawannya. Namun pada saat yang sama, salah
seorang yang belum berhasil dilumpuhkan berhasil
melukai pahanya. Tak ayal, Bobby pun langsung
terjatuh dan sulit untuk berdiri. Mengetahui itu, si
penjahat tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Dia
segera mencekiknya dan berusaha mengarahkan
sangkurnya ke lambung Bobby. Menyadari apa yang
akan terjadi, Bobby tidak tinggal diam¾dia segera
menangkap tangan lawannya dan berusaha keras
mengambil alih sangkur itu. Dan setelah
perjuangannya yang gigih, akhirnya Bobby berhasil
juga merebut sangkur itu dan segera
mengarahkannya ke ulu hati lawannya. “Terimalah ini
sebagai pembalasan dari sahabatku... ” kata Bobby
seraya bersiap-siap hendak menikamkan sangkur
yang berada digenggamannya.
256
“Kak! Sudahlah...! Kau jangan membunuhnya!”
tahan Lara tiba-tiba.
“Tidak, Ra. Orang ini harus menerima
ganjarannya, dia memang sangat pantas untuk mati.
Selain sudah membunuh Randy yang sudah
kuanggap sebagai saudaraku, dia pun sudah berani
melukaiku. Karenanyalah dia memang tidak pantas
untuk diberi pengampunan.”
“Kak... dengarlah! Dia itu sudah tak berdaya, dan
jika kau sampai menzoliminya karena dendammu,
maka hal itu merupakan perbuatan dosa.”
“Kau tidak mengerti, Ra. Kalau sesungguhnya
nyawa harus dibalas nyawa.”
“Sudahlah, Kak! Aku Mohon! Bukankah agama
kita mengajarkan kalau memaafkan adalah hal yang
lebih utama. Lagi pula, aku sangat mencintaimu, Kak.
Aku tidak mau kau masuk penjara. Sebab, a-aku tidak
mau mengurus anak kita sendirian.”
Mendengar itu, Bobby seketika tersentak. “Ra...
benarkah yang kau katakan itu?”
257
“Benar, Kak. Saat ini aku sedang mengandung
anak kita.”
“Itukah kenapa kau merahasiakannya? Rupanya
kau ingin memberi kejutan padaku.”
Lara mengangguk. Saat itu juga Bobby langsung
melepaskan sangkur yang dipegangnya, kemudian
dengan segera pemuda itu memeluk istrinya dan
menciumnya berkali-kali. “Aku bahagia sekali, Ra. Aku
akan menjadi seorang ayah.”
Sementara itu, penjahat yang semula tampak tak
berdaya kini tampak berusaha bangkit seraya
mengambil sangkur yang dijatuhkan Bobby, kemudian
dengan serta-merta dia menikamkannya ke punggung
lelaki yang kini sedang berbahagia itu. Tak ayal, lelaki
itu pun langsung roboh dan tak bergerak lagi, sedang
di punggungnya sebuah sangkur masih terus
menancap.
Melihat itu Lara berteriak histeris. Pada saat yang
sama, Reno segera membungkam mulut Lara dengan
sebuah tamparan yang begitu keras. Seketika itu juga,
Lara tersungkur dengan bibir yang mengeluarkan
258
darah. Pada saat yang sama, di kejauhan terlihat
sebuah mobil yang melaju mendekat.
Mengetahui itu, Reno buru-buru mengambil
tindakan. “Ayo cepat ikut denganku!” Perintah
penjahat itu seraya menyeret Lara menaiki mobil.
Pada saat yang sama, ketiga teman Reno yang sudah
dilumpuhkan Bobby juga ikut naik dengan bersusah
payah. Hingga akhirnya, mobil yang mereka tumpangi
melaju meninggalkan tempat itu.
Malam harinya, di sebuah rumah peristirahatan.
Lara terlihat duduk di sebuah kursi kayu dengan tubuh
yang terikat erat, sedangkan di mulutnya masih
menempel sepotong lakban yang melekat erat. Saat
itu Lara cuma bisa menangis dan menangis. Hingga
akhirnya seseorang datang menemuinya dan
langsung melepas lakban yang menempel di
mulutnya.
259
“Hmm... jadi, memang kaulah dalang dari semua
ini,” kata Lara geram.
“Hahaha...!!! Semua itu karena salahmu sendiri.
Coba kalau malam itu kau tidak menolakku. Mungkin
aku tidak akan sampai berbuat begini.”
“Kau memang biadab!”
“Silakan maki aku sesukamu! Percayalah... aku
tidak akan marah! Lara sayang... aku sangat
mencintaimu. Keindahan tubuhmu sungguh telah
membuatku ingin menikmatinya. Dan tak lama lagi
aku pasti bisa mewujudkannya, walaupun tanpa
kerelaanmu. Tapi kusarankan, sebaiknya kau
merelakannya. Karena dengan demikian, kau pun bisa
menikmatinya bersamaku.”
Setelah berkata begitu, pemuda itu segera
menyuruh anak buahnya untuk memindahkan Lara ke
atas ranjang dan mengikatnya kuat-kuat. “Nah,
sekarang kalian boleh pergi!” perintah pria itu kepada
anak buahnya seraya mulai menggerayangi tubuh
Lara.
260
Ketika penjahat itu akan bertindak lebih jauh, tibatiba.
“Hentikan perbuatanmu, Jahanam!” perintah
seorang pemuda yang kini sedang berdiri di ambang
pintu dengan sebilah pisau yang berlumuran darah.
"O, kau rupanya,” kata Pak Sasongko seraya
duduk di tepian ranjang.
“Ya, kau tidak menyangka bukan. Sungguh aku
tidak habis pikir, ternyata keberadaanmu di dunia tari
bukanlah untuk melestarikannya, namun lebih kepada
menodainya. Untunglah aku cepat menyadari, kalau
tidak tentu akan lebih banyak lagi korban yang
berjatuhan.”
“Hahaha...! Memang itulah tujuanku. Soalnya aku
sangat menyayangkan jika tubuh-tubuh indah nan
gemulai itu cuma untuk dilihat saja, bukanlah lebih
baik tubuh-tubuh itu juga dinikmati di atas ranjang.
Hahaha...!” kata penjahat itu seraya menunduk dan
mengambil sesuatu di bawah ranjangnya. “Nah,
pahlawan kemarin sore. Sebaiknya kau buang
pisaumu itu dan berlututlah di hadapanku!” kata
penjahat itu lagi sambil menodongkan sebuah
261
pistolnya kepada pemuda yang dianggap sudah
mengganggu kesenangannya itu.
Karena tidak mempunyai pilihan yang lebih baik,
akhirnya pemuda itu menjatuhkan pisaunya.
Bersamaan dengan jatuhnya pisau itu, tiba-tiba... Lara
yang saat itu masih terikat tampak membenturkan
kepalanya pada lengan si penjahat. Tak ayal, lengan
penjahat itu pun langsung terayun dan menembak ke
sasaran kosong. Pada saat yang sama, pemuda
pemberani itu langsung bergerak cepat¾mengambil
pisaunya dan segera menikam penjahat itu hingga
tewas bersimbah darah.
Tak lama kemudian, Lara dan pemuda yang
menolongnya segera meninggalkan rumah itu dan
melapor kepada pihak berwajib.
262
Sepuluh
angit menghitam seiring dengan angin yang
terus berhembus. Pada saat itu di bawah
pohon nan rindang, seorang gadis tampak duduk
termenung. Pikirannya begitu kalut, terbayang akan
masa depan yang begitu gelap, seperti gelapnya awan
yang ada di atas kepalanya. Kini gadis itu menatap
goresan-goresan yang melekat erat pada batang
pohon di dekatnya, goresan-goresan itu membentuk
dua baris nama yang di antaranya terdapat gambar
hati. Bobby love Lara begitulah bunyi goresan-goresan
itu.
Tiba-tiba saja, gadis yang bernama Lara itu
beranjak bangun, kemudian melangkah ke tepian
sungai yang tak begitu jauh. Dia duduk di sebuah batu
sambil memeluk kedua kakinya yang menyiku,
sedangkan kepalanya tampak tertunduk¾bersandar
pada kedua lututnya. Pada saat itu, sayup-sayup
L
263
terdengar isak tangis yang cukup memilukan. Gadis
itu menangis, kedua matanya basah oleh air mata
yang seakan tak mau berhenti.
Lara terus menangis. Sementara itu di langit,
awan sudah semakin gelap, dan sebentar lagi hujan
lebat pasti akan turun menyiram bumi. Benar saja,
dalam waktu singkat hujan sudah turun dengan
lebatnya. Angin yang mengiringinya berhembus
kencang, membuat butiran-butiran hujan terasa agak
sakit. Saat itu Lara masih belum beranjak dari
duduknya, dia terus menangis di bawah siraman hujan
yang semakin lebat saja.
Tiba-tiba halilintar menjilat sebuah pohon yang tak
begitu jauh, suara ledakannya begitu
dasyat¾membaur dengan derasnya hujan dan deru
angin yang semakin menjadi-jadi. Mendengar itu, Lara
tersentak kaget, kemudian dengan serta-merta gadis
itu beranjak bangun dan berlari menuju ke sebuah
saung yang tak begitu jauh.
Di saung itulah Lara duduk bersendekap, saat itu
tubuhnya tampak menggigil kedinginan, sedang
264
bibirnya yang pucat tampak bergetar bersamaan
dengan gemeretak giginya. Di dalam kedinginan yang
menusuk itu, gadis itu masih saja menangis
memikirkan suaminya yang dituduh sebagai ‘teroris’
telah diberitakan tewas oleh media-media yang ada di
Indonesia. Kini di benak gadis itu terbayang kembali
peristiwa yang menyedihkan itu, dimana orang yang
dicintainya itu terkapar dengan sebilah sangkur yang
menancap di punggungnya. Dan kejadian itu terjadi
persis di depan matanya, seusai dia menyampaikan
kebenaran yang ternyata memang sangat pahit
akibatnya, dan dia menduga karena kebenaran yang
disampaikan itulah suaminya jadi terbunuh. Andai
waktu itu dia membiarkan Bobby membunuh penjahat
itu tentu tidak seperti itu jadinya. Sungguh duka Lara
yang mendalam itu sudah membuat budinya menurun,
bahkan akal sehatnya pun seperti sudah tak bisa
digunakan lagi. Di dalam benaknya hanya ada
dukalara yang sulit dihilangkan, terasa pilu dan
membuatnya semakin tidak mempercayai akan
makna kebenaran. Di saat itulah, akhirnya setan
265
membisikkan sesuatu yang menyesatkan sehingga
Lara berniat melepas segala dukalaranya dengan
menyusul sang Suami yang diduganya sedang
menunggu di alam baka.
Usai hujan, Lara kembali keluar, kemudian
dipandangnya pepohonan dan rerumputan yang
tampak basah, tanah yang digenangi air, serta
beberapa hewan kecil yang merayap. “Huff...!” gadis
itu menarik nafas panjang, dan tak lama kemudian dia
mulai melangkah¾perlahan namun pasti, menuju ke
bibir jurang yang jika memandang pada kejauhan
akan terlihat pemandangan yang begitu indah. Tak
lama kemudian, gadis itu pun tiba di tempat itu.
Sejenak kedua matanya memandang indahnya
lembah yang sedikit tertutup kabut.
Kini gadis itu tampak terpejam, wajahnya yang
manis tampak pucat¾tak ada gairah kehidupan. “Oh
Tuhan... apa yang mesti aku lakukan?”
Suasana hati semakin terasa kelam, dan
kesedihan semakin mendalam. Saat itu sepertinya tak
ada seorang pun yang mampu mengobati
266
dukalaranya, dan tak seorang pun yang bisa
menghentikan niat sesatnya. Hanya pertemuan
kepada suami tercintalah yang diharapkan bisa
meredam segala dukalaranya. Kini gadis itu tampak
memandang curamnya jurang yang menganga
bersamaan dengan air matanya yang kembali
berderai.
“Selamat tinggal orang-orang yang kucintai,
selamat tinggal dunia yang fana, dan selamat tinggal
penderitaan. Duhai suamiku tercinta¾kekasih
belahan jiwa, sambutlah kedatangaku ini!”
Begitu gadis itu hendak melompat, tiba-tiba…
“Apa yang hendak kau perbuat sayang....? Kenapa
kau mau meninggalkan aku?” tanya seorang pria yang
pada saat itu menggenggam tangannya erat, sebuah
genggaman tangan yang kekar.
Seketika Lara menoleh, dan saat itu dia tak
mampu berkata. Hanya air matanya yang bicara,
seperti kebahagiaan yang tiada terkira. Rupanya kini
dihadapannya telah berdiri seorang pria tampan yang
selama ini disangkanya sudah tiada.
267
“Kenapa sayang...? kenapa kau memandangku
seperti itu? Apakah kau tak merindukanku?” tanya
Bobby seraya tersenyum.
“Ka-Kakak...! Ka-kau ma-masih hidup?”
“Emm... apakah saat ini aku terlihat seperti hantu?”
“La-lalu yang diberitakan itu?“
“Begitulah pers. Begitu mendengar kabar tentang
kematianku, mereka pun langsung
menyebarluaskannya. Padahal pada saat itu aku
cuma mati suri.”
“Benarkah?” Lara hampir tak mempercayainya.
“Hmm… Andai saja waktu itu polisi mengijinkanku
melihatmu di rumah sakit, tentu aku tidak akan
berbuat seperti ini.”
“Ya, mereka melakukan itu demi mengamankan
aku,” kata Bobby seraya menceritakan perihal
kejadian yang membuatnya bisa selamat. Ternyata
sangkur yang menancap di punggungnya hanya
menggangu syaraf motorik dan menyebabkannya
mengalami kelumpuhan sementara dan kemudian
berkembang menjadi mati suri.
268
“Begitulah ceritanya, Sayang... Hingga akhirnya
aku pun sembuh dan diizinkan pulang.”
“Oh, Kak. Aku benar-benar bahagia mengetahui
kenyataan ini.”
“Aku juga, Sayang…dan itu semua karena berkat
pertolongan Tuhan. O ya, ngomong-ngomong aku
dengar para penjahat itu sudah mati.”
“Ya, itu semua karena rasa cinta Rahman yang
besar kepadaku. Dan karena rasa cintanya itulah, dia
rela berkorban untuk menyelamatkan aku. Kasihan
Rahman, kini dia harus mendekam dipenjara karena
dituduh main hakim sendiri.”
“Ya, kasihan sekali dia. Semoga dia lekas
dibebaskan dan kembali menjalani hari-harinya
dengan penuh suka cita.”
“O ya, Kak. Ngomong-ngomong, kenapa setelah
sembuh polisi tidak menahanmu?”
“Siapa bilang aku tidak ditahan. Setelah sembuh
aku langsung ditahan aparat selama seminggu.
Namun akhirnya aku dibebaskan karena terbukti
memang tidak bersalah. Semua itu karena Rizky
269
temanku yang ‘teroris’ itu, ternyata dia pun selamat
dari ledakan itu. Dan dialah yang telah menjelaskan
perihal siapa aku sebenarnya, selain itu dia pun
menyerahkan beberapa dokumen yang semakin
menguatkan pernyataannya itu. Hingga akhirnya polisi
betul-betul yakin kalau aku ini memang tidak terlibat.”
“Kasihan sekali temanmu itu. O ya, ngomongngomong
apakah kau tahu kenapa dia bisa terlibat
dengan jaringan ‘teroris’ itu?”
“Tentu saja, soalnya Rizky sempat menceritakan
semua itu ketika kami sama-sama diintrogasi.” Bobby
pun segera menceritakan mengenai keterlibatan
Rizky.
Dulu, ketika pemuda itu masih di dalam tahanan
karena bisnis illegal. Dia bertobat dan bertekad untuk
memperbaiki kehidupannya dengan mencari jalan
kebenaran. Hingga akhirnya dia bertemu dengan
teman lamanya dan diajak bergabung ke dalam
sebuah pengajian yang saat itu menurutnya bagus
sekali karena mengajarkan konsep ajaran agama
yang sangat sesuai dengan hati nuraninya. Iming270
iming untuk mencari jalan kebenaran itulah yang
membuatnya bertekad untuk terus mengikuti
pengajian itu, hingga akhirnya dia direkrut sebagai
seorang ‘teroris’. Motivasinya saat itu adalah
keyakinannya yang kuat sebagai bentuk
penghambaannya kepada Tuhan untuk
memperjuangkan keadilan dan menegakkan
kebenaran di muka bumi ini. Karenanyalah dia pun
berniat untuk mengajakku bergabung karena dia
mengetahui kondisi kejiwaanku yang saat itu sedang
labil dan sangat membutuhkan pegangan untuk
memaknai kehidupan ini dengan sebenar-benarnya.“
“Kak, andai saat itu polisi tidak menggerebek
rumah itu, apa sekarang kau juga sudah menjadi
‘teroris’.”
“Tidak semudah itu, Sayang... Konsep jihad yang
diajarkan itu sama sekali tidak sejalan dengan hati
nuraniku. Bagaimana mungkin aku tega
menghilangkan nyawa manusia yang tak tahumenahu
demi untuk tujuan yang mulia. Aku masih
meyakini pemahaman yang dulu diajarkan oleh
271
guruku, yaitu selama air masih bisa untuk
memadamkan api sebaiknya jangan menggunakan
api untuk memadamkan api. Kecuali jika air memang
sudah tidak mampu memadamkan api, barulah api
yang terkendali boleh digunakan untuk memadamkan
api. Apalagi dengan konsep bom jihad, aku sama
sekali tidak sependapat. Terus terang, hati nuraniku
belum bisa menerima konsep itu sebagai bentuk jihad.
Karena konsep itu masih menjadi perdebatan di
kalangan para ulama, yaitu antara bunuh diri dan
kondisi perang fisik, keduanya mempunyai dasar yang
sama-sama kuat. Kata guruku, sebaik-baiknya
mengambil sikap adalah meninggalkan segala bentuk
yang masih menjadi keraguan. Contohnya seperti
bunga bank, orang yang percaya bunga bank itu halal
maka ia tidak akan merasa berdosa karenanya.
Begitu pun sebaliknya, orang yang meyakini kalau
bunga bank itu adalah riba dan haram hukumnya,
maka ia akan meninggalkannya. Dan langkah yang
paling aman adalah meninggalkannya, sebab andai
bunga bank itu memang halal maka ia tidak berdosa,
272
dan jika ternyata bunga bank itu memang haram jelas
ia pun tidak akan berdosa. Karenanyalah sebagai
manusia yang berakal, manusia wajib mencari
alternatif yang dapat menjembatani kedua keyakinan
itu. Dalam hal bunga bank ini, dibuatlah konsep Bank
Syariah yang diklaim sudah tidak ada lagi keraguan di
dalamnya (walau masih jauh dari sempurna). Sebab
kalau tidak, orang-orang yang ragu dan meninggalkan
bunga bank tentu akan menjadi bingung dan tidak
tahu ke mana ia harus menyimpan uangnya. Inilah
yang dinamakan win win solution. Orang yang
meyakini bunga bank halal maupun yang meyakininya
haram akhirnya bisa bersama-sama menabung di
Bank Syariah.
Andai dalam masalah ‘teroris’ ini juga dijembatani
dengan cara win win solution mungkin tidak ada lagi
orang yang berkeinginan untuk menjadi ‘teroris’.
Sebab, para pejuang keadilan ‘teroris’ adalah orang
yang peduli terhadap orang lain, dan mereka sama
persis dengan orang yang percaya kalau bunga bank
itu halal. Sedangkan para pejuang keadilan ‘muslim
273
sejati’ adalah orang yang juga peduli terhadap orang
lain, dan mereka sama persis dengan orang yang
percaya bunga bank itu haram. Mereka ‘muslim sejati’
betul-betul bingung dan tidak tahu bagaimana caranya
memperjuangkan rasa kepeduliannya itu. Jika mereka
tak segera dicarikan solusi maka akan ada dua
kemungkinan, menjadi ‘teroris’ (terpaksa menabung
walaupun ia tahu bunga bank itu haram) atau
membuang rasa kepedulian terhadap sesama alias
masa bodo (tidak menabung).”
“Eng… lalu jika tidak ada solusinya, maka dari
kedua kemungkinan itu manakah yang Kakak pilih?”
“Tidak kedua-duanya. Aku adalah ‘muslim sejati’,
dan aku akan terus memperjuangkannya melalui
perang pemikiran yang islami dan juga lewat perang
kebudayaan yang islami sambil terus menunggu
kemunculan Imam Mahdi. (menabung di rumah
sambil terus menunggu adanya konsep Bank
Syariah).”
274
“Syukurlah kalau Kakak berpandangan demikian.
Sebab, semula aku sempat khawatir kalau kakak
akan menjadi ‘teroris’.”
“Kini kau tidak perlu khawatir lagi, Sayang... Aku
berkeyakinan biarlah mereka memperjuangkan
kebenaran dengan cara mereka, dan aku dengan
caraku. Pokoknya selama aku masih bisa
memperjuangkannya dengan cara yang lembut, maka
aku pun merasa berkewajiban untuk menggunakan
cara yang lembut itu.”
“Janji ya, Kak! Kalau kakak akan
memperjuangkannya dengan cara yang lembut itu.”
“Insya Allah Sayang... Doakanlah aku agar
senantiasa bisa konsisten. Pokoknya selama aku
masih bisa menabung di rumah karena masih aman
dan tidak menyulitkan, dan juga selama masih ada air
yang bisa memadamkan api tentu aku akan terus
berjuang dengan cara demikian. O ya, ngomongngomong
siapa sebenarnya otak dari pembunuhan
Randy? ”
275
“Mmm... Dia itu Pak Sasongko, Kak¾orang yang
telah memberikan kesempatan padaku untuk menjadi
penari professional. Namun ternyata itu cuma alasan
saja, karena niat yang sesungguhnya dia itu
menginginkan aku.”
Lara pun menceritakan kejadian itu. Waktu itu
sekitar pukul 10 malam, ketika Lara baru selesai
menari di sebuah gedung kesenian. Sasongko
menawarkan diri untuk mengantar gadis itu pulang.
Namun sungguh tidak disangka-sangka, ternyata
pemuda itu bukan saja mau mengeksploitasi bakatnya
tapi justru lebih dari itu¾keindahan tubuh Lara yang
setiap kali dilihatnya saat menari telah membuatnya
betul-betul ingin menikmatinya lebih dari sekedar
gerakan tari.
Ketika di tengah perjalanan, Lara sempat
menyadari kalau mobil yang ditumpanginya tidak
menuju ke arah rumahnya. “Pak, kita mau ke mana?”
tanya Lara heran.
276
“Kita mampir dulu sejenak ke rumahku, kebetulan
di rumahku ada sampanye untuk merayakan
kesuksesan pertunjukan tadi.”
“Tapi, Pak. Aku tidak suka minum, lagi pula ini kan
sudah terlalu malam.”
“Kau jangan khawatir, Dik. Kau tidak perlu minum,
kita hanya bersulang saja. Dan aku janji akan
mengantarmu pulang sebelum jam dua belas.”
“Betul ya, Pak. Soalnya besok pagi aku harus ke
Jakarta. Terus terang aku tidak mau sampai terlambat
karena aku sudah mengabarkan untuk menjemputku
tepat waktu.”
Pak Sasongko mengangguk. Lalu tanpa curiga,
Lara pun akhirnya mau diajak mampir. Hingga
akhirnya pemuda yang sudah sangat bernafsu itu
segera memaksa Lara untuk mau tidur bersamanya.
Kontan saat itu Lara menolak dan akhirnya berhasil
melarikan diri. Dan setelah kejadian itu, Lara
memutuskan untuk keluar dari sanggar tari yang
belakangan diketahui hanya sebagai kedok demi
277
untuk menikmati gadis-gadis molek yang ingin
menjadi penari terkenal.
“Begitulah ceritanya, Kak. Hingga akhirnya Randy
tewas di tangan anak buah Sasongko. Dan setelah
kejadian itu, aku pun memutuskan untuk tinggal di
Jakarta dan mencarimu ke Bandung¾tempat di mana
orang tuaku bilang kalau kau tinggal di sana. Dan
akhirnya, kita bertemu di stasiun ketika aku kembali
dari kota itu.”
Kini suami-istri itu tampak berpelukan. Saat itu
mereka betul-betul bahagia karena sudah tidak ada
lagi yang perlu dikhawatirkan, dan semua hal yang
masih membingungkan kini terungkap sudah.
"O ya, Kak. Ngomong-ngomong dari mana kau
tahu aku berada di sini?”
“Aku tahu dari orang tuamu, juga dari paman dan
bibimu.”
Bobby pun segera menceritakan peristiwa yang
dialaminya, yaitu pada saat dia ingin sekali bertemu
dengan istrinya itu, hingga akhirnya dia berhasil tiba di
tempat itu pada saat yang tepat. Beberapa jam yang
278
lalu, ketika tahu Lara pergi ke tempat yang paling
berkesan untuknya, Bobby segera mengendarai
sebuah jeep yang dipinjamnya dari sang Paman
dengan kecepatan yang cukup tinggi. Jeep itu terus
melaju menyusuri jalan tanah yang berdebu. Pada
saat itu cuaca tampak kian memburuk. Awan hitam
tampak berarak menyelimuti angkasa, sedangkan
angin kencang terus berhembus hingga membuat
beberapa pohon tumbang dan hampir saja menimpa
mobil yang dikendarainya.
”Apapun yang terjadi aku harus segera
menemuinya. Oh Lara, aku datang untuk
menghilangkan semua dukamu...”
Jeep terus melaju, sementara itu hujan lebat
sudah mulai turun. Jalan yang semula berdebu
dengan cepat berubah menjadi jalan yang sangat licin.
Beberapa kali jeep yang dikendarai Bobby sempat
tergelincir dan terjebak di kubangan, dan karena
usaha yang gigih akhirnya dia berhasil melewatinya.
Ketika melewati sebuah tikungan tiba-tiba dilihatnya
sebuah sungai dengan jembatan yang sudah ambruk
279
tampak terbentang di depan mata. Tak ayal, Bobby
pun terkejut seraya berusaha menghindar dengan
menginjak pedal rem dalam-dalam. CIEEET... Jeep
yang dikendarainya mendadak kehilangan kendali,
jeep itu tampak berputar di jalan yang licin dan
berlumpur sampai beberapa kali. Hingga akhirnya
jeep itu berhenti persis di tepian sungai. ”Oh Tuhan.
Terima kasih... kau telah menyelamatkan aku,”
ucapnya.
Kini pemuda itu mulai menyeberangi sungai
dengan hati-hati. Kabel baja yang ada di mobil jeepnya
dimanfaatkan untuk membantunya menyeberangi
sungai. Ketika pemuda itu sedang berada di tengahtengah
sungai, tiba-tiba alirannya yang sangat deras
itu sempat membuat tubuhnya terseret sampai
beberapa meter. Namun pemuda muda itu tidak mau
menyerah, dia terus berusaha dan berusaha. Hingga
akhirnya dia bisa tiba di seberang dengan selamat.
Tak lama kemudian pemuda itu sudah melangkah
menyusuri jalan yang licin dan becek. Pemuda itu
terus melangkah dan melangkah di bawah guyuran
280
hujan yang begitu lebat, hingga akhirnya hujan itu pun
berhenti disaat pemuda itu sudah tidak begitu jauh lagi
ke tempat tujuan. Setibanya di tempat tujuan, dia
melihat Lara yang sedang berdiri di bibir jurang. Saat
itulah Bobby buru-buru menghampiri istrinya dan
langsung menahan tindakannya yang tidak
semestinya itu.
Setelah mendengar cerita itu, Lara sangat
terkesan dengan perjuangan suaminya yang gigih
ingin menemuinya. Andai saat itu suaminya tidak
segera menemuinya mungkin ia sudah berada di alam
kubur sendirian dan tidak akan bertemu untuk
selamanya.
Esok malamnya setibanya di Jakarta, Bobby dan
Lara tampak sedang menonton televisi. Kali ini berita
yang mereka tonton adalah pelurusan mengenai
berita miring tentang dirinya, yang selama ini di tuduh
sebagai ‘teroris’. Begitulah pers yang baik dan betul281
betul professional, sangat berimbang dan tidak
berpihak kepada pihak mana pun. Juga selalu
konsisten untuk tidak mau diperalat sebagai alat
propaganda.
Kini Bobby sudah bisa hidup tenang di
masyarakat, dan dia pun sudah tidak khawatir lagi
akan dibenci oleh orang-orang yang dikenalnya. Itu
semua berkat namanya yang sudah dibersihkan oleh
pers yang mana sebelumnya sudah begitu
memojokkannya. Dia sangat bersyukur karena masih
ada keadilan di negeri ini, sebab kalau tidak mungkin
dia pun akan menjadi seorang ‘teroris’.
"O ya, Kak. Ngomong-ngomong, saat ini aku ingin
sekali makan tongseng. Tolong belikan aku ya, Kak!”
“Untukmu, aku akan membelikannya dengan
senang hati, Sayang...”
Tak lama kemudian, Bobby sudah mengendarai
sepeda motornya menuju ke penjual tongseng yang
menjadi langganannya. Setibanya di sana, pemuda itu
segera memesan dua porsi dan langsung duduk
menunggu. Saat itu, dia mendengar dua orang
282
pengunjung yang dulu pernah membicarakannya kini
kembali membicarakan perihal dirinya.
“Aku betul-betul tidak menyangka, ternyata dia
memang tidak terlibat.”
“Ya itu semua karena dia mempunyai teman yang
seorang ‘teroris’.”
“Untung saja waktu itu aku tidak langsung
menghakiminya. Sebab kalau tidak, aku pasti berdosa
karena telah berprasangka buruk padanya.”
“Kau betul. Sebagai orang awam kita wajib
menjunjung tinggi azas praduga tak bersalah.
Karenanyalah mengenai perkara benar atau salah,
biarlah hukum yang menentukan. ”
“Ya aku setuju. Sebab jika ternyata tersangka itu
memang bersalah kita tidak menjadi berdosa
karenanya, dan jika dia memang tidak bersalah kita
pun tidak menjadi berdosa karenanya.”
Kedua orang itu terus membicarakan perihal
Bobby, hingga akhirnya tongseng yang dipesan Bobby
selesai dibuat. Tak lama kemudian, Bobby pun segera
meninggalkan tempat itu. Hingga akhirnya pemuda itu
283
tiba di rumah dan langsung menikmatinya bersama
sang Istri.
“Kak, sekarang aku semakin bertambah gemuk
ya?” tanya Lara seraya memasukkan tongseng ke
dalam mulutnya..
“Wajarlah, kau ini kan sedang hamil. Kalau kau
tidak banyak makan, kasihan anak kita yang masih
dalam kandungan itu. Dia itu kan juga membutuhkan
suplai makanan untuk pertumbuhannya.”
“Kau betul, Kak. O ya, ngomong-ngomong kenapa
tongsengmu tidak kau habiskan?” tanya Lara.
“Aku sudah cukup kenyang, Sayang....”
“Kalau begitu, biar aku yang habiskan ya?”
Bobby mengangguk, sedang di bibirnya tampak
tersungging sebuah senyuman. Pria itu terus
memperhatikan calon ibu dari anaknya itu, yang kini
tampak bersemangat¾menghabiskan sisa tongseng
miliknya.
“Habis sudah! Hmm... tongseng ini memang
benar-benar enak. Emm... kenapa kau senyamsenyum
sendirian, Kak?” tanya Lara heran.
284
"Tidak kenapa-napa, Sayang.... Aku cuma lagi
bahagia, kelak jika anakku lahir dia mungkin akan jadi
gemuk dan sehat.”
“Kenapa kau bisa menebak demikian, Kak.”
“Tentu saja, ibunya kan makannya banyak tentu
suplai makanan untuk bayi kita pun banyak.”
“Kau ini ada-ada saja, Kak. Memangnya ada
hubungannya ibu yang makan banyak dengan anak
yang dikandungnya.”
“Tentu saja, apa lagi jika kau cukup
mengkonsumsi makanan yang mengandung DHA,
kolin, dan asam folat, tentu bayi kita kelak tidak hanya
gemuk dan sehat, namun dia juga akan menjadi anak
yang cerdas.”
"O ya, Kak. Ngomong-ngomong, kau ingin anak
kita laki-laki atau perempuan?”
“Laki-laki atau perempuan bagiku sama saja, yang
terpenting dia mau berbakti kepada kedua orang
tuanya dan berguna untuk agama, nusa dan bangsa.”
“Kalau aku sih kepingin anak laki-laki, sebab jika
sudah dewasa dia tentu akan menjadi pemuda yang
285
tampan sepertimu dan senantiasa akan melindungi
kita di saat masa tua nanti.”
”Kenapa tidak anak perempuan saja? Sebab jika
sudah dewasa dia tentu akan menjadi anak yang
cantik sepertimu dan dengan perasaannya yang
lembut tentu dia akan senantiasa memperhatikan dan
menyayangi kedua orang tuanya.”
“Tidak, Kak. Aku tetap mau anak laki-laki, karena
anak laki-laki lebih banyak kelebihannya ketimbang
anak perempuan. Lagi pula, jika mempunyai anak
perempuan aku merasa khawatir. Sebab, jika kelak ia
dewasa mungkin akan dicelakakan orang. Soalnya
sistem di negeri ini masih belum mampu melindungi
kaum petempuan yang lemah. Terus terang, aku bisa
menilai demikian karena aku mengalaminya sendiri,
sungguh sesuatu yang semula kuanggap baik tapi
ternyata justru hampir membuatku celaka. Dulu aku
memang sudah begitu dibutakan oleh berbagai
informasi yang kupikir baik tapi ternyata justru
sebaliknya. Kini aku menyadari, kalau sebaik-baiknya
informasi adalah yang bersumber dari-Nya.”
286
“Sudahlah istriku tercinta...! Sebaiknya kita tidak
perlu berpolemik! Langkah terbaik yang harus kita
tempuh sekarang adalah aksi yang nyata. Pokoknya
apapun jenis kelamin anak kita nanti, kita wajib
memberikan kasih sayang dan pendidikan yang baik
kepadanya. Soal menjadi apa dia kelak, semuanya
kita serahkan kepada Tuhan. Yang terpenting, selama
proses itu kita harus terus berusaha dan berusaha
agar dia menjadi anak yang berbakti dan bisa
memaknai perannya di dunia ini. Namun, kita pun
wajib memperjuangkan apa yang menjadi haknya
dengan cara yang santun.“
“Kak, ngomong-ngomong... sampai kapan kita
akan menggunakan cara seperti itu? Sedangkan di
luar sana, korban terus saja berjatuhan seiring dengan
waktu yang terus berjalan.”
“Bersabarlah, Sayang... biarlah waktu yang akan
menjawabnya.”
Akhirnya sepasang suami istri itu sepakat untuk
terus berusaha agar senantiasa berani dan tegar
dalam menjalani kehidupan ini. Mereka pun tidak akan
287
berhenti untuk berjuang dengan cara yang santun
demi masa depan orang-orang yang mereka cintai. Di
dalam lubuk hati mereka yang terdalam, keduanya
terus memohon kepada Tuhan agar senantiasa para
pemimpin di berikan jalan keluar yang terbaik,
sehingga bisa membawa negeri ini menjadi negeri
yang dirahmati Tuhan, penuh dengan keberkahan dan
seluruh rakyatnya makmur sentosa.
288
Assalam….
Mohon maaf jika pada tulisan ini terdapat
kesalahan di sana-sini, sebab saya hanyalah manusia
yang tak luput dari salah dan dosa. Saya menyadari
kalau segala kebenaran itu datangnya dari Allah SWT,
dan segala kesalahan tentulah berasal dari saya.
Karenanyalah, jika saya telah melakukan kekhilafan
karena kurangnya ilmu, mohon kiranya teman-teman
mau memberikan nasihat dan meluruskannya.
Sebelum dan sesudahnya saya ucapkan terima kasih
banyak.
Akhir kata, semoga cerita ini bisa bermanfaat buat
saya sendiri dan juga buat para pembaca. Amin…
Kritik dan saran bisa anda sampaikan melalui e-mail
bangbois@yahoo.com
Wassalam…
[ Cerita ini ditulis tahun 2006 ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar